Budidaya udang kian sulit. Namun, tetap banyak yang berani menekuninya karena “high cost, high risk,” tapi juga “high return”.
Dengan kondisi lingkungan yang makin kurang mendukung, pemeliharaan udang semakin menantang pembudidaya. Mereka harus berinovasi dan taat pada standar operasional prosedur (SOP) untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Dua di antara para pemberani yang dihubungi AGRINA adalah Endon Harto Triatmojo yang bertambak di Karawang, Jawa Barat dan Donggala, Sulawesi Tengah serta Wardi yang menebar udang di Tasikmalaya dan Pangandaran, Jawa Barat.
Endon Harto Triatmojo
“Kecanduan” Udang
Perkenalannya dengan tambak udang dimulai ketika mendampingi kelompok petambak di Subang, Jawa Barat, yang menerima bantuan dari Program Revitalisasi Tambak Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012. Ketika perusahaan mitra petambak tempat dia bekerja menderita kerugian yang cukup besar pada 2013, maka program revitalisasi di daerah itu pun terhenti.
Endon lalu menggandeng beberapa eks petambak di Desa Muara Ciasem, Subang, untuk bekerja sama dengan sistem bagi hasil. Bersama seorang mitra, Ilham Saduto Indar dan teknisi senior, Bambang KS, Endon memberanikan diri mengelola sisa tambak program revitalisasi.
“Dengan modal terbatas, modal pribadi, alhamdulillah bisa berjalan dengan baik sampai 2014 akhir. Lalu saya pindah ke Karawang bikin tambak sendiri bekerja sama dengan Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang (dulu TIR) sampai sekarang,” ungkapnya.
Mengingat kondisi lingkungannya yang kurang memadai, tambak di Karawang hanya dimaksimalkan produksinya untuk udang saat musim kering. Padat tebarnya dijaga maksimal 70 ekor/m2.
Ketika musim penghujan, penghuni tambaknya diganti ikan nila dengan kepadatan 150-250 ekor/kg untuk membersihkan bahan organik dan virus di kolam. Dalam umur 90 hari, ikan dijaring dengan ukuran 6-7 ekor/kg.
Bermodalkan keberhasilan di Karawang, Endon yang berlatar belakang perbankan ini berekspansi dengan menyewa tambak di Situbondo, Jawa Timur. Namun sayang, “Yang di Situbondo gagal karena penyakit pada 2014. Habis miliaran. Bagi saya yang pemula, itu ya besar. Akhirnya saya fokus di Sungaibuntu, Karawang,” kenang alumnus Ilmu Administrasi Niaga, Universitas Brawijaya, Malang, lulus 1995, ini.
Seiring berjalannya waktu, Endon yang tadinya hanya bermodal ketrampilan manajerial bertambah pengetahuan teknisnya. Setiap hari mendapat informasi dari teknisi lalu bersama-sama mengevaluasi dan membuat keputusan yang tepat.
Bapak kelahiran Kediri, 13 Mei 1973, ini, lantas melakukan ekspansi lagi pada 2017 bersama Ilham dan Suyatno. Mereka memilih lokasi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. “Di sana kami membina kelompok pembudidaya bandeng. Kebetulan ketua kelompoknya dari personal Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasangkayu. Lokasinya cocok. Kita mengembangkan tiga kolam vaname ukuran 2.500-3.000 m2,” ceritanya.
Dia menganalogikan lokasi budidaya dengan fasilitas nonton bioskop. Di Karawang ibaratnya bioskop “misbar”, sedangkan di Donggala seperti bioskop XXI yang premium. Karena itu dia berani menebar 100-200 ekor/m2 untuk menangguk hasil 20-25 ton/ha.
Kolam bandeng milik kelompok disulapnya menjadi kolam udang. Dasar kolam dilapisi mulsa plastik berlabel “Cahaya Bola”. Setiap kolam dilengkapi 10 kincir. Bisa dibilang, kelompok ini hanya bermodal lahan dan tenaga. Dengan pengalaman yang didapat dari Karawang dan kondisi lingkungan yang lebih baik, budidaya pun berjalan lancar.
Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Tambak tersebut terkena imbas gempa besar yang melanda Sulawesi Tengah pada 2018. Hilanglah 10-12 ton udang ukuran 27-31 ekor/kg dari tambak.
Suami Dini Afifah Haruti ini mengaku tersentuh melihat kesungguhan para petambak di sana yang tetap bertahan sehingga dia pun ikut bertahan. “Dengan perizinan baru yang sudah keluar, alhamdulillah kelompok sekarang punya 12 kolam. Dan saya sendiri di samping-sampingnya ada 14 kolam,” urainya dengan bahagia.
Kini tambak kelompok satu-satunya yang mengantongi izin lengkap tersebut acapkali menjadi tempat praktik kerja lapang mahasiswa Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah. Mereka juga bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Donggala.
“Kelompok sudah menikmati hasil kerja sama sampai sekarang menginjak tahun ketiga. Suatu saat kerja sama yang dijadwalkan lima tahun ini selesai, mereka bisa menjadi contoh,” tutur ayah dua anak ini sembari mengungkapkan senangnya bisa memberdayakan masyarakat.
Selama menggeluti bisnis budidaya komoditas primadona perikanan ini, Endon menyadari betul risiko bertambak udang. Tapi, “High risk, high return (risiko tinggi, penghasilan tinggi) juga. Itu bikin kayak candu,” cetusnya sembari tertawa. Jadilah sampai sekarang anggota Shrimp Club Indonesai (SCI) Jabar-Banten ini kecanduan membudidayakan udang. Tak bosan mencari cara terbaik membesarkan “si bongkok”.
Wardi
“Jangan Menyederhanakan Masalah”
Guru kelas 6 SD 4 Kertamukti, Cimerak, Pangandaran, Jawa Barat, ini, melirik budidaya udang karena potensi alam daerah tempat tinggalnya yang dekat pantai. Selain itu, dari sisi pasar, udang vaname menggiurkan. Ia paham sepenuhnya, bisnis budidaya udang itu bersifat “high risk, high cost”, tapi juga “high profit.”
Berbekal pengalaman terlibat dalam budidaya udang windu pada 1998, Wardi mencoba tebar vaname pada 2017. Tentu saja dia harus beradaptasi dengan cara pemeliharaan yang berbeda. Kalau dulu dasar kolamnya lumpur, kini menggunakan dasar mulsa plastik kedap air.
Dia memilih mulsa plastik merek Jempol. Praktis, tanah hanya berperan sebagai dasar media saja. Selain pengalaman sendiri, dia mengakui juga mendapat bimbingan teknis budidaya udang modern dari pemasok pakan dan obat-obatan, CP Prima.
Di Tasikmalaya, Wardi mengoperasikan lima kolam budidaya. Luasnya rata-rata di bawah 2.000 m2/unit. “Tambak saya lengkapi tandon dengan luasan 20%, bahkan 30% dari total tambak,” ungkap Wardi saat berbincang dengan AGRINA.
Padat tebarnya bervariasi, mulai dari 100 ekor, 125 ekor, sampai sekarang 167 ekor/m2. Pria kelahiran Ciamis 15 Mei 1965 ini menerapkan panen parsial empat kali. Panen pertama umur 61 hari. Panen selanjutnya berselang 12-14 hari tergantung situasi.
“Panen nggak ada patokan harus 90 hari (size 50). Yang kita kejar kan keuntungan. Kalau tambah waktu menguntungkan, ya kita lakukan. Pengecekan tiap hari, soal pakan, ADG (pertambahan bobot harian) bagus. Kalau masih ada untung, kita ikuti sampai 4 bulan. Udang besar kan harganya bisa hebat,” ulas Wardi.
Panen terakhir siklus ke-8 di Tasikmalaya dilakukannya pada umur 105 hari dengan ukuran 30-an ekor/kg. Dan hasil siklus ini membuat Wardi tersenyum lebar karena dapat mengantongi profit 100%!
Merasakan “high profit” dari budidaya di Tasikmalaya, suami Esin Kuraisin ini pun mulai merambah Kabupaten Pangandaran yang notabene lebih dekat ke kediamannya pada 2019. Dia membuka dua petak dengan ukuran 1.650 dan 1.483 m2. Tandonnya 25%-30%. “Kita nggak berani budidaya tanpa kolam tandon. Itu harga mati untuk mempermudah sirkulasi air,” tegas ayah tiga anak tersebut. Di sini dia menerapkan padat tebar 140 ekor/m2.
Terkait kendala penyakit, Wardi pernah merasakan pahitnya terserang white feces disease alias berak putih pada siklus pertama di Tasikmalaya. Ia menduga hal tersebut terjadi lantaran sanitasi yang kurang maksimal.
Dengan dasar tambak mulsa plastik, Wardi yang kini dibantu anak sulungnya, berani bertambak sepanjang tahun. Terhentinya hanya saat jeda persiapan. Begitu selesai panen terakhir, tambak langsung dikeringkan. Plastik dibersihkan dari kotoran, lalu dijemur 3-5 hari. Kalau sudah lima siklus, penjemuran selama lima hari. Tapi jika baru 1-2 siklus, penjemuran cukup tiga hari.
Setelah itu, kolam diisi air, sterilisasi, lalu fermentasi untuk penumbuhan plankton. Air siap, baru tebar benur. Begitu seterusnya. “Bagi saya, udang itu hidup di air, jadi tempat hidupnya itulah yang harus dibuat sesuai keinginan udang. Manajemen air kuncinya. Jangan paksakan udang hidup sesuai keinginan kita, tapi kita harus tahu selera udang,” tandas bapak yang ingin berbagi pengetahuan dengan sesama petambak ini.
Selama ini dia mensinyalir rekan petambaknya merugi karena menyederhanakan masalah dari sisi teknis dan manajemen juga perlu dibenahi. Kalau mau bertambak udang, jangan menyederhanakan masalah dan jangan memaksakan. “Misalnya, butuh kincir 8 unit/kolam, tapi dikurangi agar lebih irit. Itulah awal kerugian karena tidak mengikuti SOP. Jadi kalau kita memaksakan, permasalahan akan terjadi,” tuntas Wardi yang pernah merasakan pahitnya merugi gegara penyakit myo ini.
Peni Sari Palupi, Windi Listianingsih