“Lemahnya posisi komunitas petani pada rantai pasok agribisnis, terkait dengan kegagalan kita membangun organisasi ekonomi petani pada sektor off farm hulu dan hilir. Hal itu tidak boleh terjadi lagi dalam era Pertanian 4.0 sehingga perlu segera mengembangkan organisasi ekonomi petani,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Organisasi ekonomi seperti apa yang dikembangkan?
Untuk memperkuat ekonomi petani, kita perlu lebih serius membantu komunitas petani dalam mengembangkan organisasi ekonominya. Salah satunya dalam bentuk korporasi petani.
Pengembangan korporasi petani sebagai suatu organisasi ekonomi yang tidak hanya bergerak pada on farm tapi juga turut berpartisipasi dalam sektor off farm baik pada hulu dan hilir dinilai penting untuk dilakukan.
Hal ini dikarenakan korporasi petani sebagai bentuk integrasi sistem hulu-on farm-hilir dibutuhkan dalam rangka era Pertanian 4.0 (digitalisasi pertanian) yang sangat kompleks dan saling terintegrasi.
Dengan pengembangan korporasi petani yang sedemikian rupa, maka pengelolaan yang terintegrasi tersebut dapat mencapai economics of scale, economics of size maupun economics of scope tertentu sehingga lebih efisien, berdaya saing, dan meningkatkan bargaining position komunitas petani.
Selain itu, pengembangan korporasi petani kita juga dapat dijadikan sebagai alat dalam rangka memanen manfaat dari digitalisasi pertanian.
Pengembangan korporasi petani adalah suatu organisasi ekonomi yang mewadahi komunitas petani dalam pertanian sehamparan atau sekawasan.
Korporasi petani ini dapat berbentuk seperti Badan Usaha Koperasi, Badan Usaha Desa (BUMdes) atau Badan Usaha Milik Petani.
Korporasi petani tersebut bukan hanya mengintegrasikan digitalisasi pada proses produksi pertanian sehamparan, tapi juga turut mengintegrasikan antara pertanian sehamparan dengan konsumen, pusat-pusat teknologi (balai/pusat penelitian dan pengembangan), lembaga keuangan, balai pemantau agroklimat, pasar input dan lainnya dalam berbagai platform digital.
Besarnya potensi dan manfaat dari pengembangan korporasi petani untuk menghadapi era digitalisasi pertanian ternyata belum mampu melahirkan insentif dan inisiatif dari petani itu sendiri untuk mendirikan korporasi petani.
Karena itu, pemerintah harus membangun ekosistem digitalisasi pertanian yang diperlukan dalam rangka pengembangan korporasi petani. Hal tersebut merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi Kementerian Pertanian ke depan.
Bagaimana peran penyuluh dalam era Pertanian 4.0?
Dalam perkembangan pertanian mulai dari Pertanian 1.0 sampai hingga 3.0, penyuluh pertanian telah berperan penting.
Begitu pula dalam era digitalisasi pertanian ke depan, peran penyuluh pertanian juga masih sangat diperlukan, bahkan perannya semakin diperkuat dan membutuhkan kompetensi yang berbeda dibandingkan era pertanian sebelumnya.
Pertanyaannya, Penyuluh Pertanian seperti apa yang diperlukan pada era digitalisasi pertanian ke depan?
Digitalisasi pertanian merupakan suatu budaya baru yang berbeda dengan budaya agraris. Digitalisasi pertanian memerlukan budaya Komunitas Petani 4.0 juga yang melek digital dan media sosial.
Untuk operasional digitalisasi pertanian, maka perlu upaya transformasi budaya agraris menjadi budaya Komunitas Petani 4.0 melalui edukasi dari Penyuluh Pertanian.
Selain itu, untuk mengoperasionalkan digitalisasi pertanian oleh korporasi petani, diperlukan juga manajer-manajer korporasi petani yang andal dan mumpuni.
Spesifikasi manajer korporasi tersebut sulit diperoleh jika hanya mengandalkan kalangan komunitas petani. Kondisi ini memungkinkan Penyuluh Pertanian untuk berperan menjadi manajer korporasi petani.
Artinya, jika digitalisasi pertanian menjadi tuntutan pertanian modern, kita memerlukan Penyuluh Pertanian yang berperan dalam edukasi, transformasi, dan sekaligus manajer korporasi petani.
Untung Jaya