Tahun ini Hugo Erken dan Björn Giesbergen dari RaboResearch Global Economics & Markets meramalkan perekonomian global hanya tumbuh 2,9%. Dalam Economic Quarterly Report 15 November 2019 Rabobank, mereka menyatakan, angka pertumbuhan itu terbilang paling rendah sejak krisis finansial global pada 2009.
Penyebab utama minimnya angka pertumbuhan itu terutama akibat melemahnya perdagangan dunia dan aktivitas industri. Faktor lain yang memperburuk kondisi tersebut adalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Celakanya, dampak buruk akibat ketegangan perdagangan antara dua raksasa tersebut tak hanya menimpa dua pihak yang bertikai tetapi juga secara tidak langsung berimbas ke negara-negara lain.
Negara-negara kuat seperti AS, peringkat pertama ekonomi dunia, diprediksi mengalami resesi ringan dengan laju pertumbuhan sekitar 2%. China, peringkat kedua ekonomi dunia, mengalami perlambatan dengan tumbuh 5,7%. Sementara International Monetary Fund sedikit lebih optimistis dengan mengeluarkan angka 5,8% untuk China. Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut rilis Bank Dunia pada 11 Desember 2019, di tengah kondisi perekonomian global yang menantang, ekonomi Indonesia tumbuh sedikit turun pada kuartal ketiga 2019 menjadi 5,0% dari kuartal kedua yang 5,1%. Dan pada 2020 ini diperkirakan mencapai 5,2%.
Menukik lebih spesifik, R. Hirschmann dari Statista pada 9 Desember 2019 membeberkan data pertumbuhan riil sektor agribisnis di negara kita periode 2014-2018. Menurutnya, pertumbuhan sektor andalan ini selama lima tahun terakhir mencapai rata-rata 3,82%. Sementara angka 2019, 2020, dan 2021 diperkirakan sebesar 3,3%, 3,7%, dan 3,6%.
Optimisme terhadap pertumbuhan agribisnis di Indonesia juga diungkapkan analis, pakar ekonomi, dan para pelaku usaha terkait. Dalam industri kelapa sawit misalnya, dua analis internasional ternama, Thomas Mielke dari Hamburg, Jerman dan James Fry dari Oxford, Inggris, yakin tahun ini ada perbaikan harga minyak sawit mentah (CPO) ke level US$650-US$750 per ton. Pemicu utamanya adalah penerapan program mandatori biodiesel B30 (pencampuran 30% minyak sawit dalam solar) di Indonesia.
Penerapan B30 yang diresmikan Presiden Jokowi pada 23 Desember 2019 meningkatkan serapan CPO di pasar dalam negeri. Jumlahnya 9,6 juta ton atau 30%-35% dari total ekspor. Jadi, pasokan ke pasar internasional berkurang sehingga harga pun terkerek sampai di tingkat petani sawit. Mereka tersenyum gembira setelah cukup lama bergelut dengan harga murah meriah. Meskipun secara rata-rata setahun, harga CPO 2019 masih lebih rendah ketimbang 2018, yaitu US$569 dibandingkan US$595 per ton.
Di bidang peternakan, khususnya unggas, yang tengah diincar sejumlah produsen dunia pun masih ada peluang. Tentu saja para pelaku dan pemerintah harus berupaya keras untuk meningkatkan daya saing dengan berbagai cara yang holistik. Strateginya pernah dipaparkan Arief Daryanto, Dekan Sekolah Vokasi IPB secara lengkap di Majalah AGRINA edisi Desember 2019, halaman 34-35.
Misalnya, untuk meningkatkan serapan di dalam negeri para pemangku kepentingan termasuk pemerintah bersatu-padu mempromosikan manfaat ayam sebagai sumber gizi protein hewani termurah. Terutama kepada para ibu yang umumnya mempunyai otoritas menentukan menu di meja makan setiap rumah tangga.
Apalagi Bank Dunia menyoroti tingginya kasus stunting (kekerdilan) pada balita Indonesia. Satu di antara tiga balita mengalami stunting yang mempengaruhi perkembangan otak dan masa depan mereka sebagai penerus bangsa. Dengan mendorong konsumsi pangan lengkap, termasuk protein hewani, sejak dalam kandungan, kualitas sumber daya manusia (SDM) kita pada masa mendatang akan semakin baik. Di sisi bisnis, langkah ini meningkatkan pasar di negeri sendiri.
Agribisnis akuakultur juga tak kalah menawarkan peluang. Udang misalnya, hingga saat ini peluang bisnisnya tetap besar asalkan para pelaku usaha budidaya mampu menangani penyakit virus dan bakteri.
Kita optimistis bisnis pangan, pakan, dan energi terbarukan yang berbahan baku komoditas pertanian akan tetap menawarkan peluang.
Peni Sari Palupi