Foto: Istimewa
Berdasarkan data Statistik Peternakan, Indonesia mengimpor daging unggas dengan volume sebesar 304 ton dan telur 1.900 ton pada 2018
“Industri unggas merupakan salah satu industri substitusi impor yang berhasil di Indonesia. Namun biaya pokok produksi unggas kita lebih tinggi dibandingkan negara lain, sehingga dikhawatirkan kita akan dibanjiri daging ayam dan telur impor,” Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Bagaimana kondisi industri unggas kita?
Menuju 2045, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia mencapai 318 juta jiwa dengan pendapatan perkapita hampir US$29 ribu.
Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan akan meningkatkan konsumsi daging dan telur ayam.
Jika konsumsi daging ayam Indonesia pada 2045 setingkat dengan konsumsi daging ayam Malaysia saat ini (48,7 kg/kapita), maka kebutuhan akan daging ayam setidaknya mencapai 12 miliar kg.
Berdasarkan data Statistik Peternakan, Indonesia mengimpor daging unggas dengan volume sebesar 304 ton dan telur 1.900 ton pada 2018.
Dengan kemenangan Brasil di WTO, kita tidak mungkin terus menutup pintu impor daging ayam karena bertentangan dengan prinsip free trade WTO.
Ke depan, pasar Indonesia diperkirakan akan semakin dibanjiri daging dan telur impor sehingga dikhawatirkan mengancam industri unggas nasional.
Apa masalah utama yang dihadapi industri unggas?
Rendahnya daya saing industri unggas kita akibat mahalnya biaya produksi dibandingkan negara lain. Biaya pokok produksi ayam kita berkisar USD1,1 – USD1,3/kg (Rp15.000 - Rp18.000/kg).
Sedangkan biaya pokok ayam Brasil hanya Rp9.000 - Rp10.000 per kg. Tingginya biaya pokok produksi ayam di Indonesia karena mahalnya biaya pakan yang berbahan baku utama jagung dan kedelai.
Sementara Brasil, AS, dan China adalah negara produsen unggas terbesar di dunia yang juga produsen jagung dan kedelai terbesar.
Titik lemah industri unggas nasional terletak pada kurang berkembangnya sektor hulu industri pakan.
Indonesia berhasil mengembangkan industri ayam ras, namun sejak dahulu belum berhasil mengembangkan jagung dan kedelai.
Implikasinya kebutuhan bahan baku pakan harus bergantung pada impor. Ini masalah serius bagi industri unggas nasional.
Ke depan Brasil dan AS akan lebih banyak menggunakan jagung dan kedelai sebagai bahan baku biofuel.
Terbatasnya suplai dari dua negara tersebut akan menyebabkan industri unggas nasional kesulitan memperoleh bahan baku pakan di pasar dunia.
Kedua negara tersebut juga akan lebih memilih mengekspor daging ayamnya ke Indonesia dibandingkan mengekspor jagung dan kedelai.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 306 yang terbit Desember 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/