Foto: Istimewa
Hasil panen musim kemarau di kebun IPB, ukuran TBS lebih kecil
Kemarau menurunkan performa tanaman sawit. Bagaimana cara perawatan yang baik?
Tahun ini kemarau lumayan panjang kendati tidak sepanjang 2015.
Desember ini hujan mulai tercurah di Indonesia, tetapi belum semerata tahun-tahun sebelumnya.
Tanpa pasokan air, pertumbuhan tanaman kelapa sawit, termasuk pembentukan tandan buah segar (TBS)-nya tidak maksimal.
Sutiyana, Ketua Koperasi Tani Subur di Pangkalan Tiga, Kotawaringin Barat, Kalteng, mengungkapkan, “Bobot TBS bisa turun 2%-5%.”
M. Djoni, Manajer Kebun Pendidikan dan Penelitian Sawit IPB di Desa Singasari, Kec. Jonggol, Bogor, Jawa Barat, mengamini dampak tersebut.
Sawit varietas Dami Mas yang ditanam pada 2012 di kebun tersebut mencapai fase Tanaman Menghasilkan (TM) 3-4 terpengaruh kemarau.
Di kebun yang berpopulasi 136 batang/ha ini tidak terbasahi hujan sama sekali sejak Mei hingga November 2019.
Akibatnya, “Harusnya bobot janjang rata-rata (BJR) 15-17 kg untuk TM 3-4, sekarang turun tinggal 12 kg,” terang Djoni kepada AGRINA yang berkunjung 30 November silam.
Di Pangkalanbun, Triyanto Sagi, pekebun sawit swadaya, juga mengatakan, kemarau berdampak menurunkan bobot TBS.
Bahkan pengaruh kemarau bisa sampai enam bulan ke depan. Apalagi ada pengalaman siklus kemarau panjang setiap lima tahun. Bisa jadi 2020 kemarau lebih hebat akan mendera.
Untuk mengatasi dampak kemarau, menurut Dudy Kristyanto, Business Development Manager PT Bina Guna Kimia, FMC menawarkan solusi Micro Ferti Magnet.
“Pembenah tanah ini mengandung asam humat, fulvat, humin, dan karbohidrat. Humit berperan menjaga tanah tetap lembap. Dosisnya 30 liter per hektar atau 250 ml/batang,” ulas Dudy.
Pupuk
Djoni yang mengelola kebun seluas 55 ha dari total lahan 60 ha itu menyiapkan embung-embung mini di dekat tanaman guna menampung air.
Di beberapa spot embung ini kurang efektif lantaran tanahnya porous sehingga air cepat habis.
Tentang pemupukan, “Kami berpatokan pada rekomendasi Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Namun kami tengah mengadakan penelitian juga menggunakan drone untuk memetakan kesuburan tanah. Mana-mana yang kurang kami tambah pupuknya,” terang Djoni.
Pemupukan TM 3 sebanyak 3 kg/tanaman/tahun, dibagi dua, awal musim hujan dan akhir musim hujan.
“Patokannya, tidak boleh ada pemupukan saat kemarau. Curah hujan minimal 120 mm hujan/bulan baru boleh memupuk. Kurang dari itu pupuk akan menguap. Sebaliknya jangan mupuk kalau curah hujan lebih dari 500-600 mm/bulan karena pupuk akan hilang,” imbuhnya.
Untuk memaksimalkan manfaat pupuk, saat ini juga tengah diteliti pengaruh pupuk organik cair asal Malaysia.
Pupuk ini diaplikasikan dengan diinjeksikan ke batang sawit sebanyak 60 ml/tanaman. Lubang dibuat setinggi satu jengkal dari tanah sedalam 60 cm.
Lalu pasangkan paralon sesuai ukuran lubang untuk memasukkan cairan pupuk kemudian paralon ditutup rapat. Aplikasinya 3 kali setahun per batang. Djoni masih menunggu hasil penelitian ini.
Perawatan lain yang menunjang fungsi pupuk adalah pembersihan gulma di piringan. Piringan harus bersih. “Pada TBM rutin 4 bulan sekali dengan herbisida yang tidak boleh mengandung zat besi,” bebernya.
Selain itu, ada pemangkasan pelepah. Sepanjang musim kemarau, satu bulan dipangkas dua pelepah.
Sewaktu penghujan, pangkas tiga pelepah, dua-tiga bulan sekali tergantung kondisi tanaman. Pemotongan pelepah dilakukan sembari panen TBS.
Tentang rongrongan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), Djoni cukup lega karena sampai akhir November lalu tidak ada serangan yang signifikan.
Dengan tindakan perawatan seperti itu, kebun tersebut November lalu menghasilkan 147 ton yang kemudian dijual ke pabrik milik PTPN VIII di Cigudeg, Bogor.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 306 yang terbit Desember 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/