Foto: Selo Sumarsono
Kebijakan impor jagung ditutup, yang terjadi malah impor gandum sebagai bahan subtitusinya (pengganti) meningkat
Ketesediaan bahan baku pakan masih simpang siur, harga acuan pembelian malah meluncur.
Sebagai komponen terbesar dalam penyusunan bahan pakan ternak, ketersediaan dan harga jagung di dalam negeri kerap berfluktuasi. Hal ini berbuntut kepada bergejolaknya harga ayam hidup (livebird – LB).
Namun demikian, dalam beberapa kesempatan, pemerintah melalui Kementerian Pertanian selalu berujar bahwa stok jagung di dalam negeri melipah.
Latar belakang itulah yang membuat pemerintah menutup keran impor jagung pada 2016 lalu. Di sisi lain, Johan, Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengungkapkan, pemerintah mengklaim pasokan jagung hingga 2018 mencapai 30 juta ton, sehingga impor tak diperlukan.
Akan tetapi, semenjak kebijakan impor jagung ditutup, yang terjadi malah impor gandum sebagai bahan subtitusinya (pengganti) meningkat. Meskipun pada akhirnya impor gandum sebagai bahan pakan juga ditutup pada 2018.
Data GPMT menunjukkan, importasi feed wheat (gandum pakan) meningkat dari 2014 - 2018. Sebelum ditutup, gandum memang dimanfaatkan sebagai salah satu sumber energi. “Sudah dipakai tapi dengan volume kecil dan pada waktu tertentu,” ulasnya di tengah Forum Diskusi AGRINA, di Jakarta, Rabu (8/11).
Menyerap Produksi Nasional
Johan merinci, pada 2014 impor jagung sekitar 3,25 juta ton, dengan impor gandum 60 ribu ton. Kemudian 2015 impor jagung 2,74 juta ton dan gandum 240 ribu ton.
Pada 2016 impor jagung sudah ditutup namun masih ada sebesar 884 ribu ton lantaran sisa realisasi dari 2015. “Impor feed wheat dari 240 ribu ton semakin naik menjadi 2,15 juta ton. Jagung turun, gandum naik,” bebernya.
Setelah pemerintah secara resmi menutup keran impor bagi pelaku usaha pakan, Johan mengakui, penyerapan jagung lokal terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Kebutuhan jagung untuk industri pakan tercatat mencapai 4,9 juta ton pada 2017.
Dengan angka ini, kandungan jagung dalam pada pakan sebesar 32,78%. Formulasi tersebut terus tumbuh menjadi 36,29% dengan angka kebutuhan sebesar 5,75 juta ton pada 2018.
“Perkiraan kami tahun ini bisa menyerap 7 juta ton di luar pakan konsentrat dan formulasi sebesar 42%. Industri pakan secara bertahap menyesuaikan formula jagung dalam pakan,” imbuhnya.
Sejak tak dizinkan impor, kapasitas pengolah jagung di pabrik pakan tercatat terus mengalami peningkatan. Pada 2018, total kapasitas silo (penyimpan) yang dimiliki anggota GPMT dan tersebar di 10 provinsi sentra produksi menyentuh angka 1,478 juta ton atau tumbuh 10,3% dibandingkan kapasitas pada 2017.
Untuk dryer (pengering), kapasitas secara nasional berjumlah 31.486 ton/hari atau tumbuh 7,06% dibandingkan 2017.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 306 yang terbit Desember 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/