Foto: Selo Sumarsono
Arief Daryanto, harus berjalan bersama agar berdaya saing
Harus ada konsolidasi berupa integrasi horizontal atau integrasi vertikal.
Butuh musuh bersama untuk mempersatukan. Demikian ungkap Arief Daryanto, Ph.D. mengutip Condoleeza Rice, ilmuwan dan diplomat politik Amerika. Adanya “musuh” bersama akan membuat pelaku usaha bersatu padu meningkatkan daya saing individu menjadi daya saing nasional.
“Untuk meningkatkan daya saing tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Perlu berjalan bersama untuk menghadapi musuh bersama,” tandas pakar agribisnis unggas itu pada Forum Diskusi AGRINA (FDA) “Penyediaan Jagung Pakan Sesuai Harga Acuan Untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Unggas Nasional” di Jakarta, Rabu (13/11).
Faktor Penentu
Arief menjelaskan, World Economic Forum menetapkan 12 pilar daya saing dalam the Global Competitiveness Index 4.0. Pilar-pilar itu terbagi empat kategori. Pertama, lingkungan kondusif yang meliputi institusi, infrastruktur, adopsi teknologi komunikasi dan informasi, dan stabilitas makroekonomi.
Kedua, modal SDM meliputi kesehatan dan keterampilan. Ketiga, pasar meliputi pasar produk, pasar tenaga kerja, sistem keuangan, dan ukuran pasar. Keempat, ekosistem inovasi meliputi dinamika bisnis dan kemampuan inovasi.
“Berarti the global competitiveness index 4.0 farmework ini multidimensi, tidak bisa berjalan sendiri, harus berjalan bersama,” katanya.
Dalam sektor industri unggas, lanjutnya, kata kunci daya saing itu adalah kemampuan menjual produk di pasar internasional, para pelaku industri unggas hulu-hilir harus lebih efisien dalam berproduksi daripada pesaing, dan mendorong inovasi.
“Perusahaan kalau mau berdaya saing tinggi harus memiliki tiga pilar. Pertama, memiliki unique value proposition atau best product and services. Kedua, operational excellence atau kinerja unggul. Ketiga, customer intimacy atau kedekatan konsumen,” ulasnya yang menyebut sistem agribisnis kekurangan koordinator untuk merangkaikan subsistem di dalam peternakan unggas dapat bekerja bersama.
Dekan Sekolah Vokasi IPB itu menjelaskan, ada faktor lingkungan makro, mikro, dan meso untuk mengidentifikasi persoalan yang mendera industri perunggasan nasional sehingga intervensinya tepat.
Lingkungan makro merujuk pada masalah administrasi dan peraturan, tren ekonomi domestik dan global, termasuk nilai tukar rupiah dan faktor politik. Sedangkan, lingkungan mikro terkait masalah lingkungan bisnis yang bisa dikelola produsen dan lingkungan meso berupa fungsi dan layanan pendukung dalam rantai nilai.
Arief mengambil contoh kondisi Afrika Selatan (Afsel) yang diprediksi akan terjadi di Indonesia. “Mereka ekspor unggas tetapi juga impor karena harus membuka pasar baru,” tukasnya.
Faktor makro di Afsel adalah selera dan preferensi konsumen, ukuran pasar ekspor, perilaku konsumen, kondisi pasar lokal, aturan kompetisi, dan biaya modal. “Di sini kalau kita bicara poultry (unggas) lebih banyak sisi suplai, sisi permintaan jarang. Padahal nilai tambah itu ada di proses industri,” kritiknya.
Faktor mesonya adalah sistem biosekuriti karena daya saing tinggi dicirikan pada biosekuriti, keterlacakan, dan kesejahteraan hewan. Lalu, tersedia layanan dokter hewan berkualitas, ketersediaan dan kualitas input produksi lokal, serta riset dan pengembangan di industri.
“Apakah kita siap untuk itu, menggunakan RFID (sistem identifikasi berbasis wireless), whatsApp, dan market place,” tantangnya. Kemudian, faktor mikro berupa tersedianya pakan, kualitas pakan, dan strategi diversifikasi bisnis.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 306 yang terbit Desember 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/