Foto: Windi Listianingsih
Wereng Batang Cokelat (WBC) bisa membawa virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput
Pengendalian OPT harus memprioritaskan teknologi ramah lingkungan.
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) hingga kini masih menjadi musuh utama para petani. Berbagai upaya penanganan dilakukan semua pihak untuk menanggulanginya.
Hama yang selalu menghantui para petani padi itu terutama Wereng Batang Cokelat (WBC). Hama ini secara langsung mengisap cairan tanaman padi sehingga daun menguning, kering, dan mati.
Lebih parah lagi, WBC bisa membawa virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput.
Dampak serangan tersebut membuat gagal panen. Ledakan WBC tertinggi terjadi sepanjang 2017 hingga awal 2018. Serangan itu merata di bagian wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa sebagai sentra produksi padi.
Menurut Ayi Mahmudin, Ketua Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) Kec. Tambelang, Kab. Bekasi, serangan WBC di Tambelang pernah terjadi pada 2005, 2010, dan 2017. Serangan dengan populasi paling tinggi pada 2017.
“Serangan WBC 2005 dan 2010 dapat dikendalikan petani. Akan tetapi untuk 2017, populasi sangat tinggi yang pernah terjadi di Kecamatan Tambelang,” katanya saat seminar Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati, Rabu (28/8).
Deddy Ruswansyah, Kasubdit Pengendalian OPT Serealia, Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian menyampaikan, pengendalian OPT harus memprioritaskan teknologi ramah lingkungan.
Pemerintah mendorong sistem pengendalian hama terpadu dengan membuat pos agen hayati di setiap daerah. Petani dilatih agar mampu mengembangkan produk hayati sehingga mampu mengembangkan agen hayati dari lokasi masing-masing.
“Tujuan utamanya, pengendalian OPT ramah lingkungan menggunakan produk hayati. Ketergantungan petani terhadap kimia secara tidak langsung sudah meracuni tanah. Teknologi hayati ini untuk mendukung perbaikan ekosistem,” jelas Deddy.
Teknologi Organik Hayati
Menurut Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc, Ketua Tani Senter IPB, penyebab ledakan hama WBC ada 6 faktor. Pertama, ekosistem padi tidak sehat karena penanaman terlalu rapat, selalu tergenang, dan miskin bahan organik.
Kedua, penanaman varietas peka dan tidak mempunyai ketahanan dari dalam. Ketiga, penggunaan fungisida sistemik yang rutin dan merata. Keempat, terlalu banyak pupuk N dan kurang K.
Kelima, pemakaian insektisida pyrethroid dosis sub-lethal yang mempercepat perkembangan populasi WBC. Keenam, penggunaan insektisida berlebihan menyebabkan hilangnya musuh alami wereng.
Menurut dia, dua pendekatan pengelolaan tindakan pengendalian WBC yaitu pengendalian responsif dan preemptif.
Preemptif dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap pengalaman musim lalu, literatur, dan pengetahuan lokal yang diintegrasikan dalam sistem budidaya.
Lalu, pengelolaan hama bukan dengan penyemprotan bahan kimia tetapi membentuk lingkungan yang baik sehingga hama dan penyakit tidak berkembang.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 304 yang terbit Oktober 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/