Foto: Istimewa
Aplikasi pembenah tanah dengan penyemprotan
Dengan aplikasi paduan teknologi organik, hayati, dan non-organik, racun pirit dan aluminium bisa “jinak” sehingga lahan mendukung pertumbuhan padi.
Untuk mengejar target produksi padi 2019 yang sebanyak 84 juta ton gabah kering giling (GKG), pemerintah melancarkan berbagai strategi. Satu di antaranya dengan memanfaatkan lahan rawa melalui Program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani (Serasi).
Menurut Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan, Sarwo Edhy, program optimasi lahan rawa Serasi ini dilaksanakan di Provinsi Sumsel 220 ribu ha, Kalsel 153.363 ha, dan Sulsel 33.505 ha.
Selain itu, Program Serasi juga dialokasikan di Lampung, Kalteng, Kalbar, dan Riau. Kementan membidik target 500 ribu ha lahan rawa tahun ini dapat didongkrak produktivitasnya.
Salah satu tantangan yang dihadapi petani dalam mengelola lahan rawa adalah kandungan racun seperti pirit (FeS2) dan aluminium hidroksida (Al OH3). Apa sih pirit itu?
Meracuni Tanaman
Menurut Dr. Basuki Sumawinata, M.Agr., Dosen Jurusan Ilmu Tanah, Faperta IPB, “Pirit itu mineral yang berbentuk seperti emas, kecil-kecil sekali. Ukurannya kira-kira 1 angstrom (10-10 m).
Ada dua cara terbentuknya pirit, yaitu hasil pembekuan magma dan hasil rekristalisasi mineral FeS2 di lingkungan mangrove. Yang di mangrove itu reaksi biokimia antara ion sulfat pada air laut dengan ion besi (ferri) dari sedimen sungai oleh bakteri Desulfovibrio sp.”
Di Indonesia, lanjut alumnus Tokyo University tersebut, lahan rawa gambut biasanya terbentuk sebagai hasil suksesi dari lingkungan rawa mangrove. Lapisan berpirit berada di bawah lapisan gambut tipis.
Pembangunan sawah dari lahan bergambut tipis akan mengakibatkan tersingkapnya lapisan berpirit ke permukaan tanah sehingga pirit teroksidasi. Terbentuklah tanah yang sangat masam atau disebut tanah sulfat masam.
Pirit yang teroksidasi membentuk senyawa baru bernama jarosit, yaitu KFe3+3(OH)6(SO4)2, sementara kalsium membentuk kalsium fosfat (gipsum) sehingga tanah terlihat memutih.
Selain itu, sekitar 20% mineral hancur yang kandungan aluminum (Al) masuk ke dalam tanah. “Umumnya orang bilang tanah sulfat masam keracunan besi. Itu nggak terlalu tepat.
Memang warnanya agak merah, tapi biangnya yang bikin mati tanaman adalah Al,” terang Basuki dalam seminar yang digelar Asosiasi Bio Agro-input Indonesia (ABI) di Jakarta, Agustus silam.
Lahan sulfat masam sebenarnya tidak sepanjang waktu pH-nya sangat rendah. “Saat awal musim hujan, asam turun ke parit, pH air pun asam sekali. Tapi pada musim kering, pH naik sampai 5. Ini yang bikin asam nggak bisa keluar.
Jahatnya, air itu mengandung Al 97 ppm, sementara besi (Fe) hanya 11 ppm. Besi masih bisa kita tahan sampai 200 ppm, tapi Al 2 ppm saja padi mati. Kalau airnya sudah bening, Al-nya tinggi sekali,” ulasnya panjang lebar.
Secara umum tantangan pemanfaatan lahan sulfat masam untuk menjadi lahan pangan, kata dosen kelahiran Bogor, 10 Juni 1957, itu antara lain, pH-nya sangat rendah, 2-3. Sangat minim kandungan hara makro dan mikro.
Konsentrasi racun yang terlarut tinggi dan kekurangan suplai air tawar untuk mencuci racun dalam tanah itu sehingga lahan tidak bisa ditanami.
Cara Menaklukkan Racun
Pada lahan masam, ketersediaan hara sangat rendah lantaran kation terjerap sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Artinya, efisiensi pemupukan rendah. Omya.com dalam lamannya memuat efisiensi NPK dikaitkan dengan pH. Makin tinggi pH, makin tinggi efisiensinya.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 304 yang terbit Oktober 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/