Foto: Peni Sari Palupi
Musim kemarau menghampiri, pilih-pilih varietas yang adaptif dan berumur genjah
Datangnya musim kemarau membuat ketersediaan air di lapangan menjadi terbatas. Petani didorong menggunakan varietas yang adaptif.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus hingga September 2019.
Berdasarkan prediksi BMKG, sebanyak 64,94% wilayah Indonesia mengalami curah hujan kategori rendah, di bawah 100 mm/bulan.
Sementara September, 67% wilayah Indonesia curah hujannya diprakirakan kurang dari 150 mm/bulan.
Merespon gambaran tersebut, Kementerian Pertanian menggelontorkan bantuan sarana pertanian dan menyarankan penanaman padi gogo di lahan bekas panen yang masih sedikit berair.
Terkait benih, Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi), Priatna Sasmita berujar, varietas unggul menjadi salah satu andalan dalam mengoptimalkan produksi padi.
“Menyikapi prediksi kekeringan September – Oktober, BBPadi merekomendasikan varietas adaptif, baik di lahan sawah maupun lahan kering. Kemarau panjang ini butuh juga varietas dengan umur pendek,” tutur Priatna kepada AGRINA.
Empat Titik Kritis Kebutuhan Air
Keterbatasan ketersediaan air, terang Priatna, sudah diantisipasi BBPadi dengan merakit sejumlah benih yang toleran dan bersifat amfibi.
Di antaranya Limboto, Batutegi, Towuti, Situ Patenggang, Situ Bagendit, Inpari 10 Laeya, Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, Inpari 38 Agritan, Inpari 39 Agritan, Ciherang, Cibogo, Mekongga, Inpari 42 Agritan GSR, dan Inpari 43 Agritan GSR.
Kendati berbagai varietas itu tahan kekeringan, air tetap dibutuhkan meskipun volumenya sedikit.
Padi tidak bisa ditanam ketika keadaan tidak ada air sama sekali.
Kecukupan air, imbuh Priatna, dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman, terutama pada stadia awal pembibitan.
Pun begitu dengan sistem tabela (tanam benih langsung), kandungan air mesti tetap ada walau tidak normal.
Lebih detail, Doktor lulusan Agronomi IPB ini menjelaskan, kebutuhan air pada tanaman ditentukan berdasarkan nilai kandungan air pada keadaan kapasitas lapang (pF/tekanan osmotik air 2,54) dan pada keadaan titik layu permanen (pF 4,2).
“Artinya kondisi air tanah masih berada di atas kapasitas lapang dan tidak sampai di bawah titik layu permanen,” ungkapnya.
Tanaman yang berada pada kondisi titik layu permanen atau kelembapan kritis akan rusak akibat plasmolisis (keluarnya air dari sel).
Sebaliknya, keadaan kapasitas lapang membuat semua pori-pori mikro terisi air dan makro terisi udara. Pada kondisi ini tanah paling gampang dibongkar, sehingga menjadi ekonomis untuk pengolahan.
Ia pun mengingatkan, varietas padi yang toleran kekeringan atau tadah hujan tetap bisa tumbuh.
Dengan catatan, empat titik kritis kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman padi tetap terpenuhi.
Yakni pada fase pembibitan, fase anakan, fase pembungaan, dan fase pengisian.
Varietas Berumur Genjah
Cekaman kekeringan mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Mulai dari perubahan fisiologi, morfologi, pola pertumbuhan, dan mempengaruhi hasil.
Respon morfologi dan fisiologi dapat digunakan sebagai salah satu indikator yang dapat digunakan dalam seleksi varietas yang toleran kekurangan air.
Varietas padi dengan umur genjah (pendek) mempunyai peluang untuk ditanam pada daerah kering dengan periode hujan singkat.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 303 yang terbit September 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/