Foto: Istimewa
Masyarakat menghendaki ayam ASUH (aman, sehat, utuh, halal)
Industri unggas Nusantara tetap bisa berjaya karena ada seribu cara menghadapi ‘goyang samba’.
Perang ayam (chicken war) yang melanda dunia kini menghantui Indonesia. Kondisi ini semakin nyata saat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kembali menegur negara kita pada 12 Juli 2019 melalui surat tertulis untuk melakukan impor daging dan produk ayam asal Brasil sebagai sanksi atas kemenangan gugatan Negeri Samba itu.
Seluruh pemangku kepentingan industri unggas di dalam negeri pun saling berbenah menghadapi ‘ujian’ berat tersebut. Terlebih, daging ayam merupakan sumber protein hewani utama penduduk negeri +62 yang suplainya sudah sangat mencukupi.
Sugiono, Direktur Perbibitan dan Produksi Peternakan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan, produksi daging ayam nasional sudah surplus.
“Kebutuhan kita 12,13 kg/kapita/tahun sedangkan suplai lebih banyak. Jadi, sebenarnya kita tidak butuh impor dari Brasil. Adanya keputusan WTO atas persetujuan pemasukan daging ayam Brasil perlu disikapi dengan bijak namun tetap melindungi peternak dalam negeri,” ujarnya kepada AGRINA.
Suplai Ayam dan Telur
Melansir data Tim Komisi Unggas, Ditjen PKH Kementan, produksi day old chick (DOC) final stock (FS) 2018 sebanyak 3,1 miliar ekor broiler dan 183 juta ekor layer.
Tahun ini potensi produksi DOC FS mencapai 3,5 miliar ekor broiler dan 198 juta ekor layer. Setelah dikurangi konsumsi nasional 268 juta jiwa, produksi daging ayam ras (broiler) dan telur surplus sebanyak 200 ribu ton dan 1 juta ton telur.
Tim Komisi Unggas menghitung potensi produksi DOC FS tahun ini sebanyak 3,5 miliar ekor setara 3,6 juta ton daging ayam.
Angka ini didapat dari rata-rata produksi ayam ras (broiler) per bulan 291 juta ekor, dengan deplesi 6%, bobot karkas 69,44%, dan bobot ayam hidup (livebird) 1,6 kg, Badan Ketahanan Pangan (BKP) menyebut kebutuhan daging ayam ras selama 2019 mencapai 3,3 juta ton dengan konsumsi 12,13 kg/kapita/tahun.
Karena itu, produksi daging ayam broiler surplus sebanyak 200 ribu ton.
Sementara, rerata populasi layer umur produktif tahun ini sebanyak 167 juta ekor per bulan. Populasi ini dihitung berdasarkan realisasi produksi DOC layer 2017, 2018, sedangkan 2019 berdasarkan potensi impor grandparent stock (GPS) layer 2016, 2017, dan 2018.
Penyediaan telur ayam ras mencapai 2,8 juta ton dengan rerata produksi bulanan sebesar 239 ribu ton. Ketersediaan telur dihitung dalam kondisi normal dengan deplesi DOC FS layer 12%, 1 kg telur berisi 17 butir, serta masa hidup layer 85 minggu dan masa produktif 67 minggu.
Konsumsi telur tahun ini yang sebanyak 6,69 kg/kapita/tahun menghasilkan kebutuhan telur ayam ras mencapai 1,818 juta ton atau 151 ribu ton sebulan. Dengan demikian, telur ayam ras juga surplus sebesar 1 juta ton setahun atau 88 ribu ton per bulan.
Chickenomics
Ekonomi ayam (chickenomics) memang sanggup mengokohkan sekaligus mengguncang stabilitas negara. Aturan WTO yang memaksa Indonesia mengizinkan masuknya ayam Brasil tak pelak memukul ketentraman industri perunggasan nasional.
Cecep M. Wahyudin, Kepala Bidang Hukum dan Humas Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (Arphuin) menegaskan, Arphuin menolak keras impor daging ayam Brasil.
Selain karena suplai daging ayam nasional sangat mencukupi, pihaknya menilai daging ayam impor juga tidak memberikan efek ganda (multiplier effect) buat perekonomian Indonesia.
“Seluruh anggota Arphuin mampu menyuplai kebutuhan daging ayam yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) bagi masyarakat Indonesia. Seluruh rumah potong ayam (RPA) anggota Arphuin telah tersertifikasi halal dilengkapi nomor kontrol veteriner dan memperhatikan aspek higienitas dan keamanan pangan,” tegasnya di Cianjur, Jawa Barat, Jumat (16/8).
Terlebih, Arphuin sangat memperhatikan sistem rantai dingin sejak produksi hingga konsumen. Keberadaannya di berbagai provinsi juga memudahkan konsumen memperoleh daging ayam berkualitas baik.
Jika impor tak bisa ditolak, ia meminta pemerintah menjadikan Arphuin sebagai elemen pengontrol volume impor. Alasannya, Arphuin mengetahui betul pasokan dan permintaan daging ayam nasional. Dengan begitu, kelebihan pasokan bisa dihindari. “Pemerintah perlu membatasi segmen pasar yang bisa dimasuki daging ayam impor,” tandas Cecep.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 303 yang terbit September 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/