Selasa, 7 Mei 2019

Kiat Sukses Thailand Tanggulangi EMS

Kiat Sukses Thailand Tanggulangi EMS

Foto: Windi Listianingsih
3. Selama pemeliharaan di hatchery, pastikan benur SPF dan SPR serta bebas Vibrio parahaemolyticus

Sebagian besar EMS disebabkan air kolam atau sedimen kolam.
 
Sebagai bentuk kewaspadaan terhadap serangan penyakit Early Mortality Syndrome (EMS, sindrom kematian dini), pemangku kepentingan industri udang di Lampung mulai menimba ilmu dari Thailand. Bagaimana strategi dan kiat pembudidaya di Negeri Gajah Putih tersebut menanggulangi EMS yang merebak sejak 2012 sehingga bisa bangkit kembali?
 
 
Gejala EMS 
 
Menurut Grin Swangdacharuk, MS, pada 2012 Thailand tertular setelah sebelumnya EMS pertama kali ditemukan di China pada 2009. “Penyakit ini kemudian terus menyebar ke Asia Tenggara. Yakni, tahun 2010 muncul di Vietnam, disusul tahun 2011 di Malaysia, dan terakhir tahun 2012 di Thailand,” ujar Technical Manager Lanxess Regional Asia Pasifik itu pada seminar yang diselenggarakan Forum Komunikasi Praktisi Akuakultur (FKPA) Lampung.
 
Grin menunjukkan, udang yang terserang EMS kelihatan pucat, kusut, dan hepatopankreas berwarna putih. “Gejalanya mirip serangan AHPND,” lanjutnya. Jadi, EMS dikenal juga dengan istilah teknis Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) yang disebabkan Vibrio parahaemolyticus dan bakteri halofilik gram negatif. 
 
Akibat EMS, produksi udang Thailand yang sebelumnya rata-rata 600 ribu ton/tahun jatuh menjadi 60 ribu-70 ribu ton saja dalam setahun. “Ini merugikan kami hingga miliaran dolar,” akunya di hadapan sekitar 300-an pelaku usaha udang. Awalnya, Grin mengungkap, pembudidaya di Thailand menyalahkan hatchery (pembenihan) yang menyebarkan EMS melalui benur. Namun, tambak lain yang menggunakan benur dari hatchery berbeda ternyata udangnya juga tetap terkena EMS. Akhirnya berdasarkan penelitian pada 2014, disimpulkan bahwa sebagian besar EMS disebabkan air kolam atau sedimen kolam.
 
Grin lantas menjelaskan perbedaan bakteri Vibrio spp. dengan bakteri halofilik gram negatif. Koloni Vibrio hijau (green Vibrio) merupakan bakteri halofilik gram negatif. Koloni ini terjadi secara alami di lingkungan perairan di seluruh dunia dan berupa patogen beberapa hewan air. Serangannya dapat menyebabkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan cacat dan bintik-bintik hitam pada kulit udang. Akibatnya, pembeli akan memotong harga udang yang cacat sekitar 20%-30% dari harga pasar. 
 
Beberapa di antaranya menyebabkan Vibriosis bercahaya pada udang juga menjadi penyebab kematian di tambak udang dan akuakultur lainnya sebesar 5%-80% dalam beberapa hari. Sementara, Vibrio parahaemolyticus merusak usus udang hingga menimbulkan kematian massal sampai 80% hanya dalam beberapa hari. Vibrio ini berkoloni di dinding kolam lalu membentuk biofilm dan memproduksi toksin kemudian masuk ke dalam usus udang. 
 
“Umumnya EMS terjadi pada kolam dengan kepadatan tebar tinggi, jenis udang vaname, dan salinitas air yang tinggi. Ketiadaan tandon yang cukup untuk ganti air, persiapan kolam yang tidak sempurna, benur stres selama pengangkutan, dan oksigen rendah, serta over pakan,” jelasnya.
 
 
Vibrio parahaemolyticus
 
Menurut Grin, Vibrio parahaemolyticus pertama kali dilaporkan terdeteksi di China pada 2009 dan bisa terjadi secara alami di lingkungan perairan di seluruh dunia. Serangannya berlangsung secara musiman dan mencapai maksimum saat musim panas ketika suhu berada pada titik tertinggi dan dilengkapi koloni hijau.
 
V. parahaemolyticus memiliki plasmid yang menghasilkan dua sub-unit toksin. Toksin yang dihasilkannya mirip pada insektisida, terkait serangga Photorhabdus (Pir) Toxin. Organ yang menjadi target toksin adalah usus dan jaringan organ. “Saat udang sehat meski banyak patogen, tidak bermasalah. Tetapi ketika udang lemah sementara di lingkungan banyak patogen, maka muncul EMS. Patogen telah diidentifikasi sebagai bakteri di alam, terutama ditularkan melalui sistem pencernaan yang menghasilkan racun penyebab nekrosis dan degenerasi. Zat ini sangat menular pada udang namun tidak dapat menular ke manusia,” urainya.
 
Jadi, simpul Grin, habitat V. parahaemolyticus bisa di usus udang, air budidaya, dan sedimen. Vibrio jenis ini juga terkenal kemampuannya untuk penginderaan. Semakin banyak biofilm terbentuk, semakin banyak pula racun yang dihasilkan. Di dalam air kolam budidaya, Vibrio virulen parahaemolyticus dalam bentuk hidup bebas. 
 
V. parahaemolyticus hanya bisa membentuk koloni pada padatan tersuspensi atau pakan dan tidak ada pemicu untuk keracunannya. Jika Vibrio virulen parahaemolyticus pada sedimen atau lumpur dalam bentuk biofilm di dasar tambak, baik permukaan lumpur maupun permukaan keras, maka tidak ada pemicu untuk virulennya tetapi jumlah bakteri tinggi. Sementara jika berada dalam usus udang, Vibrio dalam formasi biofilm membentuk koloni pada perut dan usus udang.
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 299 yang terbit Mei 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain