Selasa, 7 Mei 2019

Achmad Dawami, Mengalir dengan “Membaca”

Achmad Dawami, Mengalir dengan “Membaca”

Foto: Windi Listianingsih
“Saya punya prinsip “The boss is not always right but is still the boss”. Saya yakin bahwa bos itu tidak selalu benar. Dia manusia. Manusia tempatnya salah dan dosa. Tapi, dia bos. Kita harus hargai.”

Pemerintah sangat berperan sebagai lokomotif pendongkrak konsumsi daging ayam nasional.
 
Dia dikenal senang guyon dan ceplas-ceplos. Waktu tidak terasa cepat bergulir saat berbincang dengannya. Perjalanan hidup tokoh perunggasan nasional ini pun unik serta sarat hikmah. Bagaimana Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menyikapi dunia perunggasan hingga kehidupan yang selalu berubah? 
 
 
Yang Terbaik 
 
Menjadi mahasiswa jurusan peternakan bukanlah mimpi Dawami, sapaan akrabnya. Selepas SMA, pria kelahiran 24 April 1956 itu ingin belajar arsitektur atau teknik sipil di Universitas Gadjah Mada (UGM), DIY.
 
Selain arsitektur dan teknik sipil, Abdul Latif, sang kakak berinisiatif mendaftarkannya ke bidang peternakan. Saat itu memang tersedia tiga pilihan jurusan yang harus diisi setiap calon peserta didik UGM. 
 
Hasil seleksi pun diumumkan. Dawami diterima sebagai mahasiswa peternakan, bukan arsitektur atau teknik sipil. “Itulah kadang-kadang manusia keinginannya apa, nanti dapatnya apa.
 
Kalau saya lebih cenderung bahwa insya Allah Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk kita. Ternyata, itu menjadi rizki dan saya bersyukur sampai sekarang,” ungkapnya menyikapi pengalaman masa kuliah. 
 
Pada 1974 pria keturunan Surabaya, Jatim dan Solo, Jateng, ini mengaku tidak menikmati awal perkuliahan sebagai mahasiswa peternakan. Ia juga sempat minder. Sebab, Fakultas Peternakan UGM yang tergolong baru itu kerap diejek fakultas lain.
 
“Kalau kita lagi lari main sepak bola mesti mereka teriak embek-embek, petok-petok gitu lho karena kita peternakan,” kekehnya. Pada semester I, pria yang jago beladiri ini pun kerap berkelahi dengan mahasiswa yang mengejek fakultasnya. 
 
Ia pernah mengutarakan untuk pindah jurusan tapi ditolak sang ayah. Menurut Mansur Burhan, ayahnya, universitas tempat melatih diri untuk berkomunikasi, bersosialisasi, dan menggabungkan ilmu serta logika menjadi satu-kesatuan utuh. “Kesuksesan lebih banyak ditentukan oleh kebiasaan dan sikap di masyarakat,” saran ayah. 
 
Setelah memikirkan petuah itu, Dawami fokus menyelesaikan kuliah secepatnya. Ia mengisi waktu dengan mengikuti organisasi fakultas dan olah raga, seperti baseball dan karate.
 
“Kalau itu sudah menjadi keputusan, ya kita harus fokus. Kita harus mencintai peternakan,” katanya. 
 
Manusia punya rencana. Namun, urainya, “Ada yang lebih kuat menentukan arah kita ke mana sehingga tidak bisa ngotot dengan apa yang kita inginkan tapi mengalir dengan iqra (bacalah).
 
Membaca situasi, komunitas, lingkungan, dan sebagainya untuk bisa berbuat seoptimal mungkin buat diri sendiri, keluarga, dan lingkungan, dan negara.” 
 
 
Dunia Perunggasan
 
Lulus kuliah, Dawami bekerja sebagai sales di Cipendawa, perusahaan peternakan milik Probo Sutedjo di Jakarta. “Di situlah asal-muasalnya saya terjun di dunia peternakan.
 
Dari situ saya menjual parent stock ke perusahaan di Surabaya,” bukanya. Saat pulang ke kampung halaman, ia meneruskan bekerja di Wisma Farm, pembibitan ayam di Surabaya. 
 
Pada 1984 ayah dua anak itu bergabung dengan Japfa Comfeed Indonesia hingga kini. “Mulai dari belum menikah sampai sekarang sudah punya cucu, itu saya syukuri.
 
Perjalanan hidup yang tidak terasa,” sambung Head of Marketing Broiler Commercial Poultry Division PT Ciomas Adisatwa itu. Ia kembali teringat pesan ayah akan pentingnya mencintai dan mendalami pekerjaan agar hidup enak serta bergaul dengan banyak orang.
 
“Peternakan itu semua orang pasti terkait karena semua orang pasti butuh makan. Jangan dikotak-kotak dengan disiplin ilmumu saja,” pesan ayah.
 
Ada bermacam ilmu di sektor peternakan, seperti matematika hingga fisika. Bahkan, kata Dawami, dunia peternakan menyukseskan dunia lain. “Gara-gara peternakan tumbuh, maka peternak butuh truk untuk mengangkut makanan ternak, hasil ternak, anak ayam, obat-obatan.
 
Maka, truk laris. Karyawannya butuh kendaraan maka mobil Toyota, Honda, Suzuki, laris. Perumahan juga laris. Multiplier effect-nya banyak sekali. Karena laris, mereka juga mementingkan bagaimana mengonsumsi protein melalui ayam, yang paling murah dan paling gampang dimasak,” serunya. 
 
Tidak lupa, penggemar telur dan daging ayam ini menegaskan pentingnya mengangkat konsumsi daging ayam dan melakukan promosi sistematis. Pemerintah sangat berperan sebagai lokomotif pendongkrak konsumsi daging ayam nasional.
 
“Pernah dengar Menteri Kelautan dan Perikanan bilang, “Kalau tidak mau makan ikan, saya tenggelamkan!” Kelihatannya bercanda tapi itu promosi,” ulasnya. 
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 299 yang terbit Mei 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain