Minggu, 7 April 2019

Gula itu Masih Tetap “Manis”

Gula itu Masih Tetap “Manis”

Foto: Istimewa
Produksi gula kristal putih (GKP) berbasis tebu baru mencapai 2,2 juta ton dari perkebunan seluas 415 ribu hektar (ha)

Tren produksi lokal yang menurun dan kebutuhan terus meningkat masih mampu memikat investor untuk mendirikan pabrik gula baru.
 
Peribahasa “ada gula ada semut” yang berarti di mana ada banyak kenikmatan, di situ banyak orang yang berdatangan, ternyata juga berlaku untuk bisnis gula di Tanah Air. Kebutuhan gula nasional untuk konsumsi dan industri sekitar 6 juta ton.
 
Sementara produksi gula kristal putih (GKP) berbasis tebu baru mencapai 2,2 juta ton dari perkebunan seluas 415 ribu hektar (ha). Sisanya dipasok gula kristal rafinasi (GKR), baik yang impor maupun produksi dalam negeri dengan bahan baku gula mentah (raw sugar) impor.
 
Dalam kesempatan wawancara dengan AGRINA di kantornya, Agus Wahyudi, Direktur Tanaman Pemanis dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementan, menyebut, kebutuhan gula konsumsi sebanyak 2,8 juta ton/tahun. Masih ada kekurangan 600 ribu ton/tahun. “Kalau produktivitas rata-rata 5 ton/ha, maka perlu areal 500 ribu ha untuk swasembada,” kata Agus.
 
Membantu Berswasembada
 
Kesenjangan produksi dan kebutuhan menurut kacamata pengusaha adalah peluang bisnis. Dua di antara sejumlah pengusaha yang berani membenamkan investasi besar untuk mendirikan pabrik gula baru adalah PT Rejoso Manis Indo (RMI) berlokasi di Blitar, Jatim dan PT Pratama Nusantara Sakti (PNS) di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
 
Komisaris Utama RMI Albert Y. Tobogu saat ditemui AGRINA di kantornya mengilas-balik, “Indonesia pernah menjadi produsen gula terbesar kedua di dunia setelah Brasil sekitar 1940-1960. Seiring perjalanan waktu, produksi gula nasional terus merosot secara signifikan.
 
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kebutuhan gula nasional, baik gula konsumsi maupun gula rafinasi  sebagai bahan baku industri makanan dan minuman dan industri farmasi yang terus meningkat.” 
 
Karena itu, lanjut Albert, pemerintah meluncurkan program swasembada gula dan mengendalikan impor. “Program tersebut tentu berkorelasi dengan perkebunan tebu dan petani tebu nasional. Kehadiran PT Rejoso Manis Indo kami harap bisa menjadi bagian yang konstruktif dalam mewujudkan swasembada pangan dan yang pada gilirannya akan memotivasi para petani tebu di dalam negeri. Selain itu dapat mengurangi pengeluaran devisa atas importasi gula,” papar mantan Direktur Impor, Kemendag, ini.
 
Hal senada diungkapkan Isman Hariyanto, Community, Compliance, and External Relation Director PNS melalui surat elektronik, 26 Maret 2019. “Saat ini kita menduduki peringkat satu negara importir gula (4,6 juta ton), dimana sebelumnya diduduki oleh China. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah menjadi salah satu negara eksportir gula. Hal ini menjadi dasar kami untuk ingin ikut berpartisipasi dalam program pemerintah mewujudkan swasembada gula,” ulasnya.
 
Isman melanjutkan, industri gula adalah industri padat karya. Perusahaan berharap dapat membuka lapangan pekerjaan untuk 1.000 orang karyawan tetap serta lebih dari 6.000 orang karyawan harian dan pekerja borongan. Dengan adanya perusahaan dapat memperbaiki pekerjaan dan perekonomian masyarakat sekitar, termasuk mengembangkan sumber daya manusia yang kompeten di industri gula.
 
Andalkan Tebu Rakyat
 
Dalam memanfaatkan peluang bisnis itu, kedua perusahaan itu memilih jalur yang berbeda.  Hans F. Hutama, Presiden Direktur RMI, mengatakan, sebelum mendirikan pabrik gula baru ini pihaknya sudah memiliki pabrik gula rafinasi, yaitu PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU) dan PT Berkah Manis Makmur (BMM) yang berlokasi di Serang, Banten.
 
BMM yang berdiri pada 2011 harus memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Perindustrian No.10/2017. Regulasi ini mengatur, perusahaan industri gula baru yang Izin Usaha Industrinya terbit setelah 25 Mei 2010 harus terintegrasi dengan perkebunan tebu.
 
Beleid ini memberi insentif pabrik baru untuk memanfaatkan idle capacity (kekosongan aktivitas pabrik) usai musim giling yang biasanya enam bulan. Pabrik boleh mengolah gula mentah impor selama lima tahun bila lokasinya di Jawa atau tujuh tahun bila di luar Jawa.  
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 298 yang terbit April 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain