Foto: windi listianingsih
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK berkurang dengan penerapan biosekuriti
Penerapan biosekuriti dapat mengurangi penggunaan antibiotik dalam peternakan, sekaligus meraup keuntungan lebih.
Pentingnya implementasi biosekuriti pada budidaya ayam pedaging (broiler) dan petelur (layer) menjadi sorotan semenjak penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promoter) resmi dilarang. Dalam rangkaian pekan kesadaran antibiotik sedunia, Pinsar Petelur Nasional (PPN) Wilayah Lampung bekerja sama dengan FAO Indonesia menggelar seminar yang berlangsung di Aula Fakultas Pertanian Unila, Lampung baru-baru ini.
Sarana Biosekuriti Belum Memadai
Hasil survei Adiharja Sukarna, Advisor FAO Indonesia mengenai pengendalian penggunaan antimikroba (Antimicrobial Usage, AMU) di 51 farm yang terletak di Kab. Lampung Selatan, sebanyak 81% kandang tidak memiliki fasilitas pembersih (disinfektan) sedangkan 10% memiliki dan menggunakannya. Sisanya, 8% memiliki tapi tidak menggunakan. Bahkan, sebesar 86% tidak menyediakan pakaian khusus.
Sebanyak 63% pengunjung masih bebas keluar masuk kandang peternakan. Sekitar 57% juga tidak memiliki dokter hewan sebagai penanggung jawab di peternakan. Adiharja pun menyimpulkan, ketersediaan sarana biosekuriti di peternakan ayam masih sangat terbatas.
Lebih jauh ia mengatakan, tipe kandang yang digunakan 90% masih didominasi kandang terbuka (open house). Terkait frekuensi pemberian vaksin, peternak kebanyakan menerapkan pada usia 0 hari, hari ke-5, dan ke-12. Kemudian, sekitar 75% dilakukan secara rutin dan sisanya tidak melakukan vaksinasi rutin. Dalam melakukan pencegahan penyakit, sebanyak 30% menggunakan herbal, 12% vitamin, dan 10% air gula.
Survei juga menunjukkan, 76% lebih peternak memberikan antibiotik untuk pencegahan penyakit dan 32,35% untuk pengobatan. Frekuensi hari pertama pemberian antibiotik sebanyak 18,75%, hari ketujuh 16,67%, dan hari kelima belas 14,58%. Alasan 69% peternak memberikan antibiotik sebelum ayam dipanen untuk pencegahan dan 30% buat pengobatan.
Untuk pengobatan, 52% peternak mengaku pernah gagal menggunakan antibiotik dan sisanya mengaku tidak pernah gagal. Data lain yang diperoleh yakni rata-rata bobot ayam saat dipanen mencapai 1,61 kg dan indeks performance ada pada angka 325,8. “Tingginya persentase kegagalan pengobatan menunjukkan banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang ada,” ulasnya.
Jenis antibiotik yang banyak digunakan peternak berupa Enrofloxacin sekitar 32%, Amoxicillin + Colistin 29%, Ampicillin+Colistin 20%, dan Amoxicillin 14%. Selebihnya aplikasi Trimethoprim, Lincomycin + Spectinomycin, Sulfamonomethoxine, Ampicillin, Ampicillin + Erythromycin, dan Ciprofloxacin.
Lebih dari 70% pihak yang berperan dalam memberikan antibiotik adalah pemilik peternakan dan petugas penyuluh lapang (PPL) kemitraan. Selanjutnya, lebih dari 46% pihak yang berperan dalam mengambil keputusan penggunaan antibiotik tidak memiliki latar belakang dokter hewan. “Sumber antibiotik yang diterima peternak lebih dari 90% berasal dari PPL kemitraan, TS swasta dan poultry shop. Demikian pula ketika ditanya pihak yang paling berpengaruh dalam pemilihan (jenis) antibiotik adalah PPL kemitraan dan TS swasta. Prosentasenya lebih dari 80%,” jabar Adiharja.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 296 yang terbit Februari 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/