Foto: DOK. AGRINA
Reputasi minyak sawit membaik di Italia
Kampanye hitam yang masif terhadap sawit mengancam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Perlu dilawan dengan data dan komunikasi yang luas.
Sebagai produsen sawit nomor satu dunia, Indonesia menghadapi tantangan dari negara-negara penghasil minyak nabati pesaing sawit, misalnya minyak kedelai, rapeseed, biji bunga matahari, kelapa, dan kacang tanah. Salah satu caranya, mereka menggandeng lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melancarkan kampanye hitam untuk menjatuhkan reputasi sawit di mata konsumen.
Kampanye hitam tersebut terutama terjadi di pasar Eropa. Tahun lalu, catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut, pasar tersebut menyerap 5,026 juta ton minyak sawit dan turunannya. Pangsanya sekitar 16% dari total ekspor Indonesia yang mencapai 31,5 juta ton.
Jumlah itu cukup besar dan menyangkut hajat 16,2 juta jiwa yang menggantungkan kesejehateraannya di industri sawit. Itu salah satu dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs) yang ditetapkan PBB harus dicapai pada 2030. Kampanye hitam yang marak itu mengancam kehidupan mereka sehingga sangat layak dilawan secara bersama-sama.
Esensi dan Implikasi
Untuk menggambarkan wujud dan implikasi kampanye tersebut, Pietro Paganini, profesor dari Universitas John Cabot, Roma, Italia, memaparkannya dalam acara International Palm Oil Conference (IPOC) 2018 & 2019 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, 2 November silam.
“Apa yang terjadi di Eropa sekarang ini bukanlah tentang lingkungan, bukan tentang kesehatan, tetapi tentang reputasi. Minyak sawit mendapat reputasi yang jelek di sana,” ungkap Paganini.
Dia lalu menjelaskan kasus di Italia, bukan hanya itu negaranya tetapi juga lantaran di sanalah terjadi kampanye terburuk yang dilakukan para produsen permen dan biskuit terhadap sawit pada 2015-2016. Peluru utama untuk menyerang reputasi sawit adalah kandungan lemak.
“Dengan argumen palsu, para produsen biskuit dan permen, mengatakan, minyak sawit mengandung lemak jenuh, kontaminan, dan bersifat karsinogenik. Kami tidak menggunakannya karena kami peduli dengan kesehatan Anda,” ulas pengajar Administrasi Bisnis di Universitas Philadelphia tersebut.
Dalam rangka diferensiasi produk dan mengakuisisi konsumen, mereka menggunakan label “free from palm oil” atau dalam bahasa Italia, “senza olio di palma”. Mereka tahu betul banyak konsumen Eropa yang terobsesi dengan produk yang berlabel “free from” sehingga konsumen tertarik membeli produk mereka.
Apakah produk tersebut benar-benar lebih baik ketimbang yang mengandung minyak sawit? Ternyata tidak. Menurut Paganini yang aktif dalam gerakan ForFreeChoice.org, berdasarkan penelitian terhadap sejumlah merek makanan, 90% produk tanpa sawit kandungan lemak jenuhnya tidak lebih baik ketimbang produk yang mengandung minyak sawit. Dan hanya 10% yang lebih baik.
“Hasil kampanye masif melalui media itu luar biasa. Ada penurunan impor minyak sawit untuk pangan sebesar 18%. Impor minyak sawit asal Indonesia untuk pangan juga berkurang 70% dan impor sawit untuk nonpangan berkurang 33%. Ini sangat mempengaruhi bisnis Anda juga petani Anda. Pada 2017 reputasi minyak sawit anjlok 49% akibat sentimen negatif itu. Dan sebaliknya, penjualan produk bebas minyak sawit naik 12,9% dan 13,5% pada 2017 dan 2016. Mereka menangguk untung dengan menghilangkan minyak sawit,” jabar doktor dalam Communications & Complex Organization tersebut.
Paganini dan kawan-kawannya lalu mendatangi lembaga pemerintah, AntiTrust. Mereka mempresentasikan hasil penelitian itu. “Ini jelas diskriminasi dan konsumen disesatkan. Mereka membeli produk yang mereka percaya lebih baik, tapi ternyata tidak. Kementerian Ekonomi Italia akhirnya mengizinkan pencantuman label jika memang ada penurunan lemak jenuh secara signifikan dan penggantinya lebih tinggi tingkat keberlanjutannya,” ujarnya.
Tak hanya ke lembaga pemerintah, Paganini juga mendatangi berbagai media dan mengedukasi mereka. Ia meminta media tidak lagi menyiarkan berita tentang minyak sawit tanpa bukti ilmiah. “Hasilnya tahun ini reputasi minyak sawit membaik di Italia. Sentimen negatif turun dari 49% ke 43% beberapa bulan terakhir
Namun sayang, ketika reputasi sawit di Italia membaik, kejadian sebaliknya merebak di Spanyol dan Perancis. Dan kejadiannya persis seperti di Italia dua tahun silam yang berakibat konsumsi dan pembelian minyak sawit berkurang.
Rata-rata setiap enam bulan, ada orang pintar datang ke parlemen berkoar-koar bahwa sawit itu jelek dan minta para pengguna minyak sawit ditahan. “Ini sungguh menciutkan nyali para produsen makanan yang menggunakan minyak sawit dalam produksinya. Beberapa perusahaan bilang, kami tak pakai minyak sawit bukan lagi dengan alasan kesehatan tapi untuk lingkungan. Setelah dua tahun alasan kesehatan kalah, mereka berubah arah ke lingkungan. Dengan menghilangkan minyak sawit, kami menyelamatkan planet, menyelamatkan dunia,” cerita Paganini menirukan klaim produsen makanan.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 294 yang terbit Desember 2018. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/