Foto: DOK. AGRINA
Stok melimpah, harga anjlok
Harga sawit yang ekstrem rendah tahun ini perlu solusi komprehensif agar komoditas ini tetap bisa diandalkan.
Sejak Desember tahun lalu, harga tandan buah segar (TBS) sawit terus turun. Rata-rata harga cuma Rp600/kg di tingkat petani swadaya. Sementara harga minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) rata-rata US$450/ton. Padahal harga pokok produksi TBS Rp700 – Rp800/kg dan CPO sebesar US$470-US$480/ton.
Akibatnya, banyak petani terpaksa membiarkan tanamannya. “Sawit tidak terurus karena biaya-biaya yang biasanya buat mengurus sawit dipakai untuk hidup sehari-hari. Cukup buat makan, kadang makan pun susah. Akhirnya pendidikan anak-anak juga asal-asalan saja,” ungkap Tolen Ketaren, Ketua Umum DPP Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE) dalam diskusi terbatas “Menahan Kejatuhan Harga CPO, Menyelamatkan Petani” di kantor Berita Satu, Jakarta (5/12).
Dalam kondisi harga yang cekak, lanjut dia, petani melakukan efisiensi dengan mengurangi frekuensi pengendalian gulma, menurunkan dosis pupuk dan frekuensi pemupukan, bahkan mengganti pupuk kimia dengan pupuk kandang. Selain itu juga mereka memperpanjang rotasi panen untuk mengirit biaya panen. “Kami khawatir produksi 2019 nggak ada karena tahun 2018 ini tidak ada perawatan sama sekali,” ulas Tolen yang mewakili suara 7.800 petani anggota SAMADE di Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Jambi, Sumsel, dan Bengkulu.
Harga Ekstrem
Menurut Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), yang juga tampil dalam diskusi tersebut, fluktuasi harga bagi pengusaha sebenarnya sudah biasa. Ia menunjukkan pola fluktuasi harga sawit selama lima dekade yang mirip.
“Memang kondisi 2018 ini agak ekstrem, terutama dari sisi fundamentalnya. Malaysia tidak biasanya naik stoknya dan stok Indonesia juga naik (masing-masing 3 juta dan 4 juta ton). Beda dengan tahun-tahun sebelumnya sehingga sudah bisa ditebak, stok berlebih ya harga pasti akan jatuh,” papar Joko.
Selain itu, perang dagang antara China dan Amerika Serikat menyebabkan stok kedelai Amerika menumpuk karena China tak mau beli akibat kenaikan tarif yang diberlakukan Amerika. Sementara panen kedelai di negara lain juga bagus sehingga ikut menekan harga sawit. Pasalnya, kedelai termasuk pesaing minyak sawit di pasar minyak nabati dunia.
Kendati begitu, Joko optimistis harga akan membaik tahun depan. Alasannya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.152/05/2018 yang terbit 4 Desember 2018 menetapkan, harga CPO di bawah US$570, maka pungutan ekspor CPO nol. Beleid baru ini mendorong pelaku usaha berani melepas stoknya meskipun dengan sedikit berkorban. Stok akan menipis hingga akhir tahun dia perkirakan tinggal 3,5 juta – 3,6 juta ton. Stok rendah akan bertahan sampai kuartal pertama mengikuti pola produksi rendah.
“Sentimen pasar positif, harga TBS akan naik,” tandas Wakil Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk. tersebut. Dan memang, harga TBS mulai beringsut naik Rp30 – Rp40/kg.
Untuk menyelamatkan petani, Bhima Yudhistira Adinegara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), yang juga bicara dalam diskusi itu, mengusulkan adanya price flooring (harga dasar). Misalnya harga sekarang Rp500 di level petani, maka pemerintah menentukan harga dasar TBS sebesar Rp700 – Rp800/kg. Pemerintah memberikan subsidi selisihnya seperti pemerintah Jepang pernah melakukannya ketika harga beras sangat anjlok.
Menggenjot Ekspor
Sampai saat ini, ekspor sangat penting bagi industri sawit nasional. Pasalnya, sebanyak 70% dari produksi sawit nasional yang jumlahnya mencapai 42 juta ton diekspor. Pasar ekspor utamanya meliputi India, Uni Eropa, China, negara-negara Afrika, Pakistan, Timur Tengah, Bangladesh, dan Amerika Serikat.
“Kita memang bisa cari pasar alternatif lain, yaitu Afrika, Rusia, Eropa Timur di negara eks Soviet yang belum teracuni isu lingkungan oleh parlemen Eropa, juga Amerika Latin. Tapi negara-negara alternatif tersebut bisa digarap dalam jangka panjang. Untuk saat ini quick win-nya (langkah cepat) adalah bagaimana membereskan permasalahan yang ada di depan mata, yaitu India,” ujar Bhima.
India merupakan pasar terbesar sawit Indonesia dengan volume impor 7,626 juta ton pada 2017. Namun pada 2 Maret 2018, pemerintah PM Narendra Modi menaikkan bea masuk CPO menjadi 48,4% dan RBD Palm Oil sebesar 59,5% untuk melindungi petani rapeseed dan industri refinery di dalam negeri. Tak pelak, ekspor Indonesia pun menyusut 30% per Juli 2018.
Menurut Bhima, untuk membuat India sedikit merelaksasi bea masuknya, kita bisa membuka peluang lebih banyak bagi produk Negara Anak Benua itu ke Indonesia. Daging kerbau dan daging sapi India memang sudah masuk, tetapi jumlahnya belum cukup banyak.
“Kita list 10 komoditas apa yang bisa kita ringankan bea masuknya. Lalu, kita masukkan yang tadinya jalur merah di Bea Cukai ke jalur hijau. Selain itu minyak rapeseed mereka kita persilakan masuk dengan bea masuk rendah tapi kita bisa jual lebih banyak CPO ke India. Artinya tit for tat, kita dapat apa, mereka dapat apa. Lalu tercapai konsensus bersama daripada membiarkan India terus bermain dengan bea masuk CPO,” usul alumnus Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM 2013 ini.
Menurutnya, pemerintah harus cepat mengambil langkah kalau tidak ingin kasus dengan Pakistan terulang. Pakistan pernah ngambek dengan Indonesia pada 2008 karena sejak perjanjian dagang dua negara berlaku, defisit perdagangannya membengkak lantaran kebanjiran CPO dari Indonesia.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 294 yang terbit Desember 2018. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/