Minggu, 7 Oktober 2018

Meretas Belenggu Sang Penghasil Devisa

Perannya tak hanya mengalirkan devisa ke dalam negeri, tapi juga menjadi sarana mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. 
 
 
Siapa bilang perkebunan sawit Indonesia hanya didominasi perusahaan-perusahaan besar? Dominasi yang mencolok itu sudah berakhir. Sejak 2000-an, kepemilikan kebun petani berkembang pesat. Dari 14 jutaan ha total luas kebun sawit nasional saat ini, milik petani 5,61 juta ha (40%), perusahaan swasta 7,07 juta (55%), dan 5% lainnya perusahaan pelat merah. 
 
 
Mendatangkan Kehidupan Lebih Baik
 
Mengapa petani berminat mengusahakan sawit? “Sawit itu primadona. Banyak orang yang berkepentingan dan dengan sawit kita lebih sejahtera,” cetus H. Narno, Manajer Asosiasi Amanah dari Riau, mewakili suara sebagian dari mereka.  
 
Berbicara dalam seminar yang digelar EuroCham (Kadin Eropa) dan Uni Eropa di Jakarta, 27 September silam, ia memaparkan alasan dan manfaat sawit bagi kehidupan para petani anggota asosiasi. 
 
“Investasi lahan murah, satu kavling dua hektar mampu dikelola sendiri. Aktivitas di kebun tidak setiap hari, hanya 1-3 minggu sekali sehingga juga bisa bekerja di tempat lain. Penjualan hasil produksi mudah, dan masa produksi tanaman panjang, 20-25 tahun,” urainya di depan peserta seminar bertema “Working Together Towards Sustainable Palm Oil” itu.
 
Selain faktor teknis, tokoh petani swadaya tersebut memperlihatkan perubahan kehidupan yang jauh lebih layak dari sebelumnya dengan menampilkan potret rumah petani dan kantor asosiasinya. Mereka pun mudah memperoleh modal investasi dari perbankan. “Biaya pendidikan anak-anak juga lebih terjamin karena setiap bulan ada panen. Membuka lapangan kerja dan akses pasar lebih dekat,” imbuhnya.
 
Memang ia mengakui, tidak semua petani menikmati enaknya bertani sawit. Petani yang benar-benar mandiri menghadapi risiko tinggi ketika harga rendah seperti bulan-bulan terakhir ini. Menurutnya, harga tandan buah segar (TBS) akhir September lalu di level petani mandiri sekitar Rp750/kg. Sementara petani plasma perusahaan masih bisa mendapat harga lumayan, Rp1.350/kg.  
 
Narno dan kawan-kawannya bukan petani asalan. Mereka mempraktikkan cara budidaya yang baik dan memenuhi kaidah berkelanjutan dengan bimbingan PT Asian Agri, salah satu perusahaan perkebunan sawit di Riau selaku pembeli TBS, World Wildlife Fund (WWF) dan Carrefour Foundation. Berkat bertani yang baik itu pula Amanah mampu meraih sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak enam tahun lalu dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tiga tahun silam. 
 
Produktivitas tanaman mereka pun tak kalah dengan perkebunan besar. “Produksi TBS bisa mencapai 23-25 ton/tahun,” ujar lelaki asal Wonogiri, Jateng, yang bermukim di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau, itu dengan bangga. Wajar bila pendapatan mereka juga lebih baik dan akhirnya taraf hidup lebih baik pula. Di akhir paparannya, Narno mengungkap kebutuhan spiritual sebagian anggotanya untuk umroh bersama secara gratis juga bisa tercapai berkat sawit.
 
 
Penopang Ekonomi Bangsa
 
Cerita Narno itu mewakili komunitas petani. Bagaimana dengan kontribusi sawit di kancah nasional? 
 
“Produksi sawit kita sudah mencapai 42 juta ton, ekspor 31 juta ton. Jadi lebih dari 70% kita ekspor. Nilainya US$22,9 miliar tahun lalu atau setara Rp300 triliun lebih. Sampai Juli 2018 sudah mencapai US$11 miliar. Mudah-mudahan akan mencapai US$22 miliar,” tutur Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada seminar “Status Lahan Kebun Sawit dan Sertifikasi Pascakeputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/2015” di Hotel Aryaduta, Jakarta, 5 September lalu. Nilai ekspor tersebut membalap nilai ekspor sektor migas yang sebesar US$15 miliar.
 
Pada acara yang digelar AGRINA bersama Palm Oil Strategic Policy Institute (PASPI) tersebut, Mukti memperlihatkan kinerja perdagangan sawit yang tetap biru artinya tetap plus di tengah kondisi neraca perdagangan defisit. “Jadi kalau sawit bermasalah, negara ini juga bermasalah. Kebijakan pemerintah dengan B20 (mandatory biodiesel) sangat bagus. Itu akan menyehatkan neraca perdagangan kita,” imbuh mantan Direktur Tanaman Tahunan, Ditjen Perkebunan, Kementan, itu.  
 
Kebijakan B20 ini baru diluncurkan 1 September 2018 ini dimaksudkan menyerap lebih banyak minyak sawit di dalam negeri untuk digunakan dalam produksi biodiesel. Walhasil, impor bahan bakar minyak (BBM) bisa berkurang. Stok nasional minyak sawit berkurang juga dan diharapkan harga akan menguat. 
 
 
Penyelamat Dunia
 
Nilai strategis sawit tidak sebatas pengalir devisa di Indonesia tapi juga memberi makan dunia. Kebutuhan minyak nabati dunia pada 2025, menurut Togar Sitanggang, akan bertambah sekitar 51 juta ton akibat pertambahan populasi. Bagaimana cara mmenuhi kebutuhan itu? 
 
“Kalau kita bergantung pada sawit, kita perlu 13 juta ha lahan baru dengan produktivitas 3,96 ton/ha. Kalau rapeseed butuh 51,5 juta ha dengan produktivitas 0,99 ton/ha. Sementara jika mengandalkan minyak bunga matahri butuh 71,8 juta ton dengan produktivitas 0,71 ton/ha, Dan kalau bergantung pada minyak kedelai diperlukan lahan baru 98,1 juta ha dengan produktivitas 0,52 ton/ha,” papar Wakil Ketua Umum GAPKI di acara EuroCham. Jadi, kesimpulannya, sawit paling efektif dalam penggunaan lahan. 
 
Hal ini juga terlihat dari ekspansi lahan untuk penanaman minyak nabati di banyak negara yang meningkat akibat kenaikan permintaan. Mengutip data Oil World, menurut Togar, pada periode 2012-2017 lahan kedelai bertambah 13 juta ha, sementara sawit hanya bertambah 4,73 juta ha (lihat Tabel Pembukaan Hutan untuk Minyak Nabati). 
 
Hal senada dilontarkan Mahendra Siregar, Direktur Eksekutif CPOPC, dalam jumpa pers yang diselenggarakan Sinar Mas Agribusiness and Food di sela acara pertemuan dengan para pemasoknya di Jakarta, 19 September 2018.
 
“Dalam keterbatasan global land bank (hamparan tanah untuk pertanian) di dunia ini, sawit itu penyelamat dari peningkatan permintaan global yang pasti akan terjadi karena jumlah populasi dan daya beli khususnya negara emerging market meningkat. Itu satu. Kedua, sawit itu adalah tanaman yang masa produktifnya lebih dari 20 tahun dibandingkan sebagian atau seluruh lain yang sifatnya semusim,” ulas mantan Wakil Menteri Perdagangan itu.
 
 
Sarana Mencapai Tujuan SDG
 
Dalam konteks negara-negara berkembang, PBB memasang target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals- SDGs) pada 2030. Dari 17 target SDGs, menurut Togar, pengembangan sawit cocok dengan 11 tujuan, lima tujuan primer dan enam tujuan sekunder. 
 
Lima sasaran primer adalah SDGs1, yaitu menghilangkan kemiskinan dengan segala bentuknya. SDGs2 adalah mengatasi kelaparan, mencapai ketahanan pangan, meingkatkankualitas nutrisi dan mempromosikan pertanian berkelanjutan. SDGs8 yaitu mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, penyerapan tenaga kerja, dan pekerjan yang layak.
 
Sementara SDGs 12 adalah menurunkan kesenjangan atau ketidaksetaraan di dalam negeri maupun luar negeri. “Kami ingin setara dengan orang-orang Eropa dan saya percaya itu bisa dicapai dengan sawit,”  ucap Togar mantap. Dan SDGs 12 untuk memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. 
 
Sementara tujuan sekunder yang bisa dihasilkan dengan pengembangan sawit ada enam.  Dilihat dari nutrisi, sawit memenuhi syarat untuk memastikan kesehatan dan kebugaran bagi semua umur (SDs3). Dari nilai ekonomi yang didapatkan, sawit memenahi kriteria sebagai komoditas yang dapat mempromosikan pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, pemberdayaan wanita.
 
Tak kalah  penting adalah  ditinjau dari aspek lingkungan, antara lain tanaman sawit dapat mengatasi penelantaran lahan, menjaga kehilangan keanekaraagaman hayati, dan menjaga keberlanjutan hutan.
 
Namun, sayang sebegitu strategisnya sawit untuk mencapai SDGs mendapat banyak tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Dari luar negeri, khususnya Eropa, mereka masih mengaitkan isu deforestasi dengan biodiesel asal sawit.
 
Uni Eropa memutuskan menghilangkan sawit sebagai bahan baku bioenergi mereka pada 2030. Padahal, para ekspor biodiesel sawit dari Indonesia, menurut Togar, sudah lulus sertifikasi International Sustainaibility & Carbon Certification (ISCC) yang notabene sertifikasi berstandar Eropa. Sejauh ini mereka telah mengekspor 1 juta ton biodiesel bersertifikat.
 
Sementara itu Agus Purnomo melihat paradigma keberlanjutan yang terdistorsi di pasar Eropa. “Indonesia dipersyaratkan untuk menjaga dan merehabilitasi keanekaragaman hayatinya dan juga hutannya. Bagaimana pula dengan negara lain di dunia?” ujar Agus bernada tanya juga di acara EuroCham.
 
Selain itu, Managing Director Sustainability & Strategic Stakeholders Engangement PT Sinar Mas Agribusiness and Foods, itu menambahkan, pihaknya sudah mengekspor biodiesel bersertifikat ISCC ke Eropa dan sudah menerima insentif harga sesuai hitungan karbon yang berhasil dikurangi. “Namun, debat kebijakan yang terjadi sekarang di Uni Eropa terlihat ke arah sebaliknya,” tukas Agus kepada Dubes Uni Eropa Vincent Guerend yang duduk di sebelahnya saat presentasi.
 
Dari sisi perdagangan, banyak juga tantangan yang datang dari negara pengimpor seperti India. Konsumen terbesar minyak sawit Indonesia ini menaikkan pajak impornya 54% untuk melindungi pasraminyak nabati produksi dalam negeri.
 
 
Hambatan dari Dalam
 
Tantangan dan belenggu sawit juga datang dari dalam negeri. Yang cukup penting dan kronis adalah legalitas lahan perkebunan akibat tumpang tindih, ketidak-konsistenan regulasi, dan koordinasi yang lemah di antara lembaga negara. Salah satunya  implikasi putusan Mahkamah Konstitusi No.138/2015 yang mengabullkan 5 dari 11 pasal UU No.39/2014 tentang Perkebunan. 
 
Sebegitu pentingnya implikasi putusan itu menyebabkan atmosfer ketidakpastian hukum tetapi kurang disadari pemerintah sampai tiga tahun berlalu tanpa aturan peralihan atau pelaksanaan. Karena itu AGRINA bekerja sama dngan Palm Oil Strategic Policy Instistute (PASPI) menggelar seminar “Status Lahan Kebun Sawit dan Sertifikasi Pascakeputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/2015” di Jakarta dengan menghadirkan pakar hukum, pejabat Kementan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kadinas Perkebunan Kalteng, GAPKI, RSPO, ISPO, 
 
Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI, berjanji akan menjadi bagian yang proaktif untuk mendorong agar eksekusi atau pelaksanaan MK 138 dilakukan secepat mungkin melalui peraturan terkait. Juga mengawal kelahiran peraturan pemerintah yang tengah disiapkan untuk menindaklanjuti putusan tersebut. 
 
 
 
Peni Sari Palupi, Galuh IC, Try Surya A, Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain