Dalam perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No.39/2014 tentang perkebunan, putusan MK No.138/PUU-XIII/2015 seolah-olah mengubah status lahan perkebunan sawit. Benarkah?
Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji konstitusional terhadap sebelas pasal dalam UU No.39/2014 tentang Perkebunan, yakni Pasal 12 ayat 2, Pasal 13, Pasal 27 ayat 3, Pasal 29, Pasal 30 ayat 1, Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57 ayat 2, Pasal 58 ayat 1 dan 2, Pasal 107, dan Pasal 114 ayat 3. Dari kesebelas pasal yang diuji, MK menolak sebagian permohonan dan mengabulkan sebagian lainnya.
Menurut Bahrul Ilmi Yakup, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK), ketika MK menolak suatu permohonan artinya MK secara serta merta menyatakan norma yang diuji adalah konstitusional dan tidak ada perubahan. Adapun dalam PUU, MK menerima permohonan dengan konstitusional bersyarat (conditionally constitution). Artinya, MK memberi terjemahan konstitusional terhadap norma yang diuji.
“Misalkan ada norma ‘dan/atau’, kemudian konstitusi menghilangkan kata ‘atau’, maka yang dibaca adalah kata ‘dan’,” jabar pakar hukum konstitusi ini dalam seminar yang diselenggarakan AGRINA dan PASPI, di Jakarta, Rabu (5/9).
Menjadi Putusan Krusial
Putusan MK No.138/PUU-XIII/2015, dikabulkan lima item dari pasal ayat yang tercantum dalam UU No.39/2014. Di antaranya, Pasal 27 ayat 3, Pasal 29, Pasal 30 ayat 1, Pasal 42, dan Pasal 55 secara konstitusional bersyarat. Bahrul menjelaskan, dari pasal yang ujinya disetujui MK ini lahir isu krusial bagi usaha perkebunan sawit.
Pada Pasal 42, MK menyatu-unitkan usaha budidaya tanaman perkebunan, usaha pengolahan hasil perkebunan, dan usaha jasa perkebunan dengan hak atas tanah (HGU) dan izin usaha perkebunan (IUP). Secara konstitusional, putusan terhadap Pasal 42 dinilainya keliru lantaran bertentangan dengan beberapa undang-undang lain di sektor usaha lainnya.
Dulu, perusahaan perkebunan boleh beroperasi bila sudah mendapatkan izin lokasi, kemudian IUP. Sementara hak atas tanahnya pun belum ada atau sambil diurus. Persoalannya, saat ini IUP dan HGU disatukan. MK menghilangkan kata ‘atau’ sehingga pasal itu dibaca ‘hanya dapat dilakukan perusahaan perkebunan apabila telah mendapat hak atas tanah (HGU) dan izin usaha perkebunan (IUP)’.
MK tidak mempertimbangkan bahwa usaha perkebunan terdiri dari berbagai jenis, seperti usaha budidaya tanaman, usaha pengolahan hasil perkebunan, dan usaha jasa perkebunan. Menurut Bahrul, budidaya tanaman memang memerlukan lahan. Tapi pengolahan hasil perkebunan belum tentu perlu HGU. Bisa saja mendirikan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) cukup dengan sewa.
Putusan ini memberi semangat baik, namun tidaklah komprehensif. “Ini tidak mengubah status hak atas tanah, tapi memang berimplikasi kepada beberapa hal, misalnya bagi investor baru,” tegas Bahrul.
Investor baru harus mengurus dan mengantongi kedua izin tersebut baru bisa memulai aktivitasnya. Padahal berdasarkan pengalaman pelaku usaha, untuk memperoleh HGU butuh waktu cukup lama.
Yang menjadi krusial lainnya adalah Pasal 55. Masyarakat hukum adat dapat mengambil hasil kebun sawit secara sah, tanpa boleh dihukum, pada perusahaan yang belum ber-HGU. Hal ini jelas dapat menjadi ancaman bagi perusahaan perkebunan.
Untuk mencegah hal itu terjadi, “Pemerintah harus membuat aturan tentang masyarakat hukum adat. Solusi lainnya adalah uji kembali beberapa pasal yang dinyatakan tidak konstitusional dengan perspektif yang berbeda sesuai kepentingan perusahaan,” urai Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta ini.
Wajib IUP dan HGU
Menyikapi Putusan MK, Sri Umawati, Kepala Subdirektorat Penetapan Hak Milik, Hak Guna Bagunan, dan Hak Pakai pada Direktorat Pengaturan dan Penetapan Hak Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional, mengatakan, Kementerian ATR sudah menyesuaikannya dengan Peraturan Menteri No.7/2017. Permen ini mengatur tata cara penetapan HGU.
Adapun syarat yang disebutkan dalam Pasal 60, IUP wajib ada. “Hak dan kewajiban itu terbit setelah HGU terbit. Artinya, antara IUP dan HGU harus ada. Jadi kita menyesuaikan dengan ketentuan MK,” ulasnya.
Terkait dengan tanah ulayat, Sri berujar, pelepasan tanah ulayat harus sesuai mekanisme. Keberadaan tanah ulayat pun harus dilihat ketentuannya, yaitu ada wilayah, masyarakat hukum adat, aturan, dan pemenuhan tata aturan.
Sementara tentang perubahan lahan tata ruang, kaitannya memang erat dengan instansi lainnya. Fakta di lapangan, terdapat perbedaan antara data peta Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Semestinya ada surat keputusan dan ada tata guna hutan kesepakatan (TGHK).
Untuk kasus seperti ini, ungkap Sri, memang perlu penanganan khusus. Perlu dipikirkan bersama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pihak-pihak terkait. Sebab terjadinya perubahan-perubahan kawasan menjadi hal yang menyulitkan dalam pemberian HGU.
Solusinya Duduk Bersama
Dalam kesempatan yang sama, Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif GAPKI mengungkapkan, putusan MK ini sudah tiga tahun berjalan, namun dampaknya baru didalami saat ini. Terkait penggunaan lahan dalam usaha perkebunan, anggota GAPKI menggunakan lahan masyarakat ulayat, Areal Penggunaan Lain (APL) yang kewenangannya ada di Bupati, Hutan Produksi Konversi (HPK) yang kewenangannya ada di Kementerian LHK, dan HGU yang kewenangannya ada di Kementerian ATR/BPN. Para anggota GAPKI berupaya menuruti semua ketentuan yang ditetapkan pemerintah.
Sebelum melakukan usaha, Mukti meyakini, pelaku usaha perkebunan selalu mendapatkan IUP. Sebab bagi para pelaku usaha, IUP bagaikan SIM (Surat Izin Mengemudi). Namun syarat menebus IUP pun tidaklah mudah.
Sementara untuk HGU, Mukti mengungkapkan, pengurusannya belum ada kepastian waktu penyelesaian. “Bisa satu tahun, 10 tahun, malah PTPN sampai sekarang ada yang tidak jadi HGU. Belum lagi masalah hak ulayat masyarakat adat menjadi salah satu disinsentif dalam mengurus HGU,” beber mantan Direktur Tanaman Tahunan, Ditjenbun, Kementan ini.
Putusan MK 138/2015, imbuh Mukti, sebenarnya merupakan hal yang ideal untuk kepastian usaha kelapa sawit. Namun yang jadi pertanyaan, perusahaan sawit sudah ada yang mendapat IUP, sementara HGU-nya belum selesai atau dalam proses.
Yang diharapkan oleh para pengusaha sawit adalah exit policy atau aturan peralihan terhadap kebun-kebun yang telah dibangun tetapi belum ber-HGU. Bahayanya bukan hanya mengancam perusahaan, tapi juga masyarakat luas. Sebab lahan dibutuhkan siapapun.
“Perlu duduk bareng antara Perkebunan (Kementan), Kehutanan (KemenLHK), dan Kemen ATR/BPN. Untuk membicarakan berapa kawasan hutan yang sudah dilepas, berapa yang IUP, dan berapa menjadi HGU. Supaya tahu posisi pelepasan, IUP, dan HGU. Lebih bagus lagi dengan peta digital,” pungkas Mukti.
Try Surya Anditya, Peni Sari Palupi