Sentra ketiga terbesar ini menyumbang 24% dari total produksi minyak sawit nasional. Namun sayang, masih ada sengkarut tentang lahan yang menghambat pertumbuhan industri ini.
Wilayah Bumi Tambun Bungai, demikian julukan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), seluas 15 juta ha lebih. Statistik 2017 menyebut, sekitar 1,994 juta ha ditanami komoditas perkebunan. Sebanyak 1,5 juta ha di antaranya kebun kelapa sawit.
Rinciannya, 1,351 juta ha perkebunan swasta dan 156.837 ha perkebunan rakyat. Hal tersebut diungkap Ir. Rawing Rambang, MP dalam seminar “Status Lahan Kebun Sawit dan Sertifikasi Pascakeputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/2015” di Jakarta, 5 September 2018.
Dengan bangga, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng itu menyebut, wilayahnya menjadi tujuan investasi perusahaan-perusahaan besar sawit sejak 2000. “Perkembangan sawit di Kalteng memang luar biasa. Sampai saat ini ada 333 perusahaan perkebunan sawit dengan lahan kurang lebih 4 juta ha,” urai bapak yang meniti karier di Disbun Kalteng sejak 1990 tersebut.
Sekadar menyebut nama-nama kelompok usaha top yang berkebun di sana adalah Astra Agro Lestari, Sinar Mas, Wilmar, BEST, Citra Borneo Indah, Triputra, Green Eagle, Makin, dan Bumitama Gunajaya Agro. Sementara perkebunan swasta yang milik asing antara lain Goodhope dan Sime Darby.
Profil Kebun
Lebih jauh Rawing merinci, sebanyak 183 perusahaan sudah beroperasi dengan luasan 1,942 juta ha, sementara plasmanya seluas 190 ribu ha. Sebanyak 120 unit usaha sudah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPKH) yang otomatis punya Izin Usaha Perkebunan (IUP) (lihat Bagan).
Masih ada 63 unit usaha dengan luas 705 ribu ha yang belum ber-HGU dan IPKH. “Ini yang mungkin akan menjadi persoalan nanti,” ucapnya. Hal ini terkait dengan putusan MK 138/2015 yang mengharuskan perusahaan perkebunan memiliki HGU dan IUP dulu baru bisa memulai aktivitasnya. Tanpa dua izin tersebut, aktivitas perusahaan dianggap ilegal.
Selain perusahaan dan plasma itu, masih ada 150 unit usaha perkebunan sawit yang belum beroperasi. Sebanyak 7 unit ber-HGU seluas 44 ribu ha dan 13 unit mengantongi IPKH dengan luas kebun 101 ribu ha. “Total 1,8 juta ha belum operasional.
Kami, menurut Pak Menteri Pertanian dan KPK, memiliki data terbaik, maka Kalteng menjadi pilot project untuk kebijakan satu peta,” ujar alumnus S1 Jurusan Ilmu Tanah, Faperta Universitas Lambung Mangkurat ini.
Di Kalteng sudah berdiri 104 unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan tiga PKS lainnya tanpa kebun. Hitung-hitung, “Kalteng akan menghasilkan 40 juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun. Kalau rendemennya 23% maka hasilnya 9,243 juta ton CPO per tahun,” papar Rawing.
Tumpang Tindih Peraturan
Alih-alih mendapat dukungan dalam mengembangkan sawit, para investor dan masyarakat malah menghadapi kendala terutama terkait legalitas lahan. Akibat berbagai perubahan aturan, termasuk putusan MK 138/2015, Rawing menyebut, “Banyak kebun masyarakat ataupun investor yang dianggap ilegal dengan lahan cukup luas 1,345 juta ha karena belum memiliki sertifikat atau HGU, IUP, atau Surat Tanda Daftar Perkebunan (STDB).”
Menurut Rawing, bermula dari Surat Kepala Badan Planologi, Kementerian Kehutanan, 12 September 2000 yang menjadi dasar penyusunan Perda No.8/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah. Surat itu memperbolehkan pemanfaatan Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain (KPPL) untuk perkebunan tanpa proses pelepasan kawasan hutan.
Namun surat tersebut dicabut pada 12 September 2006. Dampaknya, pemanfaatan kawasan hutan yang telanjur terjadi pada masa enam tahun itu harus mendapatkan pelepasan dari Menteri Kehutanan. “Yang 705 ribu ha (63 unit usaha) ini yang sampai sekarang belum keluar pelepasannya,” ungkap Rawing.
Selain itu, berdasarkan Perda 8/2003, porsi kawasan non-hutan (Area Penggunaan Lain-APL) sebanyak 30,7%. Di kawasan APL inilah perkebunan sawit diarahkan pengembangannya.
Masalah bertambah ketika terbit Perda 5/2015 yang mengacu SK Menhut No. 529/2012 yang merevisi Perda 8/2003. “Di sini HPK kurang lebih hanya 16,47%. Sedangkan APL 18,71% (menciut, Red.). Selebihnya hutan tetap 65,54%. Bayangkan, Kalteng dengan luas 15,36 juta ha, APL-nya hanya 18,71%. Selebihnya itu harus melalui proses pelepasan,” keluh Kadisbun.
Menciutnya APL itu mengakibatkan banyak perkebunan sawit yang sebelumnya sudah berstatus legal menjadi ilegal karena lokasinya berubah dari APL menjadi kawasan hutan. Dan pengalaman di lapangan, proses pelepasan makan waktu lama, dua tahun pun sudah terbilang cepat.
Sejumlah persoalan itu masih belum cukup. Dirjen Perkebunan, Kementan, melayangkan surat pada 14 Mei 2018 untuk gubernur dan bupati. Isinya, mewajibkan perusahaan perkebunan merealisasikan pembangunan kebun masyarakat yang porsinya 20% dari total izin paling lambat Oktober 2019. Total sekitar 300 ribu ha kebun masyarakat harus dibangun. Sampai saat ini baru sekitar 150 ribu ha kebun yang terbangun.
Rawing juga mengingatkan, penataan kawasan hutan semestinya mengakomodasi aspek sosial dan ekonomi Kalteng yang berkembang pesat. Tadinya hanya terdiri dari lima kabupaten dan satu kota. “Dengan UU No.5/2002, Kalteng berkembang menjadi 15 kabupaten dan satu kota. Tapi (porsi) HPK dan APL-nya tetap,” imbuhnya.
Solusi
Ruwetnya perizinan di Kalteng membutuhkan solusi yang tepat dan cepat. “Saya melihat persoalan ini tidak akan selesai apabila Perda 5/2015 itu tidak dibatalkan karena yang jelas tadinya semua perizinan mengacu ke Perda 8/2003 di mana 31% adalah APL, kemudian tiba-tiba pada 2015 berubah hanya 18,71%,” tukas Eddy Martono, Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Apalagi, imbuh Eddy, ada Permen ATR/BPN 7/2017 Pasal 15 yang menyatakan, apabila terjadi perubahan tataruang, pemegang HGU harus melepaskan haknya dalam waktu tiga tahun. “Nah di mana kepastian hukumnya? Saya melihat Permen ini sangat menghambat dan justru malah mengerdilkan industri sawit di Indonesia,” tegasnya.
Senada dengan Eddy, Rawing mengatakan, “Terkait Perda 5/2015 Bapak Gubernur (Sugianto Sabran) sudah berkirim surat kepada Bapak Presiden tentang ini, ingin mengusulkan perubahan 46% kawasan non hutan, selebihnya 54% kawasan hutan.”
Magister Pertanian dari Unibraw Malang tersebut mengusulkan untuk mempermudah izin-izin perkebunan yang sudah telanjur tanam, baik milik investor maupun masyarakat. Dalam mengatur tataruang, pemerintah sebaiknya memperhatikan kepentingan daerah.
Sedangkan terkait kewajiban perusahaan membangun kebun masyarakat, Rawing meminta Ditjen Perkebunan segera menerbitkan pedoman umum, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis. Dan akhirnya, “Adanya kebijakan yang konsisten atau kepastian hukum, baik bagi masyarakat maupun bagi investor.”
Dengan koordinasi yang rapi, kita semua berharap permasalahan lahan bisa terselesaikan dalam waktu yang tidak lama. Tanpa itu, industri sawit bakal terhambat dalam membantu negara dan masyarakat mengumpulkan devisa.
Peni Sari Palupi