“Pangsa minyak sawit dalam pasar empat minyak nabati utama dunia telah meningkat secara signifikan dari sekitar 26% (1980) menjadi sekitar 40% (2016). Sementara itu, pangsa minyak sawit Indonesia juga meningkat tajam dari 15% (1980) menjadi 54% (2016). Perlu diadopsi nilai-nilai global dalam SDGs untuk meningkatkan pangsa minyak sawit,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Bagaimana dengan daya saing minyak sawit kita?
Berdasarkan data tersebut, terungkap daya saing minyak sawit Indonesia sangat kuat.
Namun dalam konteks daya saing berkelanjutan (sustainable competitiveness), prospek industri sawit kita ke depan masih menjadi pertanyaan besar.
Banyak isu sosial, ekonomi, dan lingkungan terkait minyak sawit di pasar internasional yang memojokkan minyak sawit.
Meskipun itu terkait dengan perang dagang minyak nabati utama, munculnya isu-isu tersebut menunjukkan bahwa keberterimaan minyak sawit pada masyarakat internasional masih menjadi masalah serius ke depan.
Jika tidak dilakukan perbaikan keberterimaan tersebut dapat menggerus daya saing minyak sawit ke depan.
Untuk meningkatkan keberterimaan minyak sawit dalam masyarakat dunia, industri sawit kita harus mengadopsi nilai-nilai global yang telah menjadi kesepakatan internasional.
Sejak 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan platform baru pembangunan global yang dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) untuk masa 2015 – 2030.
Dan Indonesia sebagai anggota PBB juga ikut menandatangani SDGs tersebut dan terikat untuk melaksanakannya dalam seluruh bidang pembangunan termasuk industri sawit.
Seperti apa nilai-nilai dalam SDGs dan bagaimana penerapannya?
Platform SDGs dirumuskan dengan 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pembangunan menuju 2030. Berbeda dengan MDGs (2000 – 2015) yang lebih mengutamakan peran pemerintah, SDGs 2030 menuntut partisipasi bersama baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat sesuai peran masing-masing stakeholder.
Oleh karena itu, SDGs tersebut harus diterjemahkan pada level nasional, sektoral, industri, daerah bahkan sampai level perusahaan dan setiap tahun dievalusi sejauh mana pencapaian atau kontribusinya pada SDGs setiap level.
Dalam konteks SDGs ini, industri sawit harus kita lihat dan tempatkan sebagai bagian solusi dari SDGs dan bukan menjadi bagian masalah.
Esensinya adalah bagaimana industri sawit kita kelola dan kembangkan agar kontribusinya pada tujuan-tujuan SDGs makin meningkat dan makin berkualitas dari waktu ke waktu, dengan memaksimumkan manfaat sosial ekonomi sekaligus meminimumkan biaya sosial/lingkungan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, kita memerlukan roadmap SDGs Industri Sawit 2030 sebagai panduan seluruh stakeholder industri sawit. Kebijakan, tatakelola, dan program pembinaan industri sawit perlu disesuaikan dengan tujuan-tujuan SDGs tersebut.
Sertifikasi keberlanjutan industri sawit seperti ISPO, RSPO, dan lainnya memerlukan penyesuaian sedemikian rupa menjadi ISPO-SDGs, RSPO-SDGs, dan lainnya sehingga menjadi alat evaluasi, corrective action yang komprehensif dan efektif dalam pencapaian SDGs.
Jika nilai-nilai global sebagaimana terkandung dalam SDGs tersebut kita adopsi pada industri sawit, itu akan meningkatkan keberterimaan industri sawit kita di antara masyarakat dunia.
Demikian juga ISPO-SDGs atau RSPO-SDGs sebagai kelembagaan sertifikasi keberlanjutan industri sawit akan makin diakui secara internasional ka
rena telah mengadopsi nilai-nilai global tersebut. Hal ini merupakan pilar penting dalam membangun daya saing berkelanjutan industri sawit di pasar global.
Untung Jaya