Penggunaan lahan yang intensif mengurangi kandungan hara dalam tanah. Untuk memperbaikinya, tanah harus diberi “makanan yang bergizi”.
Penggunaan pupuk anorganik dengan dosis tinggi secara terus menerus dapat mengganggu keseimbangan hara dalam tanah. Dampaknya, tanah dan lingkungan menjadi “sakit” sehingga produktivitas lahan rendah. Degradasi dan penurunan produktivitas lahan bisa dilihat dari indikator kesehatan tanah, seperti kualitas fisik, kimia, dan biologinya yang menurun.
Balai Penelitian Tanah (Balittanah), Badan Litbang Kementan, memperbarui data tanah di Indonesia setiap tahun untuk rekomendasi pupuk. “Tapi untuk pemetaan secara nasional, itu pekerjaan besar. Biasanya kita perbarui setiap 10 tahun sekali. Terakhir tahun 2010,” jelas Husnain, Kepala Balittanah kepada AGRINA di kantornya, Bogor (28/8).
Dari hasil pemetaan pada 2010, terpantau kandungan karbon organik di Indonesia sekitar 2%, bahkan di Jawa kurang dari 2%. Sementara di luar Pulau Jawa yang karakter lahannya kering masam juga bisa dipastikan mengandung sedikit bahan organik.
Pupuk Organik Berkualitas
Peningkatan kadar karbon organik di tanah tidak bisa dilakukan secara instan. Menurut Sri Rochayati, Kepala Balittanah periode 2009-2012 butuh waktu satu hingga dua tahun untuk mengembalikan C-organik ke kondisi optimal 3% - 4%. “Peningkatan karbon organik itu cukup lama karena pelepasannya bertahap (slow release). Bahkan kita pernah uji di lahan sawah ada yang butuh waktu hingga tujuh musim,” jelasnya.
Aplikasi pupuk organik menjadi salah satu opsi meningkatkan kembali kandungan bahan organik tanah. Pupuk organik bisa dibuat dari pemanfaatan sisa panen seperti jerami dan pupuk kandang. Agar pupuk organik berkualitas lebih baik, bisa ditempuh rekayasa teknologi dengan memperkaya kandungan mikrobanya. “Mikroba sangat membantu dalam tanah seperti bantu penyediaan hara,” jelas Sri.
Namun tentu saja ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menambahkan mikroba pada pupuk organik. Yang pertama, mikroba harus bersifat unggul, tidak saling antagonis, dan dapat tumbuh serta berkembang biak di lingkungan baru. Kemudian, pupuk organik harus homogen supaya pencampuran mikroba bisa merata.
Tak kalah pentingnya, dosis pengayaan juga harus tepat. Dosis yang diyakini cocok adalah 1-5 kg pupuk mikroba bentuk padat per ton pupuk organik dan 1-2 liter mikroba bentuk cair per ton pupuk organik. Kadar air akhir pupuk organik harus 15%-25%, sesuai standar mutu di Permentan 70/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah.
Pencampuran mikroba bentuk padat ke pupuk organik padat dilakukan secara bertingkat. Sebanyak 1-2 ton pupuk organik padat dihamparkan di lantai setinggi kurang lebih 20 cm. Kemudian, 1 kg mikroba padat dicampurkan dengan 50 kg pupuk organik. Selanjutnya dengan 250 kg pupuk organik, dan seterusnya.
Sedangkan pencampuran pupuk organik padat dengan mikroba cair melalui penyemprotan menggunakan sprayer nozel besar dengan berjalan mundur. Semua proses pencampuran dilakukan dengan mixer.
Pupuk organik yang diperkaya dengan mikroba dapat mengefisiensikan pupuk anorganik 20%-50%. Selain itu, juga meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman lingkungan seperti kekeringan, genangan, salinitas, dan cekaman biotik seperti organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Dengan terjaganya kesehatanan tanaman, aplikasi pestisida berkurang sehingga kualitas hasil panenpun lebih baik.
Humus Cair
Tanpa bantuan mikroba, proses pembuatan pupuk organik membutuhkan waktu cukup lama. Kini ada terobosan dalam mengembalikan kesuburan tanah dengan mengaplikasikan humus cair. Humus bisa dibilang inti dari pupuk organik. Dengan aplikasi sedikit saja, manfaatnya setara dengan pupuk kandang yang membutuhkan dosis berbilangan ton.
Danu Kuncoro, Business Manager – Plant Health FMC Agricultural Solution (PT Bina Guna Kimia) mengatakan, inti kesuburan tanah itu dihasilkan dari batuan leonardite (lignit). “Kalau ada gunung meletus, itu yang dikeluarkan humus cair. Makanya setelah gunung meletus tanah menjadi subur kembali,” jelas Master lulusan Universitas Brawijaya, Malang, itu.
Asam humat lignit mempengaruhi tingkat pelepasan hara dari mineral tanah. Senyawa ini bisa memperbesar konsentrasi pelepasan hara kalium yang terikat pada mineral illit dan montmorillonit. Senyawa humat yang difraksionasi berguna untuk mencegah pemecahan hormon anaman, indole acetic acid (IAA) dan meningkatkan serapan air.
Banyak perusahaan melempar produk asam humat saja ke pasaran. Namun ada juga yang mengombinasikan asam humat dengan beberapa senyawa aktif lain seperti asam fulvat, humin, dan karbohidrat. Teknologi ini cocok untuk pasar Indonesia karena karakter petaninya tidak suka hal yang ribet. Pengaplikasiannya sesaat setelah olah tanah dan siap tanam. Tanah dalam kondisi lembap.
“Untuk padi, aplikasikan saja 10 l/ha. Tidak harus ribet bawa berton-ton ke sawah dan hasilnya bisa meningkat 20% - 30%,” papar Danu. Namun demikian, hasilnya tetap butuh proses dan memakan waktu. Dari pengujian perusahaan swasta itu, setelah dua musim hasil dari perbaikan tanah mulai terlihat.
Fosfat Alam
Untuk mengimbangi berkurangnya lahan subur akibat alih fungsi, pemerintah Indonesia sedang mengembangkan pertanian di lahan marginal atau lahan kering masam (LKM). LKM mempunyai karakteristik pH masam (pH<5), kejenuhan basa kurang dari 50%, kejenuhan alumunium (Al) tinggi, dan tingkat kesuburan rendah atau miskin hara makro dan mikro. Selain itu, bahan organiknya juga rendah sehingga produktivitas lahan rendah.
Menurut Maswar, ada teknologi untuk mengelola LKM. “Bisa melalui perbaikan sifat fisik tanah dengan aplikasi bahan organik, biochar, dan pembenahan tanah,” jelas peneliti Balittanah itu saat presentasi dalam acara “Bimbingan Teknis Aplikasi Fosfat Alam Reaktif pada Lahan Kering Masam untuk Jagung” di Kompleks Kebun Percobaan Taman Bogo, Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur (4/9).
Untuk memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah, petani bisa menambah kapur/dolomit guna meningkatkan pH. Defisit unsur fosfat (P) dan kalsium (Ca) dapat ditambal dengan memberikan fosfat alam (rock phosphate). Alternatif lain, menambahkan mikoriza yang mengandung unsur hara P dan mikroba pelarut P.
Maswar menyarankan, rehabilitasi LKM dengan mengaplikasikan 1 ton/ha fosfat alam yang bekerja selama 4-6 musim tanam disertai pupuk kandang 1-2 ton/ha. Dosis 1 ton/ha fosfat alam ini setara dengan 300 kg P2O5/ha. Tanpa rehabilitasi, “Produksi padi gogo di lahan kering masam rata-rata hanya 2 ton/ha. Jika dioptimalkan, potensinya bisa mencapai 5 ton/ha,” jelasnya.
Di samping potensi hasil, peluang ekstensifikasi LKM masih luas, lebih dari 100 juta ha.
Galuh Ilmia Cahyaningtyas, Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)