Pelarangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan sudah berlangsung tujuh bulan. Dampaknya telah terlihat di lapangan. Peternak menghadapi ancaman koksidiosis, nekrotik enteritis, dan gangguan pernapasan kompleks.
Dalam pertemuan Asosiasi Praktisi Perunggasan Asia Pasifik belum lama ini terungkap, dampak pelarangan Antibiotic Growth Promoter (AGP) terhadap peternakan ayam ras di Indonesia lebih berat dibandingkan di Eropa dan negara lain. Penelusuran di lapangan memperlihatkan tiga hal yang mempengaruhi hal tersebut.
Pertama, hampir semua peternak di Indonesia menerapkan multiage system (beberapa umur). Jarang sekali peternak memelihara ayam satu umur. Pada broiler ini agak sensitif.
Kedua, mulai banyak peternak broiler yang beralih dari open house ke closed house. Ini sinyal bagus karena Indeks Performa (IP) meningkat dari rata-rata 200-an menjadi 400-an. Namun kepadatan ayam yang meningkat, dari 15–18 kg/m2 menjadi lebih dari 30, bahkan 36 kg/m2 juga membawa dampak negatif.
Makin padat populasi tanpa tidak diikuti pengaturan closed house yang tepat menciptakan situasi anaerob. Kondisi anaerob memicu kasus penyakit Complicated Chronic Respiratory Disease (gangguan pernapasan kompleks) dan Necrotic Enteritis (NE). Kepadatan tinggi juga menyebabkan ayam selalu dalam keadaan silent heat stress.
AGP yang bekerja secara multi approach mampu membuat ayam cukup “sakti” mengatasi gangguan patogen. Ketika peternak “terpaksa” mengganti AGP dengan produk alternatif yang bekerja secara spesifik sekali, performa ayam terganggu. Karena itulah perlu kombinasi beberapa produk alternative yang bekerja sinergis.
Yang ketiga, biosekuritas yang tidak optimal memicu terbentuknya mikrofilm (kerak berisi beberapa bakteri) pada tempat pakan atau saluran air minum. Bila saat itu juga AGP kita hilangkan, berkecamuklah mikrofilm. Maka ada istilah disbakteriosis (ketidakseimbangan bakteri) yang berdampak menurunkan efisiensi pencernaan dan akan bertambah parah bila ditambah NE.
Koksidiosis Meningkat
Problem pertama akibat peniadaan AGP adalah gangguan saluran cerna. Kasus paling banyak adalah koksidiosis (berak darah) yang disebabkan protozoa Eimeria. Pada peternakan broiler dengan kepadatan tinggi, ayam mudah termakan oosit. Keseimbangan mikroflora di dalam ususnya jadi terganggu. Kepadatan tinggi juga membuat ayam mengalami silent heat stress. Ditambah kualitas litter yang cepat menurun, kondisi ayam makin parah.
Ketika AGP dilarang dan masa penggunaan antikoksi menjadi lebih singkat (hanya 7 hari), tidak seperti sebelumnya sepanjang hidup ayam, maka bisa terjadi kasus koksidiosis dari subklinis sampai klinis. Pasalnya, asupan pakan termasuk antikoksi yang dicampur dalam pakan, tidak merata dan tidak cukup pada setiap ayam. Akibatnya, beberapa ayam dengan asupan antikoksi suboptimal yang akhirnya berperan menjadi seeder bird (penyebar) koksi di dalam kandang. Wabah koksi biasanya terjadi setelah umur tiga minggu.
Manajemen air juga penting. Begitu banyak ayam yang diare (wet dropping) atau sistem air minumnya bocor, kualitas litter jadi jelek. Dan itu memudahkan oosit yang tidak infektif menjadi infektif lalu siap menginfeksi ayam. Karena itu peternak harus memantau kondisi ayamnya setiap hari dengan cermat dan membuat health scoring.
Memang, koksidiosis hanya mengganggu dinding usus, tapi keparahannya tergantung bagian yang diserang: usus depan, tengah, belakang, atau sekum. Kalau bagian usus halus depan dan tengah yang terkena, dampaknya jauh lebih signifikan dibandingkan di usus buntu. Bila usus buntu terserang parah, umumnya ada kematian.
Awasi NE
Selain koksidiosis, Clostridium juga menjadi ancaman pascapencabutan AGP. Bakteri ini sebenarnya mikroflora normal di dalam sekum usus. Namun ayam yang mengalami stres tinggi dan tanpa AGP, usus bagian depannya gampang sekali luka.
Ketika ada serum, bakteri bermigrasi ke dalam dan saat kurang oksigen bakteri berubah dari spora ke fase vegetatif. Bakteri dalam fase vegetatif ini menghasilkan toksin. Toksinnya bisa beredar ke seluruh tubuh. Biasanya pada kasus NE, yang paling parah usus bagian belakang.
Toksin atau racun itu bisa berada dalam darah sehingga disebut enterotoksemia. Racun ini berbahaya karena dapat mengakibatkan organ hati dan usus hancur. Sialnya, penyakit berbahaya ini sulit dideteksi awal serangannya.
Mula-mula kita melihat adanya papaya dropping (kotoran berwarna mirip pepaya). Papaya dropping ciri khas serangan NE pada tahap awal karena racun Clostridium menyebabkan pendarahan tertutup. Hal ini akibat merembesnya cairan darah keluar yang disebut diathesis.
Dan ketika kita amati permukaan ususnya bergelombang. Pada tahap ini kita tidak akan melihat berak berdarah. Namun kita sudah bisa melihat pakan yang tidak tercerna dalam kotoran ayam, mulai terjadi wet dropping, kotorannya pecah, dan beberapa kotoran seperti papaya dropping. Kondisi tersebut bagi peternak broiler sangat krusial. Ayam masih bisa diobati.
Kalau penyakit sudah cukup berat, kotorannya merah keunguan kebiruan, lendirnya pun merah karena sel darah merah pecah (hemolisis). Ini yang membedakan NE dengan koksidiosis. Koksi tidak menghemolisis darah. Unsur besi (Fe) dalam darah tadi sudah bereaksi dengan sulfur dari asam amino sehingga membentuk warna hitam di permukaan usus. Pada tahap akut ini baru membentuk nekrosis. Bila sudah terlihat kotoran ungu kebiruan, peternak harus segera memberikan obat.
Clostridium yang mengganggu usus dan merusak hati jelas memberikan dampak lebih hebat daripada koksi. Sebelum AGP dilarang, kasus Clostridiosis ditemukan pada broiler mulai umur 18 hari ke atas. Namun sekarang ini kasus tidak mengenal umur. Umur 8 hari pun bisa terlihat tergantung brooding management. Ketika masa brooding kondisi ventilasi kandangnya tidak bagus, ayam dalam kondisi anaerob sehingga bakteri mulai aktif menginfeksi anak ayam. Ini yang disebut silent infection.
Bedakan Koksi atau NE
Secara ringkas, ada tiga pendekatan deteksi dini. Pertama, lihat feses segar. Kedua, cek kloaka. Ketiga, kualitas bulu.
Cek feses segar pada pukul 06.00-09.00. Periksa 3-5 titik per-pen. Ada berapa feses per m2, berapa yang aneh atau mengandung darah. Kalau ada papaya dropping, berlendir, ada pakan yang tidak tercerna, itu dihitung kasus positif. Bila yang positif rata-rata tiap kandang 10% ke bawah, masih agak aman. Di atas 10%, keseragaman akan hancur dan FCR bengkak.
Jika jumlah ayam banyak, cek kloaka lebih tepat hasilnya. Pada NE, kotoran yang berlendir menyebabkan bulu kotor dan lengket. Kasus koksi ditandai bulu kotor tapi tidak lengket.
Lalu, lakukan skoring kesehatan. Tiap pen ambil 20 ekor secara acak, minimum 3 pen dari satu kandang. Dikatakan positif gangguan pencernaan bila jumlah ayam yang bulunya kotor di atas 5%. Untuk memastikan kasus tersebut koksidiosis atau NE, ambil sampel dari pantat ayam kotor dan pantat yang bersih. Gunakan kekotoran kloaka untuk mengukur derajat keparahan kasus. Kalau sudah pasti penyebabnya, siapkan obat atau jual ayam.
CCRD alias Ngorok
Tanpa AGP, kotoran ayam selalu basah sehingga kandungan gas dalam kandang tinggi. Jenis gasnya bisa amonia atau gas lain dan H2S, sisa metabolisme protein. Kotoran yang basah juga meningkatkan kelembapan dan menciptakan kondisi anaerob. Kondisi ini makin memudahkan perkembangan mikroorganisme di kantung hawa, trakea, dan sinus hidung, yakni mikoplasma.
Mikoplasma itu, khususnya M. gallisepticum, menyebabkan penyakit Complex Chronic Respiratory Disease (CCDR) alias ngorok. CCRD yang bandel dan sulit diobati dengan antibiotik ini menjadi ancaman ketiga pascapencabutan AGP. Karena itu kita harus deteksi sedini dan semaksimal mungkin.
Bagaimana caranya? Lakukan deteksi gangguan pernapasan pada malam hari. Ketika tiba-tiba muncul gangguan pernapasan yang berat, seperti bunyi ngorok, hitung jumlahnya. Begitu lebih dari 10%, kita harus ambil langkah, ayam dijual atau diobati.
Ketika diobati antibiotik tidak merespon dan yang lain tidak bisa dilakukan, tapi ayam belum siap jual, peternak perlu perhatikan ventilasi di dalam kandang. Dengan ventilasi yang baik, kita mengeliminasi kuman di dalam kandang dan mengurangi heat stress supaya ayam lebih nyaman.
Tony Unandar, Private Poultry Farm Consultant