“Ketika peternakan bisa diintegrasikan dengan bisnis dan industri, peternakan itu akan lebih masuk akal dilakukan.”
Baik BPS maupun Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru mengungkap, jumlah peternak sapi perah Indonesia dan kontribusi susu segar dalam negeri mengalami penurunan. Menurut Deddy Fakhrudin Kurniawan, peternak berprestasi dari Kota Batu, Jatim, “Usia peternak makin menua. Otomatis bisnisnya juga menua karena bisnis itu juga punya nyawa. Ada masanya, butuh regenerasi orang-orang muda.”
CEO Dairy Pro Indonesia tersebut meyakini setiap pihak harus mengambil peran sesuai kapasitasnya untuk memajukan industri sapi perah lokal. Karena itulah Deddy memilih mengembangkan sumber daya manusia peternak lokal. “Saya membuat model yang it works for me (terbukti pada saya). Itu yang ingin saya duplikasi ke tempat-tempat lain,” ucapnya.
Terintegrasi
Mengawali beternak sejak 2008, Deddy merasakan kesulitan yang cukup berat. Hingga pada 2012 ia mengubah gaya beternak menjadi bisnis peternakan terintegrasi. Kunci utama dalam integrasi ini adalah kesejahteraan peternak. “Kalau peternaknya sejahtera, semua yang berhubungan dengan peternakan pasti sejahtera. Karena sumbernya di peternakan,” jelasnya.
Langkah pertama, pria yang memiliki pengalaman kerja di Selandia Baru, Pakistan, dan Australia ini mendirikan pabrik pakan, klinik kesehatan hewan, hingga pabrik pengolah susu. Pabrik pakan itu membuat formulasi pakan khusus agar kualitas susu yang diperoleh dari setiap peternak sama.
Biar sama-sama untung, peternak yang menyuplai susu ke pabriknya memperoleh harga minimal 30% Break Event Point. Selain itu, Deddy juga menjalankan agrowisata berbasis sapi perah (dairy) di bawah bendera Kampung Sapi Adventure, wahana wisata edukasi di Kota Batu.
Menggunakan payung Dairy Pro Indonesia, Deddy lantas menduplikasi model tersebut di petenakan (farm) Pulau Jawa, Sulawesi, hingga Kalimantan. Ia membantu pelatihan, membuat sistem dan program, sampai desa wisata. “Kami ingin membantu peternak tapi dengan cara membuat mereka berdaya, tidak memberikan bantuan cuma-cuma. Kalau mau sukses, ya ada biayanya, ada pengorbanannya,” tegas lelaki muda ini.
Sebab mengandalkan susu segar dengan mekanisme harga seperti sekarang, lanjutnya, akan sulit mencari peternak besar. Deddy mencoba mengintegrasi bisnis dalam skala kecil. Jika pengusaha terintegrasi ini dipermudah untuk memperbesar skala bisnisnya, industri peternakan akan semakin bergairah. “Ketika peternakan bisa diintegrasikan dengan bisnis dan industri, peternakan itu akan lebih masuk akal dilakukan,” cetusnya.
Menuju Maju
Deddy mengupas peternakan sapi perah antara negara terbelakang, berkembang, dan maju. Peternakan sapi perah di negara terbelakang seperti Etiopia, Somalia, dan Rwanda masih berkutat di sisi hulu (on farm). Negara berkembang seperti Indonesia, Pakistan, dan Vietnam mulai berfokus pada produk.
“Indonesia mirip Selandia Baru tahun 1970’an, mirip Amerika tahun 1950’an, ketika peternak sudah mulai bergairah tapi banyak regulasi yang belum support. Sehingga muncul asosiasi peternak kecil yang bikin produk,” papar pria kelahiran Malang, 13 Januari 1978 itu.
Setelah 15-20 tahun berkembang, ucap Deddy, asosiasi peternak kecil itu akhirnya bergesekan satu dengan lainnya. Kemudian, mereka sepakat membuat organisasi yang lebih besar dan terintegrasi dengan industri sehingga terjadi simbiosis mutualisme. Itulah yang terjadi dengan Fonterra di Selandia Baru dan Frisian Flag di Belanda.
“Kalau regulasi di bidang industri pengolahan bisa membantu regulasi pengolahan menengah dan mengintegrasikan dengan peternak, secara otomatis peternak akan mendapat kesejahteraan yang lebih masuk akal,” tandasnya.
Windi Listianingsih, Galuh Ilmia Cahyaningtyas