Senin, 16 April 2018

Susno Duadji, Petani Bisa Menjadi Jenderal

Setiap orang bisa sukses bertani asal ada kemauan. Bahkan, keterbatasan fisik pun tidak menjadi halangan.

Sektor pertanian, khususnya padi, sukses mengantarkan Komjen Pol. (Purn) Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc., menjadi seorang jenderal besar pada institusi Kepolisian. Ketika masa baktinya berakhir, Susno pun mengajak generasi muda membangun sektor pertanian. Tidak tanggung-tanggung, petani muda itu ada yang berasal dari kalangan diffabel (different abilty, berkemampuan berbeda) dan sukses bertani.

Keteladanan

Hujan deras berangin pada Kamis pagi itu tidak menyurutkan langkah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri mendatangi kantornya yang terletak di Kawasan Pasarminggu, Jakarta Selatan. Kepada AGRINA, Susno menceritakan kehidupannya sebagai petani di Pagaralam, Sumsel. Saat ini ia tengah menggarap lahan tanaman bernilai ekonomi tinggi, seperti padi, jagung, lada, karet, hingga kopi bersama para pemuda di desa.

Menurut Susno, mengajak generasi muda untuk bertani tidaklah sulit. Mereka hanya membutuhkan keteladanan dan citra positif sektor pertanian. “Indonesia ini ‘kan perlu keteladanan. Begitu anak-anak muda itu ngelihat saya mau di sawah, mereka mau,” ungkapnya kental dengan logat Sumsel.

Ia mengakui, citra petani yang melekat dengan kondisi miskin, kotor, dan capek, perlu diubah. Untuk mengubahnya, pria kelahiran Pagaralam, 1 Juli 1954 itu menerapkan mekanisasi dan diversifikasi tanaman bernilai ekonomi tinggi. “Kalau pakai mesin, dia nggak kena lumpur. Bekerja nggak perlu dari pagi sampai malam. Senang dia bisa ke kota lagi. Panen pun pakai mesin. Syukur-syukur harga komoditas bagus. Sudah jiwa manusia ingin kerja ringan, dapat duit,” paparnya tergelak.

Susno mengisahkan, salah satu petani muda yang berhasil menerapkan mekanisasi adalah Chandra Buana Putra. Ichan, sapaannya, menderita polio sejak berusia 3 tahun hingga harus menggunakan kursi roda. Keterbatasan fisik ini tidak mengurangi kemampuan dan semangat bertani. Ichan sanggup menggarap 10 ha lahan padi pasang-surut dan mampu mengoperasikan traktor.

Sekarang, ulas pria yang menggandeng sekitar 30 petani muda ini, Ichan sudah bisa membeli mobil dari hasil bertani. “Dia ubah model mobilnya. Pakai kursi roda langsung disetir, dikunci kursi rodanya. Ini tantangan bagi anak-anak muda yang sehat, alat tubuhnya lengkap. Nggak cuma klayar-kluyur, mabuk, dan narkotik. Sudah bertani aja, duit banyak,” ajak pria yang kini nyaman kembali bertani.

Ada Kemauan

Dalam bermitra, para petani muda memperoleh bantuan lahan hingga sarana produksi, seperti benih, pupuk, obat-obatan, dan mekanisasi. Susno menerangkan, mekanisasi sangat dibutuhkan untuk mengolah lahan karena memerlukan tenaga yang cukup besar dan banyak. Oleh sebab itu, ayah dua anak ini memberikan bantuan traktor agar olah lahan lebih efektif dan efisien.

Ia juga menawarkan lahan lumayan besar, mencapai 10 ha tiap petani. Sebab, terang anak petani ini, “Saya ingin mereka begitu kerja, nasibnya berubah. Ya kalau kerja, miskin lagi ya buat apa? Mereka pelihara kemiskinan.” Susno menambahkan, karena bertanilah ia sukses menjadi polisi dan jenderal. “Saya ini petani, memang keluarga petani. Petani jadi polisi, bukan polisi jadi petani. Petani jadi jenderal. Jadi polisi istirahat, sekarang jadi petani lagi,” katanya dengan tertawa.

Untuk menjadi petani mitra Susno juga sangat mudah. Hanya mengajukan keinginan bertani dan memilih lahan serta tanaman yang akan digarap. “Tinggal pilih, kamu mau tanam apa, mau yang sudah jadi, kamu tinggal pelihara, atau kamu mau nebas hutan lagi? Gampang. Yang penting kemauan,” tandas pria yang sudah lima tahun mengembangkan kemitraan.

Lalu, hasil panen akan dibeli pedagang yang berburu ke sawah dan kebun. Petani hanya perlu negosiasi untuk memperoleh harga yang bagus. Saat musim panen, ujarnya, harga kerap turun. Susno menganjurkan pemerintah berperan melalui Perum Bulog untuk mengangkat harga.

Ketua Komite Pengawas Pemantau Pertanian ini mendesak pemerintah mengatur harga komoditas pertanian yang menguntungkan buat petani dan tidak merugikan konsumen. Beras misalnya, pemerintah menetapkan harga gabah Rp4.000/kg, sedangkan harga beras Rp12 ribu/kg. Dia juga mempertanyakan siapa yang menikmati selisih margin yang cukup jauh.

“Bagaimana kita buat harga gabah naik, Rp7.000/kg. Kemudian harga jual beras kita turunkan, Rp10 ribu/kg. Ada untung Rp3.000/kg sudah cukuplah. Jadi yang menikmati keuntungan itu harus petani,” sarannya. Sejatinya, kata Susno, para pedagang beras juga mendapat katul dan dedak yang bisa diolah lebih lanjut dan menghasilkan keuntungan. 

Ketika harga gabah menguntungkan, ia menilai, semua orang akan mau bertani. “Mungkin konglomerat pun mau bertani. Ada gula ada semut. Anak muda juga senang bertani. Tidak perlu impor,” tegasnya. Dengan insentif harga yang menjanjikan, petani tidak lagi perlu subsidi input dan sarana produksi karena mereka akan mampu memenuhi kebutuhan tersebut dengan sendirinya.

Kementan Daerah

Susno juga menyoroti sinergi antarkementerian agar pertanian bisa berjalan dengan baik. Misalnya, koordinasi antara Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai penyedia lahan dengan Kementerian Pekerjaan Umum yang menyediakan sarana irigasi primer. Jangan sampai ada sawah yang tidak terairi karena minim saluran irigasi.    

Ribuan hektar sawah di Kel. Lubuk Buntak dan Kel. Atung Bungsu, Kec. Dempo Selatan, bebernya, hampir 4 tahun ini tidak bisa digarap akibat kekeringan. “Airnya nggak ada karena irigasinya tertutup kena hujan longsor. Petani ndak mampu lagi (mengatasi) karena itu terlalu berat,” ungkapnya. Padahal daerah tersebut termasuk sentra beras di Pagaralam.

Mirisnya lagi, saluran irigasi sekunder dan tersier di sawah yang menjadi ‘hutan’ itu justru sudah disemen. “(Saluran) induknya nggak ada air, fakta ini. Depan sawah saya persis,” ucapnya yang menanam jagung di kawasan itu. Suami Herawati ini bisa menanam jagung karena menambahkan pompa untuk mengairi lahannya. Petani lainnya tidak mampu menambah modal sehingga membiarkan sawahnya terbengkalai.

Menilik peristiwa itu, Susno menilai sangat penting sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. Agar kebijakan pertanian selaras sampai ke pelosok wilayah, dia berpendapat, “Mestinya Kementerian Pertanian ada di daerah karena masalah pertanian ini masalah yang sangat strategis. Kementerian Keuangan ada kanwilnya sampai ke daerah. Kenapa Kementerian Pertanian yang menguasai hajat hidup, hajat perut orang banyak nggak ada?”

Memang betul sudah ada Dinas Pertanian Daerah, tetapi Dinas Pertanian berada di bawah wewenang Kepala Daerah. “Kebijakan pusat belum tentu dilaksanakan 100% oleh mereka,” kritiknya tajam.

Windi Listianingsih, Syatrya Utama 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain