Swasembada daging sapi tidak lagi dikejar dengan cara instan melainkan bertahap dengan menaikkan populasi.
Pemerintah akhirnya menyadari swasembada daging sapi tidak dapat diwujudkan dalam waktu singkat seperti padi, jagung, kedelai, bawang merah, juga cabai. Kementerian Pertanian pun kini tak lagi menyebut swasembada daging sapi, tetapi swasembada protein. Sumbernya bisa unggas, sapi, kambing, kelinci dan sebagainya.
Itu tidak berarti sapi dikesampingkan. “Untuk swasembada daging sapi, Bapak Presiden kasih waktu 8-9 tahun (2026), tapi bisa lebih cepat,” ungkap Mentan Andi Amran Sulaiman dalam acara “Sinergi Pemerintah Daerah dan Perbankan dengan Melibatkan Investor dalam Akselerasi Pengembangan Peternakan Sapi” di Jakarta, 14 Desember 2017.
Produksi Lokal Masih Kurang
Dalam presentasinya Mentan Amran menampilkan data, pada 2019 kebutuhan nasional akan daging sapi mencapai 725.962 ton. Produksi daging dalam negeri pada 2017 hanya sebesar 354.770 ton, masih jauh dari prognosa kebutuhan yang sebanyak 604.968 ton.
Tertekannya produksi daging sapi tahun lalu bisa jadi lantaran menurunnya kegiatan penggemukan yang dilakukan perusahaan penggemukan sapi anggota Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo). Menurut Joni Liano, Direktur Eksekutif Gpuspindo, “Dari target yang dialokasikan pemerintah impor sapi bakalan 770 ribu ekor, hanya terealisasi 430 ribu ekor. Jumlah ini turun 30% dari realisasi 2016.”
Turunnya kinerja bisnis penggemukan tersebut, lanjut Joni, tidak terlepas dari dampak kebijakan importasi daging kerbau beku dari India dan kewajiban memasukkan sapi indukan 20% setiap kali impor bakalan dilakukan. Daging dari India dengan harga murah itu memasuki pusat konsumsi daging sapi nasional, yaitu kawasan DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Realisasi impor dua tahun terakhir pun mencapai 84.820 ton. Perlahan tapi pasti sebagian konsumen konsumen beralih ke daging kerbau.
Sementara, kewajiban mengimpor sapi indukan 20% berarti menurunkan kapasitas kandang penggemukan dan membebani pengusaha dari segi modal. Pasalnya, indukan baru bisa menghasilkan anakan yang bisa dijual paling tidak dalam waktu dua tahun. Repotnya, kebijakan tersebut baru akan dievaluasi akhir 2018 ini.
Realisasi Upsus Siwab
Karena itulah upaya peningkatan populasi perlu dipercepat. Kementan meluncurkan program percepatan peningkatan populasi, Upsus Siwab, dengan dasar hukum Permentan 48/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting.
Menurut drh. Maidaswar, M.Si., Ketua Sekretaris Nasional Pokja Upsus Siwab, Upsus Siwab membidik 4 juta ekor dari 8,9 juta betina produktif untuk menjadi akseptor inseminasi buatan (IB). Targetnya, 3 juta akseptor bunting tahun ini.
Sampai 4 Desember lalu, menurut presentasi Mentan, dari 4 juta akseptor sudah terinseminasi sebanyak 3.720.791 ekor (93%). Dari target 3 juta ekor bunting, sudah tercapai sejumlah 1.653.105 (50,10%). Dan sampai ditayangkan 14 Desember silam, jumlah anakan yang lahir mencapai 709.697 ekor.
Selain inseminasi buatan, kegiatan lainnya dalam Upsus Siwab adalah pencegahan pemotongan sapi betina produktif. Dalam forum diskusi terbatas yang digelar Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan di Bogor, Kamis (28/12), terungkap data pemotongan betina produktif yang luar biasa.
Tjeppy D. Soedjana, peneliti senior Puslitbangnak yang sudah purnabakti membeberkan hasil survei tiga hari berturut-turut di rumah potong hewan lima provinsi. “Rata-rata pemotongan sapi betina adalah NTT 92,5%, Bali 88,0%, Sulsel 75,0%, NTB 30,0%, dan Lampung 12,0%. Sapi betina yang dipotong sebagian besar masih muda, kecil, kurus, ada yang bunting bahkan ada yang baru beranak,” ujar mantan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan ini prihatin.
Untuk menyelamatkan pemotongan betina produktif, menurut Maidaswar, tim terpadu melakukan dua strategi, yaitu memeriksa status reproduksi sapi di peternak dan di rumah potong hewan (RPH). Di peternak, setiap betina yang diidentifikasi reproduksinya diberi Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR). Hanya betina yang dinyatakan tidak produktif saja yang boleh dipotong.
Di RPH, tim memeriksa sapi betina yang masuk. Tim akan memeriksa SKSR-nya. Kalau tidak ada, tim akan memeriksa status reproduksinya. Bila memang tidak produktif, sapi boleh dipotong. Sementara kalau kedapatan masih produktif, tidak boleh dipotong.
Betina produktif yang terjaring tersebut menjadi masalah bila tidak ada penampung. “Daripada repot, mengapa tidak para anggota kami saja yang menampung betina itu. Mereka tentu akan seleksi mana yang akan terus dipelihara sendiri, mana yang akan dijual. Tapi Permentan tentang kewajiban mengimpor sapi indukan direvisi dulu. Usulan kami, kewajiban mendatangkan indukan 20% itu tidak harus impor dan 20% itu juga dihitung berdasarkan kapasitas kandang. Bukan setiap kali impor,” ulas Joni. Dengan demikian, aktivitas penggemukan anggota Gapuspindo masih bisa berjalan dan penyelamatan betina bunting pun bisa sukses.
Peni Sari Palupi, Windi Listianingsih