Jumat, 9 Maret 2018

Moh. Ismail Wahab, Beradaptasilah dengan Perubahan Iklim

BB Padi menghasilkan sejumlah varietas yang pas untuk menghadapi perubahaniklim. Namun pilihan untuk menggunakannya kembali kepada petani.

Ramah, begitu pertama AGRINA ketika berbincang dengan Dr. Ir. Moh. Ismail Wahab, M.Si. di kantornya, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi) Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Ismail, sapaan akrabnya, mulai mengemban amanah sebagai Kepala BBPadi sejak September 2016. Sebelumnya, doktor ilmu lingkungan lulusan Universitas Gadjah Mada ini menjabat Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah.

Menyikapi perubahan iklim di Indonesia saat ini, pria kelahiran Sampang, Madura, 52 tahun silam ini berujar, kita harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Menurutnya, perubahan iklim memberikan beberapa dampak kepada petani. Sebagai balai penelitian yang bertanggung jawab dan berkontribusi dalam penelitian tanaman padi, BBPadi menghasilkan sejumlah varietas padi hasil rakitannya sebagai solusi bagi petani. Namun pilihan untuk menggunakannya kembali kepada petani.

Dampak Langsung dan Tidak Langsung

Ismail mengatakan, dampak langsung perubahan iklim adalah adanya perubahan pola dan intensitas curah hujan. Permulaan musim hujan tahun ini mulai mundur. November baru terjadi hujan. Tanpa disadari sebenarnya Indonesia mengalami fenomenaEl Nino.

Ketika terjadi intensitas hujan yang tinggi, peluang terjadinya banjir juga akan semakin tinggi pula. Meskipun musim hujan menjadi lebih singkat, tutur Ismail, volume air hujan yang turun semakin banyak. “Waktunya sempit, hujan jatuh lebih banyak, peluang banjir lebih besar,” urai S-2 Agriklimatologi IPB ini.

Setelah musim hujan yang sangat deras ini berakhir, kemudian akan masuk musim kemarau. Singkatnya musim hujan menjadikan musim kemarau berlangsung lebih panjang. Dengan masa kemarau lebih panjang, padi yang ditanami petani bisa tak terisi. Petani yang biasa tanam padi dua kali, sekarang belum tentu bisa. “Baru tanam umur dua bulan, bisa-bisa hujannya sudah habis. Kalau kekeringan pada saat masa pengisian tidak apa-apa. Tapi kalau baru mulai pengisian sudah kering, terjadi kegagalan panen,”jelas Ismail.

Dampak langsung akibat perubahan iklim lainnya adalah intrusi air laut yang sudah cukup tinggi. Sawah di daerah Karawang, Jawa Barat dan sekitarnya, menurut dia, sudah cenderung asin. Kondisi demikian diikuti dengan tingkat salinitas tanah yang semakin tinggi. Bila musim hujan, terang sarjana jurusan budidaya pertanian IPB ini, mungkin belum menjadi masalah karena asin bisa tersapu. Namun ketika kemarau, asin itu terperangkap. Dengan kondisi seperti itu, lahan sebaiknya dialih-fungsikan saja. “Jangan tanam padi lagi, melainkan bisa digunakan sebagai tambak,” sarannya.

Selain dampak langsung, Ismail menyebut, timbulnya ledakan hama dan penyakit adalah dampak tidak langsung dari perubahan iklim. Ancaman gagal panen akan semakin besar apabila petani tidak mengantisipasi.

Varietas Unggul dari BBPadi

Penggemar batu akik jenis phyrus tersebut menuturkan, varietas termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Berdasarkan kajian Ismail, varietas menyumbang 20% - 30% peningkatan produksi. Saat ini terjadi alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran tanpa dikompensasi pembukaan lahan baru. Namun demikian produktivitas padi tetap terjaga. Ini menandakan penggunaan varietas unggul dan penerapan teknologi mulai berjalan dengan baik.

Terkait kendala perubahan iklim, menurut Ismail, BBPadi sudah menyiapkan berbagai varietas unggulan sesuai dengan situasi.Untuk menghadapi potensi banjir, tersedia varietas Inpari 30. Kelebihannya, bila tanaman ini terendam banjir pada masa generatif selama seminggu pun asalkan air tidak menutupi daun bendera, tanaman masih bisa panen. Adapula Inpari 34 dan Inpari 35 yang toleran salinitas tinggi cocok untuk daerah terintrusi air laut.

Sementara untuk musim kemarau, BBPadi menyarankan untuk menanam varietas genjah (berumur pendek). Pilihannya, Inpari 19 dan Inpari 20. Baik inpari 19 dan inpari 20, imbuh penyuka keripik melinjo ini, “Hanya memerlukan 100 hari. Misalnya semai 15 hari, 85 hari kemudian sudah bisa dipanen.”

Adapula HIPA 18, padi hibrida unggulan hasil penelitian BBPadi yang saat ini berkembang pesat. HIPA atau hibrida padi 18 lebih disukai lantaran produksi turunan pertama atau F1nya lebih mudah dihasilkan.

Lain lagi dengan varietas padi japonika dengan nama Terabas atau yang biasa disebut padi jepang. Berasnya terkenal pulen dan mengandung amilosa 17%. Keberadaan padi terabas ini mengurangi ketergantungan impor benih.

Berikutnya padi Green Super Rice (GSR), dengan dua varietas,yakni Inpari 42 Agritan GSR dan Inpari 43 Agritan GSR. Padi GSR mengandung amilosa 18% dan produktivitasnya tinggi. Potensi hasilnya bisa mencapai 10,6 ton/ha. “Varietas ini tahan hama penyakit semisal wereng, relatif tahan kering atau (cocok) di lahan tadah hujan, rasanya enak, berasnya kristal bening,” promosi Ismail.

Kembali kepada Petani

BBPadi, menurut Ismail, menghasilkan varietas unggul untuk mengejar kemajuan dari segi teknologi. Sedangkan perbanyakan dan penjualan benih varietas unggul tersebut menjadi domain penangkar dan perusahaan benih. Dari seluruh varietas yang sudah beredar di Indonesia, ia meyakini 90% benih sumbernya berawal dari BBPadi. “Bila ditarik semua persawahan padi di nusantara terkait varietas, ujungnya akan jatuh ke satu titik, itu adalah BBPadi,” simpul mantan BPTP Sofifi, Maluku Utara.

Terkait minat petani, lelaki kelahiran 17 Juni 1965 ini menyebut, padi hibrida disukai petani lantaran ada jaminan dari sisi produksi. Meskipun harga benihnya jauh lebih mahal dibandingkan benih padi inbrida, produktivitasnya minimal 7-8 ton/ha.Sementara padi inbrida digemari gara-gara harga benihnya lebih murah. Selain itu, untuk pertanaman berikutnya petani bisa menyeleksi sendiri benih dari hasil produksi sebelumnyasehingga mereka tidak terlalu bergantung kepada produsen benih.

Padi hibrida atau pun inbridamenawarkan keunggulan masing-masing. “Ingin menggunakan yang mana, keputusan kembali kepada petani. Seperti Inpari, itu banyak jenisnya dan memiliki keunggulan yang berbeda-beda. Petani bisa memilih yang mana sesuai dengan kebutuhan mereka,”tutup Ismail menyudahi perbincangannya.

Try Surya Anditya, Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain