Minggu, 7 Januari 2018

Giliran Pebisnis Catfish Tersenyum Manis

Pergerakan positif pasar patin mulai terasa, sedangkan lele tengah jalani pemulihan.
 
 
Baik pembudidaya maupun pengolah patin tengah tersenyum. Pasalnya, patin fillet lokal laku keras di pasar. Menurut Samiono, Direktur PT Central Pertiwi Bahari (CPB), permintaan fillet patin meningkat signifikan sebesar 30%-35% sejak semester II 2017. “Penjualan per bulan di tempat kami rata-rata tahun lalu masih 160-170 ton/bulan. Saat ini penjualan sudah 230-an ton/bulan,” ujarnya kepada AGRINA.  
 
H. Aribun Sayunis, Ketua Asosiasi Pembudidaya Catfish Indonesia (APCI) Prov. Lampung merasakan hal serupa. “Permintaan patin fillet pada semester I 2017 turun. Penurunan yang kami rasakan sampai 30%. Tapi, begitu semester II permintaan stabil, naik lagi ke 50%,” ucapnya.   
 
Pernyataan senada muncul dari Bogor, Jabar. H. Udin Hohipudin, pembudidaya patin di kota hujan ini menjelaskan, permintaan benih patin sepanjang tahun lalu cukup bagus dan makin meningkat pada semester kedua. “Sumatera dan Jawa Timur butuh banyak benih di pertengahan 2017,” katanya. Sedangkan, kebutuhan patin untuk pasar tradisional dan rumah makan juga menanjak. 
 
 
Tren Positif
 
Samiono menjabarkan, kenaikan permintaan patin lokal lantaran enam bulan lalu Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan – Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM - KKP) memperketat penjagaan pelarangan impor fillet patin dari Vietnam dan melakukan sidak ke ritel yang masih menjual patin ilegal.
 
Jika tidak ada sidak, ulasnya, ritel akan tetap memilih patin impor karena harganya lebih murah sekitar 20%-30% atau Rp30 ribu-Rp32 ribu/kg. Sementara, biaya produksi fillet patin lokal mencapai Rp38.500/kg. Rinciannya, harga bahan baku Rp32 ribu/kg fillet dan biaya operasional lainnya seperti tenaga kerja, depresiasi mencapai Rp7.500/kg. 
 
“Kita membeli ke petani Rp14 ribu-Rp16 ribu/kg. Kalau panennya 30% berarti dibagi Rp15 ribu/kg sudah Rp32 ribu/kg, itu adalah bahan baku. Jadi kalau dihitung-hitung memang harga pokok kita sudah Rp38.500/kg,” tandas Samiono. 
 
Menjelang 2017, beber Aribun, Indonesia “kebanjiran” patin karena beredarnya impor dari Vietnam sangat banyak. Dori atau patin impor yang masuk lewat jalan tikus itu mengakibatkan permintaan patin lokal jatuh. Harga patin lokal di level pembudidaya terperosok hingga Rp10 ribu-Rp11 ribu/kg pada semester I tahun lalu untuk pasar lokal. 
 
Harga patin untuk fillet stabil Rp16 ribu/kg tetapi permintaan turun hingga 30%. Padahal dengan pakan mandiri saja, biaya produksi patin sudah mencapai Rp9.000-Rp10 ribu/kg. Kalau menggunakan pakan pabrik, biaya produksi menjadi 12.600/kg.
 
Sidak BKIPM memberi berdampak luar biasa. “Semester II 2017 patin jadi langka karena ketakutan pelaku pembudidaya untuk menanam kembali. Akhir 2017 posisi langka dan harganya cukup tinggi. Harga di pasar lokal di tingkat petani sekarang Rp15.500-Rp16.000/kg,” ulasnya, Rabu (27/12). 
 
Udin menuturkan, kebutuhan benih patin di Jatim dan Sumatera meningkat pada pertengahan tahun lalu karena serapan industri yang tinggi. “Ditambah, sebelumnya habis nggak ada telur. Akhirnya, umur belum cukup juga (benih) sudah keluar. Benih lagi bagus-bagusnya, 18 cm sudah keluar (terjual),” ungkapnya. 
 
 
Peluang 2018
 
Tahun ini, kata Samiono, bisnis patin di Indonesia akan lebih baik. Salah satunya karena masyarakat sudah tahu kualitas patin lokal yang bagus. CPB bahkan mematok produksi fillet mencapai di atas 300 ton/bulan. Sedangkan kebutuhan fillet patin di Indonesia mencapai 800 ton/bulan atau 10 ribu ton setahun.
 
Samiono pun meminta pemerintah tetap sigap menjaga dan melakukan sidak impor patin ilegal. Di sisi lain, pembudidaya dan industri patin lokal terus berbenah diri dan memperbaiki kualitas. “Kalau Vietnam masuk dengan harga Rp30 ribu-Rp32 ribu/kg, dengan sendirinya kita akan tergerus. Makanya dengan sangat kita mengharapkan mereka melakukan pencegahan yang ilegal,” cetusnya. 
 
“Peluang patin Indonesia untuk 2018 sangat besar sekali,” timpal Aribun optimistis. Alasannya, patin Vietnam dan Thailand ditolak pasar Amerika dan Eropa. Jadi, peluang patin lokal untuk menguasai pasar lokal dan pasar ekspor. 
 
Alfons van Duijvenbode, Managing Partner Globally Cool BV, perusahaan konsultasi pemasaran internasional ternama asal Belanda, membenarkan keadaan yang dialami Vietnam. Ekspor patin Vietnam dari US$0 pada 1998 menjadi US$2 miliar kurang dalam 15 tahun. Banyak isu-isu bohong tentang patin untuk melindungi nelayan Amerika yang penjualannya turun drastis karenanya.
 
“Pembudidaya patin Vietnam diam saja, nggak berusaha melawan isu. Dalam dua-tiga tahun nilai ekspor ini turun US$500 juta. Dari US$2 miliar menjadi US$1,5 miliar. Ini menyakitkan,” ujarnya pada Seminar “Talk on Sector Marketing Strategies and Branding Campaigns-Sharing Concepts and Good Practices from Asia, Africa and Latin America” di Jakarta (15/12). Alih-alih memperbaiki kualitas, mayoritas produsen Vietnam justru memilih pasar China dengan kualifikasi yang lebih rendah. 
 
 
Pemulihan Bisnis Lele
 
Dalam industri lele, menurut Suganda, 2017 merupakan tahun pemulihan. “Posisi tata niaga sih lancar, cuma kondisi pelaku lele dalam posisi pemulihan, ibarat habis sakit. Karena tahun-tahun kemarin dari 2014 nggak enak terus di perjalanan lele,” kata Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Kersa Mulya Bakti itu.   
 
Kabar baiknya, sepanjang 2017 tidak terjadi kenaikan harga pakan. Pakan lele bertahan di kisaran Rp9.500/kg, sedangkan harga “si kumis” di tingkat pembudidaya sekitar Rp17 ribu/kg. Lele sangat rentan terhadap kenaikan harga pakan. “Kenaikan Rp500/kg untuk grup lele itu berat karena kenaikan harga lele bukan ribuan tapi ratusan, dari Rp16.000/kg ke Rp16.500/kg,” imbuh pembudidaya lele di Kec. Kapetakan, Kab. Cirebon, Jabar ini.
 
Sementara, biaya produksi lele naik menjadi Rp12 ribu/kg dari sebelumnya Rp11 ribu/kg. “Yang menyebabkan kenaikan ini, pendederan nggak begitu berhasil, jadi benihnya berebut,” ulas Ganda, sapaannya. Harga benih ukuran 4-6 cm berkisar Rp100/ekor.  
 
Meski begitu, lanjutnya, pasar lele tetap menjanjikan. “Kondisi pasar lele justru terbuka sekali. Di mana-mana lele kurang untuk sepanjang 2017,” ucap pria kelahiran 12 Juni 1971 itu saat dihubungi AGRINA, Jumat (22/12). Kondisi tersebut juga terjadi di sentra lele, seperti Bogor, Indramayu, dan Boyolali. 
 
Tahun ini, Ganda optimistis pasar si kumis juga memiliki prospek bagus. “Saya melihatnya 2018 akan tumbuh. Banyak sekali pedagang yang datang dan komitmen (membeli lele),” ungkapnya. Namun, dia tetap mewaspadai kemungkinan terjadinya kenaikan harga pakan. Sebab, penggunaan pakan mandiri masih belum memberikan hasil yang memuaskan. 
 
 
Windi Listianingsih
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain