Tahun ini diprediksi produksi minyak sawit nasional naik seiring pulihnya kondisi tanaman akibat kekeringan 2015. Akankah harganya juga membaik?
Sejak 2007 Indonesia melewati Malaysia menjadi yang terdepan di dunia dalam produksi minyak sawit. Sampai tahun lalu posisi tersebut masih bertahan. Indonesia dan Malaysia terbilang pemasok terbesar minyak sawit ke pasar global dengan menguasai pangsa hampir 90%.
Produksi minyak sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia 2017 kembali naik setelah agak menurun pada 2016 akibat kekeringan panjang yang dipicu fenomena El Nino 2015.
Namun kenaikannya tidak sebesar yang diperkirakan sebelumnya. Bagaimana prediksi bisnis sawit tahun ini? Ada baiknya mencermati ramalan para analis pasar internasional dan pelaku usaha yang tampil dalam ajang “13th Indonesia Palm Oil Conference & Price Outlook 2018” (IPOC) di Nusa Dua, Bali, November silam.
Perkiraan Produksi 2018
Dorab E. Mistry, Direktur Godrej International Limited, grup industri terkemuka India, mengungkap, Oktober silam ia memprakirakan produksi sawit Indonesia 2017 bakal sebanyak 34,5 juta – 35 juta ton. Sedangkan Malaysia mencapai 19,8 juta – 20 juta ton.
“Namun produksi aktual ternyata lebih rendah, terutama karena pohon sawit mengalami siklus biologis menurun. Pohon menunjukkan kecenderungan perlu ‘istirahat’ setelah mengalami produksi yang cukup tinggi selama 8-11 bulan,” papar Mistry, salah satu pembicara langganan IPOC tersebut.
Karena itu, alumnus Bombay University, India, 1973, ini merevisi prakiraannya masing-masing menjadi 34 juta – 34,5 juta dan 19,1 juta-19,3 juta ton. Dan untuk 2018, ia meramalkan produksi Indonesia berada pada rentang 36,5 juta ton – 37 juta ton dan Malaysia 19,97 juta ton.
Sementara itu, Thomas Mielke, analis pasar kenamaan dari Oil World, Jerman, menyatakan, saat ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan pasokan 36,3 juta ton.
“Dan kira-kira dua tahun ke depan produksi Indonesia akan menjadi dua kali lipat Malaysia. Ini capaian besar sejak 1976,” beber Direktur Eksekutif International Statistical Agriculture (ISTA) Mielke GmbH ini.
Khusus 2018, ia menaksir produksi Indonesia bisa menyentuh 38,3 juta ton yang dipanen dari kebun produktif seluas 10 juta ha. Kelak pada 2025, negeri ini akan memproduksi 48 juta ton minyak sawit.
Senada dengan dua tokoh internasional tersebut, M. Fadhil Hasan, Corporate Affair Director PT Asian Agri, mengamini, perkiraan produksi nasional sedikit meleset.
“Setelah menunjukkan peningkatan yang signifikan pada enam bulan pertama, produksi menurun, tidak sebesar enam bulan kedua tahun sebelumnya. Produksi 2017 diestimasi sebesar 36,5 juta ton,” ulas Fadhil sebelumnya menjabat Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Fadhil lebih optimistis, tahun ini Indonesia akan membukukan produksi 38,5 juta ton.
Harga Membaik?
Bicara harga, Mielke melihat tren dari Januari hingga Oktober 2017, harga minyak sawit mentah Indonesia cukup stabil. Namun demikian ia memperkirakan akan terjadi penurunan terhadap harga minyak sawit dan minyak kedelai sebesar US$30-40/ton hingga akhir Desember 2017, dan akan menguat kembali pada Januari-Maret 2018.
“Penguatan harga terdongkrak oleh produksi kedelai yang diprediksi memburuk di Brasil dan Argentina akibat fenomena La Nina. Di Brasil tengah cuaca menjadi terlalu basah, dan sebaliknya di Brasil selatan, Argentina, Paraguay, dan Uruguay terlalu kering,” terang generasi kedua keluarga Mielke tersebut.
Sementara Mistry lebih optimistis. Pada Januari 2018 ini dia ramalkan harga CPO CIF Rotterdam berada di kisaran US$735-US$800/ton karena stok sangat tipis.
“Panen kedelai akan terjadi di Amerika Selatan, rapeseed di Eropa dan bunga matahari di Ukraina. Bila mana ketiga komoditas ini tidak mengisi satu sama lain, harga CPO CIF Rotterdam akan naik mencapai US$850 pada Maret 2018, walaupun dipengaruhi berbagai faktor dan masalah cuaca. Bila mana ada problem cuaca, maka harga akan lebih tinggi,” tandasnya.
Fadhil mencatat, harga CPO sepanjang 2017 cenderung lebih baik ketimbang 2016 dan 2015. “Rata-rata harga 2016 sebesar US$700/ton (CIF Rotterdam). Sedangkan 2017 rata-rata US$716/ton,” ulasnya. Data GAPKI 2015 memperlihatkan rata-rata harga tahun tersebut hanya US$614/ton.
Pemulihan harga tersebut, menurut Fadhil yang juga Presiden Komisaris Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), disebabkan oleh menurunnya stok akibat fenomena El Nino, membaiknya harga minyak mentah, dan pelaksanaan program mandatori biodiesel di Indonesia dan Malaysia.
Peningkatan harga masih berlangsung pada 2017 yang dipicu membaiknya perekonomian dunia, kenaikan permintaan dari negara-negara pasar baru, terutama yang ekonominya berkembang, dan sisa efek El Nino yang mengerem produksi jadi belum maksimal.
Menurut Fadhil, banyak hal akan mempengaruhi permintaan dunia terhadap minyak sawit. Misalnya, upaya Uni Eropa menghentikan pemakaian biodiesel berbasis sawit pada 2021 dan menggantikannya dengan biodiesel minyak sayur generasi pertama pada 2030.
“Ini berimplikasi tidak ada lagi permintaan biofuel sawit setelah 2021. Artinya ada pengurangan konsumsi sawit untuk biodiesel sebanyak 3,5 juta ton. Tambahan lagi kampanye negatif terhadap minyak sawit yang masih saja diembuskan di Eropa,” ulasnya.
Selain itu, Amerika juga menaikkan bea masuk biodiesel asal sawit dari Indonesia hingga 54% mulai Juli 2018. Dan 5 Desember 2017 silam, Komisi Perdagangan Internasional (ITC) Amerika Serikat membuktikan impor biodiesel dari Indonesia dan Argentina membahayakan produsen lokal mereka.
Karena itu Departemen Perdagangan AS memutuskan untuk memberlakukan bea antidumping dan antisubsidi tersebut minimal sampai lima tahun ke depan.
Rusia pun menaikkan standar nilai peroksidase. India juga mengenakan bea masuk lebih tinggi. Konsumsi minyak sawit di dalam negeri juga tak akan naik signifikan, kecuali pemerintah mau memperluas penerapan mandatori biodiesel pada sektor non-public service obligation (PSO).
Dengan menghitung semua faktor tersebut, mewakili GAPKI, Fadhil menyebut, harga rata-rata minyak sawit 2018 ini bakal bermain di kisaran US$710-US$720/ton. Sementara ekspor sawit kita naik sedikit dari 28 juta ton 2017 ke 29 juta ton 2018.
Bagaimana pun sawit masih sangat diandalkan bagi perekonomian nasional. Menurut Bayu Krisnamurthi, pendiri Inclusive and Sustainable Agribusiness (ISA) Initiative, nilai ekspor produk sawit sangat besar, 1,5 kali lipat migas.
Di sini agribisnis sawit menjadi sumber penghidupan utama bagi 5 juta lebih petani dan buruh sawit serta 12 juta orang lagi yang bergantung secara tidak langsung pada komoditas penghasil “emas cair” ini.
Karena itu, pemerintah, pelaku usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan publik perlu satu suara agar mendukung bisnis besar ini tetap “kinclong” dan berkelanjutan.
Peni Sari Palupi