“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Kompetisi industri pupuk di Indonesia sangat ketat. Tidak hanya dipenuhi pelaku usaha lokal, produsen mancanegara juga ikut meramaikan sektor penunjang produksi pertanian itu. “Luar biasa kompetisinya, sangat ketat,” ungkap Nugraha Budi Eka Irianto.
Tahun lalu misalnya, Indonesia kemasukan pupuk urea asal negeri Tirai Bambu berkisar setengah juta ton. “Nggak pernah terjadi pupuk urea impor sebanyak itu,” tandasnya. Presiden Direktur PT Pupuk Kujang ini menduga, kondisi tersebut terjadi lantaran harga pupuk asal China lebih murah dan lebih menarik daripada pupuk lokal.
Menghadapi persaingan super padat, Nugraha pun berbenah kilat. Apa langkah yang dilakukan pria kelahiran Kalianget, 17 November 1962 itu agar industri pupuk lokal bisa mengejar ketertinggalan?
Perjuangan Berat
Nugraha memegang kemudi perusahaan pupuk pelat merah berbasis di Cikampek, Karawang, Jabar, sejak Januari 2016 dalam kondisi cukup berat. Harga komoditas pertanian di pasar dunia tengah hancur bersamaan dengan turunnya harga minyak dan kenaikan harga gas. Keadaan ini berdampak pada kas perusahaan karena penjualan dari sektor industri dan perkebunan (komoditas) menurun.
Terlebih, sebagian besar produk Pupuk Kujang (PK) disokong pemerintah melalui penjualan pupuk bersubsidi. “Saat ini kita sulit sekali keluar dari pasar komoditi karena pengalaman di ritel kurang. Sampai di kios sih tapi sebagai pupuk subsidi sedangkan pupuk ritel sangat kurang. Berjualan pupuk subsidi Itu perjuangannya tidak sekeras segmen ritel,” kata pria yang berkecimpung dalam industri pupuk sejak 1986.
Ia mengakui, PK tidak pernah menyiapkan diri memasuki pasar ritel. “Ketika komoditi jatuh, satu-satunya peluang hidup kita adalah ritel. Walau bagaimanapun ritel tetap memberikan margin daripada komoditi kebun dan industri,” ulas sarjana Teknik Kimia lulusan Institut Teknologi Bandung itu.
Meski harus memasarkan ke pasar ritel lewat distributor, perusahaan bisa hidup dan memperoleh keuntungan. “Itu yang saya tekuni sekarang. Masih merangkak tapi paling tidak sudah mulai. Posisi kita di tengah pasar, di gudang pangan. Tapi, kita bakal mati kalau nggak bisa mengubah diri,” tegasnya membenahi sisi pemasaran. Kemudian, dia membuat jalur khusus ritel agar tidak bercampur dengan pupuk subsidi.
Karakter pasar ritel, imbuhnya, sangat jauh berbeda dengan pasar subisidi. Pupuk subsidi sudah pasti dibeli kendati tanpa promosi dan kemasan menarik. Sedangkan, pasar ritel meminta fitur-fitur tertentu sebagai nilai tambah produk termasuk fitur pembiayaan.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 13 Edisi No. 276 yang terbit pada Juni 2017. Atau klik di www.scanie.com/featured/agrina.html, https://www.wayang.co.id/index.php/majalah/agrina, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/