Kalau pakai duit, semua akan berjalan dengan sendirinya. Benarkah demikian?
Meski
perekonomian dunia tengah lesu, bisnis karet alam tak boleh layu. Usaha kreatif
harus dilakukan agar bisnis karet tetap
melaju. Upaya itu hadir melalui tangan Dr. Karyudi. Berbalut optimisme tinggi,
Direktur Pusat Penelitian (Puslit) Karet ini meramu berbagai cara jitu untuk
mengangkat industri karet menuju era kebangkitan baru.
Kreativitas
Sikap optimistis itu menempel begitu kuat dalam diri
Karyudi. Tidaklah mengherankan jika kita menilik pengalaman Yudi, begitu ia
disapa, menghadapi berbagai persoalan hidup.
Misalnya saat memimpin Balai Penelitian Karet Sungei Putih
di Deli Serdang, Sumatera Utara, ia dengan lantang menyatakan kemandirian lembaga
ini. Sungei Putih tidak lagi disokong bantuan dana untuk menunjang kehidupannya.
Tidak disangka saat itu harga karet jelek.
“Bapak angkat bendera putih (menyerah) aja, minta
bantuan,” pria kelahiran 6 April 1959 ini menirukan
permintaan staf yang mengkhawatirkan kondisi Sungei Putih. Namun ia teguh pendirian. “Tidak. Kita nggak boleh seperti itu,” katanya tanpa ragu. Maka, Yudi memutar otak. “Munculkan
kreativitas,” cetusnya.
Doktor
Bidang Pertanian lulusan Queensland University, Australia
ini melihat kalangan swasta menghadapi kendala
produktivitas rendah. Ia lantas merancang peningkatan produktivitas yang instan
dengan teknologi penyadapan. Sungei Putih pun mendapat kontrak kerja sama
dengan sebagian besar PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk mengawal produksi
karet. “Miliaran
kontraknya. Selesailah itu. Nggak
perlu bantuan,” paparnya bahagia.
Saat harga karet anjlok, pendapatan dari kebun rendah. Tapi dengan
kerja sama, Sungei Putih mendapat kompensasi dari pendapatan lain. “Tuhan menguji kita. Kalau kita diam saja nggak
menggunakan akal pikiran, ya begitu-begitu aja. Kalau
dihadapkan pada masa-masa sulit, Bismillah aja,” ia melanjutkan.
Pakai Duit
Saat menginjakkan kaki di Puslit Teh dan Kina, Gambung, Bandung, Jabar, sebagai direktur pada 2012, Yudi
kembali dihadapkan pada persoalan pelik. Gambung mengalami defisit pendapatan,
asetnya kurang terawat, dan sumber daya manusia (SDM) kurang tertata.
Selain itu, lahan teh seluas 9 ha milik Puslit sempat dirusak
warga sekitar. Ia terpaksa meminta bantuan polisi setelah pendekatan
kekeluargaan mengalami jalan buntu.
Yudi membenahi SDM dengan menyatukan pemikiran melalui
pendekatan kecerdasan spiritual yang dipopulerkan Ari Ginanjar, motivator
kondang di Jakarta. Ia mengamati potensi unggul Gambung dan mengembangkannya
dengan apik, yakni merakit bibit unggul teh hingga memasarkan produk teh putih dan
air mineral. Pria berjiwa muda ini juga mempercantik wisma Gambung lengkap dengan arena outbound sehingga nyaman dikunjungi sebagai arena wisata atau
tempat tinggal.
Sekali lagi Yudi mendulang investasi miliaran. Gambung
yang tadinya defisit, sekarang surplus. Yang dulu suram sehingga digunakan untuk
lokasi syuting film menyeramkan, kini diminati karena pemandangannya menawan.
“Pak
mohon maaf, dulu di sini bagusnya untuk yang seram-seram. Tapi
sekarang nggak cocok,” ujarnya tertawa seraya menirukan ucapan sang sutradara film.
Yudi menuturkan, masalah demi masalah bisa dilewati
karena duit. “Saya
menganut prinsip: apapun pakai
duit. Duit itu Doa, Usaha,
Ikhlas, Tawakal.
Kalau pakai duit, semua akan diberi jalannya sendiri sama Yang Maha Kuasa dan hidup enak, tenang,” paparnya rendah hati. Segala sesuatunya telah diatur Yang Maha Kuasa. Manusia tinggal berdoa
dan berusaha sebaik mungkin. “Doa membuat kita lebih kuat,” tandasnya.
Tuhan
Terlalu Baik
Dalam menjalani hidup sejak kecil hingga kini menjabat
Direktur Puslit Karet, Yudi merasa Tuhan terlalu baik padanya. “Terlalu banyak
nikmat yang diberikan Tuhan pada saya,” ungkapnya bersahaja.
Perjalanan hidupnya sejak kecil tak mudah. Sebagai anak
buruh tani ini, ia harus menyambung hidup dengan berjualan penganan seperti
rengginang atau kue satu sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ketika mimpinya
melanjutkan sekolah hampir pupus, ia mendapat kesempatan kuliah di IPB, Bogor,
Jabar melalui jalur prestasi Proyek Perintis 2. “Saya yakin Tuhan melihat apa yang kita lakukan karena sifat-Nya
Rahman dan Rahim, pengasih dan penyayang,” ucap sulung dari 10
bersaudara itu.
Karena kondisi ekonomi yang sulit, ia terpaksa ikut teman
saat hendak berangkat ke Bogor. “Orang tua nggak ada biaya. Waktu ada
kawan diantar (kuliah), saya ikut aja,” Yudi tertawa lepas. Keluarga
besarnya lantas tergerak membantu biaya perkuliahan. “Yang penting
berpikiran positif. Tuhan pasti
membantu,” sambungnya.
Selepas kuliah, pria asal Cirebon, Jabar, ini bekerja
di Sungei Putih sebagai peneliti pada 1984. Beberapa tahun berselang, ia
mengajukan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Negeri Kanguru.
Namun takdir berkata lain. Yudi gagal dalam tes Bahasa Inggris karena sakit.
Dalam keadaan kecewa berat karena harus tes kembali tiga
bulan ke depan dan menunda keberangkatan, Yudi mengalihkannya dengan banyak menulis
jurnal penelitian. Akibatnya, jabatan fungsionalnya meningkat diikuti penyesuaian
golongan.
Sepulang dari Australia, anak pasangan Murcita (alm.)
dan Ma’ani (almh.) ini memperoleh golongan dan jabatan fungsional tinggi. Ia
juga dipercaya menjabat kepala
bidang penelitian dan pelayanan. “Coba kalau
saya berangkat waktu itu, golongan saya masih rendah. Itulah
yang namanya hikmah. Kadang kita nggak tahu ada hikmah di balik itu (kegagalan),” ungkapnya bijak.
Produktivitas Menjadi Profitabilitas
Ujian bagi Yudi ternyata masih terus datang. Saat ini
industri karet sedang terpuruk karena mengalami harga terendah sejak 1980-an. Harga karet SIR 20 sekitar
US$1,08/kg di pelabuhan. Harga di tingkat
petani lebih jatuh lagi.
Kondisi ini dipicu ekonomi dunia yang tengah lesu dan rendahnya harga minyak dunia.
Namun, bukan
Karyudi namanya kalau hanya pasrah. Ia melakukan reorientasi. Caranya, mengubah
pola pikir dan bertindak dari berbasis peningkatan produktivitas atau produksi per satuan luas menjadi
kenaikan profitabilitas atau margin
per satuan luas.
Profitabilitas menekankan
pada teknologi yang efisien dan tumpang sari.
Penggunaan teknologi bisa menurunkan
biaya produksi sehingga profitabilitas meningkat. Pun tumpang sari karet dengan tanaman bernilai ekonomi
tinggi, seperti durian, akan menaikkan keuntungan petani. “Jarak tanam
kita atur. Misal, dua baris karet
dan satu baris durian,” urainya.
Di hilir, sambung Yudi, mendorong tumbuhnya industri selain
ban. Karet bisa diolah menjadi bantalan gempa (seismic bearing) untuk bangunan di daerah rawan gempa, bantalan
kapal di pelabuhan, aspal berkaret, hingga bantal dan kasur. Jika seluruh jalan
di Indonesia menggunakan aspal berkaret, bisa menyerap karet sebanyak 60 ribu –
150 ribu ton/tahun. Program ini tentu membutuhkan payung hukum pemerintah agar
bisa berjalan. Belanja pemerintah tersebut dapat menguatkan harga karet dan
pasar karet domestik.
Windi
Listianingsih, Syatrya Utama