Kamis, 30 Juni 2016

Dr. Karyudi, Apapun Pakai Duit

Kalau pakai duit, semua akan berjalan dengan sendirinya. Benarkah demikian?

Meski perekonomian dunia tengah lesu, bisnis karet alam tak boleh layu. Usaha kreatif harus dilakukan agar bisnis karet tetap melaju. Upaya itu hadir melalui tangan Dr. Karyudi. Berbalut optimisme tinggi, Direktur Pusat Penelitian (Puslit) Karet ini meramu berbagai cara jitu untuk mengangkat industri karet menuju era kebangkitan baru.

Kreativitas

Sikap optimistis itu menempel begitu kuat dalam diri Karyudi. Tidaklah mengherankan jika kita menilik pengalaman Yudi, begitu ia disapa, menghadapi berbagai persoalan hidup.

Misalnya saat memimpin Balai Penelitian Karet Sungei Putih di Deli Serdang, Sumatera Utara, ia dengan lantang menyatakan kemandirian lembaga ini. Sungei Putih tidak lagi disokong bantuan dana untuk menunjang kehidupannya. Tidak disangka saat itu harga karet jelek.

“Bapak angkat bendera putih (menyerah) aja, minta bantuan,” pria kelahiran 6 April 1959 ini menirukan permintaan staf yang mengkhawatirkan kondisi Sungei Putih. Namun ia teguh pendirian. “Tidak. Kita nggak boleh seperti itu,” katanya tanpa ragu. Maka, Yudi memutar otak. “Munculkan kreativitas,” cetusnya.

Doktor Bidang Pertanian lulusan Queensland University, Australia ini melihat kalangan swasta menghadapi kendala produktivitas rendah. Ia lantas merancang peningkatan produktivitas yang instan dengan teknologi penyadapan. Sungei Putih pun mendapat kontrak kerja sama dengan sebagian besar PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk mengawal produksi karet. “Miliaran kontraknya. Selesailah itu. Nggak perlu bantuan,” paparnya bahagia.

Saat harga karet anjlok, pendapatan dari kebun rendah. Tapi dengan kerja sama, Sungei Putih mendapat kompensasi dari pendapatan lain. “Tuhan menguji kita. Kalau kita diam saja nggak menggunakan akal pikiran, ya begitu-begitu aja. Kalau dihadapkan pada masa-masa sulit, Bismillah aja,” ia melanjutkan.

Pakai Duit

Saat menginjakkan kaki di Puslit Teh dan Kina, Gambung, Bandung, Jabar, sebagai direktur pada 2012, Yudi kembali dihadapkan pada persoalan pelik. Gambung mengalami defisit pendapatan, asetnya kurang terawat, dan sumber daya manusia (SDM) kurang tertata.

Selain itu, lahan teh seluas 9 ha milik Puslit sempat dirusak warga sekitar. Ia terpaksa meminta bantuan polisi setelah pendekatan kekeluargaan mengalami jalan buntu.

Yudi membenahi SDM dengan menyatukan pemikiran melalui pendekatan kecerdasan spiritual yang dipopulerkan Ari Ginanjar, motivator kondang di Jakarta. Ia mengamati potensi unggul Gambung dan mengembangkannya dengan apik, yakni merakit bibit unggul teh hingga memasarkan produk teh putih dan air mineral. Pria berjiwa muda ini juga mempercantik wisma Gambung lengkap dengan arena outbound sehingga nyaman dikunjungi sebagai arena wisata atau tempat tinggal.

Sekali lagi Yudi mendulang investasi miliaran. Gambung yang tadinya defisit, sekarang surplus. Yang dulu suram sehingga digunakan untuk lokasi syuting film menyeramkan, kini diminati karena pemandangannya menawan. “Pak mohon maaf, dulu di sini bagusnya untuk yang seram-seram. Tapi sekarang nggak cocok, ujarnya tertawa seraya menirukan ucapan sang sutradara film.

Yudi menuturkan, masalah demi masalah bisa dilewati karena duit. “Saya menganut prinsip: apapun pakai duit. Duit itu Doa, Usaha, Ikhlas, Tawakal. Kalau pakai duit, semua akan diberi jalannya sendiri sama Yang Maha Kuasa dan hidup enak, tenang,” paparnya rendah hati. Segala sesuatunya telah diatur Yang Maha Kuasa. Manusia tinggal berdoa dan berusaha sebaik mungkin. “Doa membuat kita lebih kuat,” tandasnya.

Tuhan Terlalu Baik

Dalam menjalani hidup sejak kecil hingga kini menjabat Direktur Puslit Karet, Yudi merasa Tuhan terlalu baik padanya. “Terlalu banyak nikmat yang diberikan Tuhan pada saya,” ungkapnya bersahaja.

Perjalanan hidupnya sejak kecil tak mudah. Sebagai anak buruh tani ini, ia harus menyambung hidup dengan berjualan penganan seperti rengginang atau kue satu sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ketika mimpinya melanjutkan sekolah hampir pupus, ia mendapat kesempatan kuliah di IPB, Bogor, Jabar melalui jalur prestasi Proyek Perintis 2. “Saya yakin Tuhan melihat apa yang kita lakukan karena sifat-Nya Rahman dan Rahim, pengasih dan penyayang,” ucap sulung dari 10 bersaudara itu.

Karena kondisi ekonomi yang sulit, ia terpaksa ikut teman saat hendak berangkat ke Bogor. “Orang tua nggak ada biaya. Waktu ada kawan diantar (kuliah), saya ikut aja,” Yudi tertawa lepas. Keluarga besarnya lantas tergerak membantu biaya perkuliahan. “Yang penting berpikiran positif. Tuhan pasti membantu,” sambungnya.

Selepas kuliah, pria asal Cirebon, Jabar, ini bekerja di Sungei Putih sebagai peneliti pada 1984. Beberapa tahun berselang, ia mengajukan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Negeri Kanguru. Namun takdir berkata lain. Yudi gagal dalam tes Bahasa Inggris karena sakit.

Dalam keadaan kecewa berat karena harus tes kembali tiga bulan ke depan dan menunda keberangkatan, Yudi mengalihkannya dengan banyak menulis jurnal penelitian. Akibatnya, jabatan fungsionalnya meningkat diikuti penyesuaian golongan.

Sepulang dari Australia, anak pasangan Murcita (alm.) dan Ma’ani (almh.) ini memperoleh golongan dan jabatan fungsional tinggi. Ia juga dipercaya menjabat kepala bidang penelitian dan pelayanan. “Coba kalau saya berangkat waktu itu, golongan saya masih rendah. Itulah yang namanya hikmah. Kadang kita nggak tahu ada hikmah di balik itu (kegagalan),” ungkapnya bijak.

Produktivitas Menjadi Profitabilitas

Ujian bagi Yudi ternyata masih terus datang. Saat ini industri karet sedang terpuruk karena mengalami harga terendah sejak 1980-an. Harga karet SIR 20 sekitar US$1,08/kg di pelabuhan. Harga di tingkat petani lebih jatuh lagi. Kondisi ini dipicu ekonomi dunia yang tengah lesu dan rendahnya harga minyak dunia.

Namun, bukan Karyudi namanya kalau hanya pasrah. Ia melakukan reorientasi. Caranya, mengubah pola pikir dan bertindak dari berbasis peningkatan produktivitas atau produksi per satuan luas menjadi kenaikan profitabilitas atau margin per satuan luas.

Profitabilitas menekankan pada teknologi yang efisien dan tumpang sari. Penggunaan teknologi bisa menurunkan biaya produksi sehingga profitabilitas meningkat. Pun tumpang sari karet dengan tanaman bernilai ekonomi tinggi, seperti durian, akan menaikkan keuntungan petani. “Jarak tanam kita atur. Misal, dua baris karet dan satu baris durian,” urainya.

Di hilir, sambung Yudi, mendorong tumbuhnya industri selain ban. Karet bisa diolah menjadi bantalan gempa (seismic bearing) untuk bangunan di daerah rawan gempa, bantalan kapal di pelabuhan, aspal berkaret, hingga bantal dan kasur. Jika seluruh jalan di Indonesia menggunakan aspal berkaret, bisa menyerap karet sebanyak 60 ribu – 150 ribu ton/tahun. Program ini tentu membutuhkan payung hukum pemerintah agar bisa berjalan. Belanja pemerintah tersebut dapat menguatkan harga karet dan pasar karet domestik.


Windi Listianingsih, Syatrya Utama



 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain