Jiwa wirausaha mendorong peneliti menghasilkan karya
sesuai kebutuhan masyarakat.
Memegang tampuk kepemimpinan baru, Dr. Ir. Teguh
Wahyudi, M.Eng., telah menyiapkan berbagai strategi yang membuat PT Riset
Perkebunan Nusantara (RPN) semakin siap bersinar sebagai pusat penelitian
perkebunan yang unggul dan menghasilkan keuntungan. Mari menilik strateginya yang cukup unik ketika Direktur Utama PT RPN ini
berbincang dengan AGRINA, Senin, 19 Oktober 2015.
Perlunya
Jiwa Wirausaha
Hasil penelitian biasanya hanya akan menumpuk di
perpustakaan. Namun, tidak demikian dengan riset-riset yang dilakukan para peneliti di RPN. Hampir
setiap penelitian mereka diminati pasar. Sebab, ulas Teguh, RPN selalu
menerapkan semangat wirausaha dalam setiap penelitian yang dilakukan.
Akibatnya, para peneliti akan terpacu untuk melakukan penelitian berorientasi
bisnis sehingga hasil risetnya diminati pelaku usaha.
Teguh mengatakan,
jiwa wirausaha sebaiknya masuk ke dalam setiap lembaga penelitian karena akan
memberi manfaat yang sangat besar. Ia mengambil contoh Bill
Gates, penemu microsoft yang seorang peneliti tetapi berjiwa entrepreneur sejati. “Bill Gates
itu kewirausahaannya tinggi maka dia tahu yang dibutuhkan orang. Jadi semua
program yang dibuat memudahkan orang memakai komputer,” ulas Doktor bidang
Teknologi Pascapanen lulusan Universiti Putra Malaysia itu.
Lembaga penelitian juga harus pandai membaca dan
memprediksi kebutuhan masyarakat ke depan. Aplikasi nano teknologi pada
industri perkebunan dalam pembuatan pupuk dan pestisida atau pemanfaatan
diversifikasi sawit untuk kebutuhan industri nonpangan, seperti biodiesel dan
bioplastik merupakan salah satu bentuk kebutuhan pasar pada masa mendatang.
“Biodiesel dulu seolah-olah nggak diperlukan. Tapi
sekarang biodiesel dari sawit menjadi perlu karena kelebihan pasokan, harganya
turun. Kalau (minyak sawit) dikonversikan ke biodiesel harapannya pasokan
turun, harganya jadi naik,” terang pria kelahiran 27 Mei 1959 itu.
RPN pun mulai melakukan penelitian pupuk berteknologi
nano karena akan lebih efisien. “Itu sudah kita mulai walaupun belum ada hasil
riset yang sudah mantap. Mungkin suatu saat pestisida juga harus ada yang
ukuran nano sehingga bisa memperingan,” sambung Direktur Utama RPN sejak 9 Juli
2015 ini.
Inovasi lain yang bisa dikembangkan adalah memadukan bisnis
perkebunan dengan properti. Petani kopi di Hawaii misalnya, menjual rumah yang
berada di tengah kebun kopi seluas 1-2 ha. Masyarakat
modern yang menginginkan
rumah dalam lingkungan asri pun tergiur membeli.
“Si pemilik kebun kopi ini pintar,
kamu beli itu semua tapi kebun kopinya aku yang merawat.
Semua hasilnya aku yang mengolah, aku yang jual, nanti kita bagi hasil,” ungkap alumnus
Fakultas Teknologi Pertanian IPB 1982 ini menirukan petani kopi. Dengan inovasi tadi, biaya pengelolaan kebun yang
besar menjadi ringan lantaran ditopang bisnis perumahan.
Selain
itu, berbagai jenis festival perkebunan juga perlu dilakukan secara rutin yang
melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Seperti festival Euro Chocolate di Eropa yang diadakan setiap tahun dan berpindah
tempat secara bergiliran. “Pada
hari pelaksanaan itu anak sekolah diliburkan, disuruh datang ke pameran. Karena
menjadi festival besar, orang-orang datang
jadi gandeng sama pariwisata,” ucapnya.
Sister Institute Demi mengobarkan semangat wirausaha di setiap lembaga
di bawah naungan RPN, Teguh mengembangkan program sister institute. Yaitu, pendampingan usaha oleh lembaga riset yang
lebih maju kepada lembaga riset yang masih meniti jalan. Langkah pendampingan
bisa dari segi pendanaan, kemampuan SDM, jejaring (networking), atau sumber daya.
Misalnya, lanjut Teguh, yang mampu secara finansial membantu yang kurang mampu di aspek bisnis. “Tapi membantu dalam pengertian B to B, bukan dalam pengertian seperti kakak dan adik, membantu habis itu adiknya lupa. Kalau ini B (Business) to B (Business), kedua pihak yang bersinergi itu semuanya untung,” kata pria asal Pasuruan, Jatim, ini.
Sister institute yang sudah dibentuk adalah Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) di Jember, Jatim, sebagai sister bagi Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jatim; Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, Sumut menjadi sister untuk Pusat Penelitian Teh dan Kina (Puslitkina) di Bandung; dan Pusat Penelitian Karet (Puslitkaret) di Sembawa, Palembang, Sumsel dengan Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri di Bogor, Jabar.
“Puslitkoka sebagai kakaknya P3GI, apa yang dilakukan supaya P3GI maju? Misal ada proyek tapi P3GI nggak punya modal kerja, dikasih sama Puslitkoka. Nggak punya pengalaman, didampingi untuk bisa bertemu dengan para stakeholders (pemangku kepentingan),” urai penggemar olah raga bulu tangkis dan pingpong ini.
Sinergi tersebut bisa melibatkan lebih dari dua puslit, seperti PPKS dan Puslitkoka yang tengah membantu Puslitkina. “Puslitkoka ikut membantu karena kedekatan sifat komoditinya, kopi, kakao, dan teh,” timpal perintis PT RPN ini.
Dialog Mendekatkan Hati
Sementara, sebagai seorang pemimpin, Teguh tidak puas hanya menerima informasi satu arah. Mantan Direktur Puslitkoka ini kerap mengajak karyawannya berdialog interaktif sebulan sekali untuk saling mengevaluasi. “Karyawan boleh ngomong apa saja saat dialog itu, termasuk mengkritik saya. Misalnya, Bapak itu penampilannya harus jaim (jaga image),” ucap pemimpin bergaya egaliter ini sambil tertawa, “Boleh, saya nggak marah juga.”
Teguh pun sangat merasakan manfaat dialog yang sejak lama ia bangun ketika menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jatim, pada 2005. “Impact (dampak)-nya bagus. Saya bisa mengenali persoalan yang terjadi di bawah sana tanpa mengandalkan laporan dari kawan-kawan. Keuntungannya itu,” papar pria yang tidak suka bersikap terlalu kaku dalam memimpin.
Dia menambahkan, para karyawan dari berbagai tingkatan pun tetap bersikap santun dan segan meski berkesempatan mengkritisi sang direktur. “Meski saya direktur, santai saja. Saya tidak terlalu strict (ketat). Bermain dan bergurau dengan karyawan bawah itu sudah biasa,” ujar pria yang aktif di berbagai organisasi bisnis, olahraga, hingga keagamaan.
Ayah dua anak ini juga kerap menularkan semangatnya kepada para peneliti muda. “Kalau jadi peneliti itu kita berkesempatan beramal ilmiah dan berilmu amaliah. Kalau sudah punya ilmu mau dikomersialkan bisa juga jadi uang banyak tapi belum tentu itu menjadi amaliah. Jadi niatnya harus beramal ilmiah, berilmu amaliah,” tandas suami Jully Adriretnani ini.
Meski gaji yang diperoleh seorang peneliti tidak seberapa, ulas Teguh, ia merasa nyaman karena bebas berkreasi sekaligus beramal. “Bisa betah karena saya ini sedang beramal juga. Nggak sekadar dihitung berapa rupiah yang saya peroleh,” ujarnya tersenyum bahagia mengakhiri perbincangan.
Windi Listianingsih, Syatrya Utama