”Petani itu mitra yang paling penting.”
Karir yang menanjak dan pengalaman hampir 20 tahun di bidang keberlanjutan dan rantai pasok kakao membuat Andi Sitti Asmayanti, mendapat tanggung jawab baru mengelola program kemitraan Cocoa Life yang dirintis Mondelez International, produsen makanan ringan terkemuka di dunia. Tanggung jawab yang diembannya tidaklah mudah. Yanti, begitu perempuan asli Makassar, Sulsel ini disapa harus memimpin salah satu strategi program keberlangsungan Mondelçz International.
Melalui program ini Mondelçz International berkomitmen menginvestasikan dana sebesar US$400 juta selama sepuluh tahun untuk membantu para petani kakao di berbagai negara menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun siapa disangka, justru dari situlah Direktur Cocoa Life Asia Tenggara, Mondelez International ini menemukan passion-nya.
Menemukan Passion
”Turun lapang itu menarik,” ujar Yanti membuka obrolannya dengan AGRINA. Master of Business Administration di Manajemen Keuangan dari Universitas Hasanuddin ini merasa nyaman ketika menginjakkan kaki di areal perkebunan kakao dan bisa berinteraksi dengan para petani. ”Saya suka kalau lagi stres di meja (kantor), turun ke lapangan. Enak lihat petani, lihat yang hijau-hijau, lihat diskusi masyarakat yang berbeda,” papar perempuan kelahiran 8 Juli ini penuh semangat.
Pengalaman berinteraksi dengan banyak petani diperoleh Yanti pertama kali ketika berkecimpung di bidang rantai pasok kakao saat bekerja di Mars Incorporated. ”Otomatis banyak ketemu petani. Harus mengerti petani bagaimana untuk bisa membeli, membuat strategi membeli dari mereka (petani),” cetusnya. Yanti yang memimpin Commercial & Bean Sourcing Operations Mars ini pun lantas dipercaya menangani program keberlanjutan kakao di Indonesia.
Ketika bergabung di Mondelez pada Juli 2013, penyuka traveling ini kembali didaulat mengelola program keberlanjutan kakao, yaitu Cocoa Life. Yanti menuturkan, ia paling senang dengan tugasnya di Cocoa Life yang berfokus ke sustainability (keberlanjutan). ”Saya mendapati passion (keinginan kuat) saya di situ,” terangnya semringah. Ia menambahkan dengan mata berbinar, ”Kompleks masalahnya. Jadi, banyak ketemu orang, visi-misi sustainability itu sendiri, petaninya, komunitasnya juga. Ini yang membuat saya lebih semangat dalam bekerja.”
Apalagi, urai Yanti, program yang dikelolanya saat ini agak berbeda daripada program lain di Indonesia. ”Program lain itu sustainability fokusnya produktivitas. Melibatkan komunitas juga tapi lebih ke arah petani. Cocoa Life fokusnya produktivitas dan komunitas. Jadi, dinamikanya beda, semangatnya beda,” paparnya. Yanti menjadi semakin bersemangat dan bahagia ketika melihat petani dan komunitas yang tengah dibina menjadi lebih berkembang. Ditambah lagi, tim kerja yang berkecimpung di komunitas keberlanjutan ini menyenangkan.
Karakter Komunitas
Sering berkeliling daerah sentra budidaya kakao dan bercengkrama dengan para petani pemilik tanaman bernama ilmiah Theobroma cacao ini membuat Yanti familiar dengan masing-masing karakteristiknya. ”Kita bicara Lampung, itu menarik melihat antar suku-suku. Masuk ke lokasi mereka itu sudah kelihatan. Oh, ini petaninya Sunda, ini petaninya Jawa, ini petaninya Bali, ini petani Lampung. Dengan kita sering (berkunjung) jadi ngerti bedanya di mana,” papar penggemar wisata kuliner yang mengakui kebosanannya akan masakan hotel itu.
Yanti juga mencontohkan, petani kakao asal Sulawesi yang tinggal di Papua lebih maju daripada petani lokal. ”Mungkin gitu ya, orang Indonesia kalau merantau lebih bagus,” wanita energik itu berhipotesis.
Melihat perbedaan dan kareakteristik setiap komunitas mendorong Yanti mendalami ilmu sosiologi manusia. Dia pun berencana melanjutkan studi doktoral di bidang sosiologi. ”Mudah-mudahan bisa lanjut,” harapnya.
Petani Mitra Penting
Bekerja sama dengan petani berbasis kelompok, tidak jarang Yanti menemui kelompok tani kakao yang mati suri sehingga ia mengajak mereka aktif kembali. “Kita akan ke kelompoknya kemudian diskusi dengan mereka. Mau masuk di program kita atau nggak,“ kisahnya.
Keputusan sepenuhnya ada di tangan para petani yang akan bermitra sehingga tidak ada paksaan di dalamnya. “Kami melihat petani itu mitra yang paling penting,” tegas ibu dua anak ini. Ia kerap menemukan anggota kelompok tani enggan bergabung dalam program Cocoa Life. “Ada kejadian petani bilang nanti dulu, itu nggak menutup kemungkinan. Program Cocoa Life ini ’kan dari mereka, bukan dari kita. Kita nggak memaksa,” terang Yanti.
Selain penolakan, ada juga petani yang sangat antusias ingin mengikuti Cocoa Life. Kejadian di Lampung misalnya, petani daerah lain yang belum tercakup Cocoa Life mau masuk program tersebut. Yanti pun mencari cara. ”Kita masukkan step (tahap) berikutnya karena setiap tahun kita expand (perluasan) area,” imbuh perempuan yang banyak terlibat dalam pengembangan rantai pasokan kakao yang berkelanjutan dan implementasi sertifikasi kakao. Selain itu ia juga aktif dalam pelaksanaan strategi dan program pemberdayaan petani kakao, transfer teknologi dari praktik pertanian kakao yang baik, manajemen rantai pasokan, public private partnership, dan hubungan ke para stakeholders ini.
Ketika kemitraan sudah terjalin, kendala besar menanti Yanti beserta tim, yaitu mengubah pola pikir petani saat proses adopsi teknologi dan pengetahuan lain yang diberikan dalam program kemitraan. Berdasarkan pengalamannya, perubahan pola pikir perlu waktu sekitar 1-3 tahun. Adopsi mungkin terjadi pada tahun ketiga. Ada juga adopsi yang terjadi pada tahun pertama, tergantung si petani sendiri.
Yanti menjelaskan, untuk mengubah pola pikir perlu pendekatan terus menerus. Karena itu, Mondelez menyediakan penyuluh lapang yang selalu ada untuk berdiskusi dengan para petani kakao. ”Petani itu ’kan otaknya di mata, dibilangin nggak akan berubah juga sampai mereka lihat sendiri. Tapi setelah melihat sendiri, mereka berlomba-lomba,” katanya sambil menjelaskan keberhasilan peningkatan produktivitas petani kakao di Lampung yang disaksikan petani dari kelompok lain.
Saat ini sudah 8.000 petani yang tergabung dalam kemitraan Cocoa Life. Harapannya, pada 10 tahun mendatang, sebanyak 50 ribu petani kakao Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari program kemitraan tersebut. Pasalnya, ungkap Yanti, program tersebut sangat strategis dan memberikan dampak sangat besar bagi masyarakat dunia.
Dengan pertumbuhan kebutuhan cokelat seperti saat ini, jelasnya, pada 2020 diperkirakan dunia akan kekurangan bahan baku cokelat sebanyak satu juta ton per tahun. “Kondisi tersebut jelas akan mengancam keberlangsungan para produsen makanan berbahan baku cokelat. Oleh karena itu, program-program seperti Cocoa Life memiliki peranan yang sangat penting,” ujar perempuan yang berinteraksi secara intensif dengan petani, swasta, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan lembaga donor internasional ini menutup perbincangannya yang menarik.
Windi Listianingsih, Syatrya Utama