Biodiesel merupakan energi masa
depan, bukan hanya sekadar instrumen fiskal
Dua tahun belakangan pria ini
mulai terjun ke industri bahan bakar nabati (biofuel atau biodiesel). Sebelumnya, Togar Sitanggang, lebih
sebagai bergulat profesi di bidang trading di beberapa perusahaan dalam dan
luar negeri.
Diakuinya, berkecimpung di industri biodiesel setelah bergabung dengan PT Musim Mas pada 2012 lalu. PT Musim Mas merupakan sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan mempunyai lokasi perkebunan, serta pabrik yang tersebar di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
“Saya terjun ke industri ini karena ditugaskan perusahaan untuk mengawal perkembangan industri biodiesel. Saat ini tantangan yang dihadapi industri ini adalah soal harga,” ujar Corporate Affairs Manager PT Musim Mas inin saat ditemui AGRINA beberapa waktu lalu.
Hobi Fotografi
Di luar kesibukannya di salah satu perusahaan sawit terbesar itu, Togar menggemari fotografi. Menurut Togar, kegiatan berburu foto bisa dilakukannya di mana saja. Sedangkan obyek foto favoritnya adalah manusia. Sebagian besar karyanya dibuat dalam warna hitam putih karena dinilainya lebih ekspresif. "Saya suka foto orang karena suka ekspresinya," katanya.
Pria penyuka traveling ini mengaku telah akrab dengan kamera sejak masih di sekolah menengah pertama. Tetapi, dia baru serius menyalurkan hobinya tersebut mulai 2005 karena maraknya kamera digital sehingga lebih mudah tanpa harus repot mengganti dan memasang rol film. Selain itu, teknologi digital memudahkan para fotografer untuk memotret.
Togar pun pernah menyabet sejumlah penghargaan dari hobinya tersebut. Salah satunya, foto yang berjudul Khusyuk, meraih juara I lomba foto yang diadakan sebuah majalah pada 2006. Walaupun berhobi fotografi dan telah banyak menghasilkan karya yang dikoleksi secara pribadi, sejauh ini ia belum ingin menggelar pameran foto hasil jepretannya.
Menurutnya, teknologi foto digital saat ini sering kali tidak dimanfaatkan secara optimal oleh para fotografer karena lebih memilih foto manual. "Kalau sudah digital, buat apa pakai manual? Tapi kalau seluruhnya digital juga tidak baik," ujar Togar yang juga mengaku hobi makan.
Menurut alumnus Southern California University, Amerika Serikat, ini merek kamera bukan faktor utama dalam menghasilkan foto terbaik. Pada akhirnya, hasil jepretan ditentukan oleh keterampilan pemotretnya.
Bagi Togar, ada kepuasan tersendiri dari kegiatan memotret karena merupakan usaha untuk menangkap momen langka dan elemen keberuntungan. Dalam membidik obyeknya, seorang fotografer harus bisa menunggu suatu momen dengan penuh kesabaran. “Jika tidak, begitu perhatian teralihkan sedikit saja, momen yang ditunggu bisa datang dan dengan cepat terlewatkan,” imbuhnya.
Energi Masa Depan
Terkait industri sawit, lulusan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara ini berpendapat, secara keseluruhan sawit merupakan komoditas nasional yang sangat strategis. Karena itu perlu ada kepedulian semua pihak agar dapat melihat secara menyeluruh aspek untuk kemajuannya. “Pemerintah harus melihat biodiesel sebagai energi masa depan bukan sebagai instrumen fiskal, karena beda perlakukannya,” tegas Togar.
Menurut Togar, pemerintah harus menyadari bahwa minyak bumi di Indonesia sudah semakin berkurang. Bahkan mereka sudah memprediksi kapan minyak bumi Indonesia akan habis.
Pria yang juga menjabat Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) ini melihat biodiesel masih dilihat sebagai instrumen fiskal sehingga setiap devisa bermasalah, maka biodiesel akan diturunkan. Seperti sekarang pemerintah masih berpikiran untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), maka pemakaian biodiesel harus ditingkatkan.
Lelaki asli Simalungun, Sumatera Utara ini menegaskan, seharusnya pemerintah berpikir suatu saat nanti mobil yang ada di jalan memanfaatkan biodiesel 100% atau B100. Tidak bicara B15 atau B20, dengan B100 berarti tidak mengimpor solar, tetapi mengekspor energi. “Itu perbedaannya jika melihat biodisel energi masa depan, namun sekarang pemerintah masih melihat instrumen fiskal,” jelas pria kelahiran 1966 ini.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, kebijakan penggunaan biodiesel baru-baru ini diubah dari B10 hanya menjadi B15. Sayangnya, dengan alasan bukan supaya emisi berkurang dan memakai energi yang terbarukan, tapi karena ada pengurangan impor solar 5%. “Jika pemikiran pemerintah masih seperti itu, industri biodiesel dalam negeri tidak akan maju,” tandasnya.
Posisi sekarang misalnya, harga biodiesel Rp800 per liter, sementara solar Rp600 per liter. “Pemerintah tidak memberi subsidi Rp200 per liter untuk biodiesel karena belum menganggap penting sebagai energi masa depan,” ujarnya.
Sebenarnya, menurut Togar, kalau pemerintah atau DPR berpikiran bahwa biodiesel merupakan energi masa depan dan komoditas strategis nasional yang harus dijaga, maka harus disubsidi. Alasannya, dengan meningkatnya pemakaian biodiesel, dapat menaikkan harga kelapa sawit. Ujung–ujungnya ada sekitar 7 – 8 juta masyarakat Indonesia yang terkait dengan sawit akan lebih baik kehidupannya.
Jangan lupa, kelapa sawit ini merupakan sumber devisa kedua terbesar setelah migas. Kalau tidak dijaga, akan terjadi defisit devisa nantinya. Kontribusi sawit terhadap devisa negara cukup tinggi. Jadi, perkembangan industri sawit nasional harus didukung, bukan seperti sekarang adanya regulasi yang menghambat. Contohnya ada rancangan undang–undang pertanahan tentang pembatasan pemilikan lahan 50 ribu hektar. “Artinya tidak ada ekspansi lagi,” jelas pria yang juga Ketua Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) ini.
Perkembangan Biodiesel
Sedikit cerita perkembangan biodiesel dunia, Togar memaparkan, pada awal 1990-an sewaktu biodiesel diperkenalkan kepada publik banyak yang skeptis bahwa tidak bisa digunakan. Baru, pada 2010 - 2011 biodiesel mulai berkembang dari B5 (campuran biodiesel pada solar menjadi 5%) ke B7. Lalu, lompat lagi ke B10, B15, bahkan targetnya B20. Walaupun, memang di Amerika, Eropa, dan Jepang masih mengeluarkan rekomendasi hanya 7,5%.
Sementara Brasil dengan bioetanolnya berhasil memaksakan seluruh mesin mobil yang diimpor harus sesuai dengan campuran bioetanol. “Kita berharap regulasi pemerintah Indonesia mengarah ke sana, bahwa seluruh mesin yang akan diimpor ke Indonesia itu sesuai dengan mandatori. Jadi mesin-mesin mobil baru tahun 2016 harus bisa memakai B20,” sebutnya.
Lelaki yang juga Sekjen Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) ini menyatakan, industri biodiesel dalam negeri sudah siap bahkan sampai B20 pun mampu. Anggota Aprobi, imbuh dia, ada beberapa yang siap jalan, beberapa lainnya masih dalam tahap pembangunan. Namun, kemungkinan pembangunan tidak cepat–cepat karena masih menunggu kepastian kebijakan penggunaan biodiesel ini.
“Kalau memang benar arah kebijakan penggunaan biodiesel lebih, mungkin proyek itu akan diakselerasi sampai bisa ikut menikmati atau mengikuti program yang ada. Hitungan saya, bisa ada penambahan sampai 1 juta kilo liter lagi untuk 2016 dari tiga pabrik,” jabarnya.
Rakhmat Ramdan, Siti Farida