Dia membiarkan tangannya dijilat-jilat anak-anak sapi. Pun
saat kemeja biru seragamnya ditarik-tarik. Terlihat akrab seperti anak-anak
yang menyambut kedatangan ibunya. Ibu itu adalah Dayu Ariasintawati, perempuan yang sejak dua
tahun silam memimpin operasional salah satu industri sapi potong terbesar di Indonesia,
PT Great Giant Livestock (GGL) di Terbanggi, Lampung Tengah. Sampai sekarang tak
banyak perempuan memegang kendali perusahaan yang umumnya didominasi pria.
Sampai-sampai kolega bisnisnya dari Australia pun berkomentar, “Welcome to the
jungle”. Namun Dayu, begitu dia akrab disapa, tak gentar. Alasannya, “Background saya quality assurance dan food
safety, jadi saya kepingin banget GGL bukan menjadi pedagang sapi. Arah
kita menjadi food company, tapi
sekarang bentuknya masih berupa sapi. Kita juga akan masuk ke (bisnis) daging. Food itu ‘kan pertanggungjawabannya
tinggi karena masuk ke tubuh orang. Jadi, food
safety sangat harus diterapkan,” ungkapnya saat berbincang dengan AGRINA di
kantornya. Keamanan Pangan Tak mengherankan ketika belum lama ini terjadi kasus terkait
keamanan produk, Dayu dengan cepat menelusurinya. Alumnus Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, ini bertekad menuntaskannya. Apalagi
dia tak sedikit pun berniat menggunakan bahan-bahan berbahaya untuk mendapat
keuntungan lebih dari berbisnis sapi. Bujukan
para sebagian pelanggan (pedagang sapi) yang memintanya memanfaatkan
bahan kimia supaya karkas sapinya lebih bagus pun tak dihiraukannya. “Saya ngomong, pertanggungjawaban food itu ke Allah lho. Kalau mau ngejar duit, mau sampai berapa?
Saya mau mengatakan, kita di industri ini long
term. Kita ini ‘kan korporasi, bukan dagang yang nanti ilang. Kita membawa
nama perusahaan yang bertanggung jawab. Di
dunia ini, kita bisa melakukan dari yang kecil, dari diri sendiri, moga-moga
nanti kita bisa influence,” cetusnya bijak.
Wanita kelahiran Malang, 22 Januari 1967 ini mengungkap, dirinya
tengah mendorong praktik-praktik menuju higienitas. Itulah latar belakang grup
perusahaannya berencana masuk ke bisnis daging dengan mendirikan Rumah Potong Hewan (RPH). Namun, lanjutnya, untuk mencapai skala ekonomi, RPH
harus bisa memotong minimal 50 ekor per hari. “Kami ini sudah siap mau ‘lari’ tapi
masalahnya pemerintah tidak memberi kepastian. Kalau saya sudah membangun RPH
tapi nggak ada sapinya gimana?” tukasnya terkait izin importasi sapi bakalan
dan induk sapi yang acapkali tidak pasti.
Manajemen
Populasi Pemerintah, menurut dia, seharusnya tidak memandang feedlot (perusahaan penggemukan sapi)
sebagai tukang impor. Kalkulasi dia, 700 ribu ekor sapi bakalan yang diimpor
tahun lalu mendatangkan nilai tambah hampir Rp 2 triliun di dalam negeri. Ini baru hitungan konten lokalnya
saja. Penjelasannya, “Dari 300 kg (sapi bakalan) menjadi 450 kg (sapi siap
potong setelah digemukkan). Tambahan 150 kg itu sebenarnya meat production di lokal.” Bisnis penggemukan sapi potong, imbuh Dayu yang sangat
memperhitungkan value chain ini, juga
memberi nilai tambah dalam bentuk menyerap limbah pertanian, memproduksi pupuk
kandang untuk pertanian, membuka lapangan kerja setempat, memberi pendapatan
kepada pelaku usaha penghasil bahan baku pakan. Belum lagi masuknya investasi
di daerah yang menjadi lokasi perusahaan. Terkait bahan baku sapi lokal, Dayu
mengkritisi, pemerintah membiarkan terjadinya negative selection di
kalangan peternak rakyat. Artinya, peternak menjual ternaknya yang terbaik dan
mempertahankan yang jelek sehingga sekarang kualitas sapi lokal makin tidak
baik. Untuk memperbaiki kualitas ternak lokal, mestinya pemerintah memberi
insentif kepada pelaku usaha pembibitan, bukan malah mempersulit importasi sapi
indukan. “Kita bikin bagus lagi sapi lokal.
Kalau mau produksi daging, ya kita cari breed
yang benar-benar untuk pedaging. Misalnya, sapi brahman. Kenapa brahman? Dia
tahan panas, ADG (pertambahan bobot badan hariannya) bagus. Kalau petani ingin dapat untung, ya
cari yang pertumbuhannya cepet. Skala usahanya ditingkatkan,” usul wanita ramah
yang tengah merintis desa ternak sapi ini. Lebih dari itu, pemerintah dan pelaku
usaha juga harus menerapkan manajemen yang baik agar tidak terjadi perkawinan
sedarah (inbreeding) dan mengusahakan
hitungan yang akurat terhadap populasi sapi dengan Sistem RFID (Radio Frequency
Identification). Dengan RFID, sapi bisa dihitung secara akurat tanpa kekuatiran
terjadi penghitungan ganda dan dapat ditelusuri keberadaannya. “RFID murah kok.
Cari saja yang buatan China, hanya sekitar US$2,5/buah. Daripada sensus terus
‘kan mahal,” tandas pengelola feedlot berkapasitas
100 ribu ekor/tahun ini. Mengakomodasi
Idealisme Dayu masih percaya, Indonesia ini
negara besar dan butuh orang-orang muda untuk membangun agribisnisnya. Karena
itu, dia merekrut banyak anak muda dari berbagai lulusan terutama di Lampung untuk
kelak menjalankan bisnis daging. “Terus terang saya pilih yang satu
visi dengan saya. Tidak hanya semata kerja dan mendapat uang. Kenapa? Saya
menggelitik idealisme mereka. Saya mau apa yang menjadi idealisme itu kita
wujudkan karena saya pastikan, kalau benar-benar tekun, kalian akan
menyelesaikan 10 skripsi dalam dua tahun. Dan skripsi yang bertanggung jawab.
Skripsi yang ada hitungannya. Skripsi yang benar-benar dieksekusi. Saya pengin
memberi waktu untuk kalian mendapat pelajaran hidup,” urainya menirukan arahan
kepada para staf muda di GGL. Ketika ditanya tentang caranya
memenangkan respek dari 400 orang staf, apalagi yang pria, dengan bersahaja
Dayu menjawab, “Saya percaya bahwa respek itu tidak bisa dibuat tapi hanya bisa
didapatkan, dan semua itu tergantung apa yang kita lakukan. Saya ingin menjadi
teman mereka untuk tumbuh. Berbagi mimpi besar dengan mereka tetapi dari
langkah sederhana bersama tim. Saya berusaha mengakomodasi agar mereka mengeluarkan
their best value untuk mewujudkan
mimpi bersama, baik sebagai pribadi maupun komunitas dan bangsa. Insya Allah,
saya mulai seirama dalam langkah dan semangat tersebut,” tutup wanita yang kenyang
dengan berbagai pelatihan di dalam dan luar negeri ini. Selamat membangun industri sapi dan generasi muda
bermutu, Ibu Dayu!
Peni Sari Palupi
Biodata
Nama lengkap :
Dayu Ariasintawati
Tempat & tanggal lahir :
Malang, 22 Januari 1967
Pendidikan terakhir :
S1, Teknologi Pangan, Universitas Brawijaya, Malang
Karir
Februari 2013 –
sekarang: Direktur Operasional PT Great Giant Livestock Juni 2012 –
Januari 2013: Direktur Komersial untuk Bisnis Non-Nenas (buah segar, peternakan
sapi, tapioka) Gunung Sewu Agri Group Agustus 2002 –
Mei 2012: PT DuPont Agricultural Product Indonesia Agustus 1993 –
Agustus 2002: Staf Produksi sampai Asisten Manajer Pemasaran PT Great Giant
Pineapple