Senin, 3 Agustus 2015

Dayu Ariasintawati “Cow Girl” dari Terbanggi

Dia membiarkan tangannya dijilat-jilat anak-anak sapi. Pun saat kemeja biru seragamnya ditarik-tarik. Terlihat akrab seperti anak-anak yang menyambut kedatangan ibunya.

 

Ibu itu adalah Dayu Ariasintawati, perempuan yang sejak dua tahun silam memimpin operasional salah satu industri sapi potong terbesar di Indonesia, PT Great Giant Livestock (GGL) di Terbanggi, Lampung Tengah. Sampai sekarang tak banyak perempuan memegang kendali perusahaan yang umumnya didominasi pria. Sampai-sampai kolega bisnisnya dari Australia pun berkomentar, “Welcome to the jungle”.

Namun Dayu, begitu dia akrab disapa, tak gentar. Alasannya, “Background saya quality assurance dan food safety, jadi saya kepingin banget GGL bukan menjadi pedagang sapi. Arah kita menjadi food company, tapi sekarang bentuknya masih berupa sapi. Kita juga akan masuk ke (bisnis) daging. Food itu ‘kan pertanggungjawabannya tinggi karena masuk ke tubuh orang. Jadi, food safety sangat harus diterapkan,” ungkapnya saat berbincang dengan AGRINA di kantornya.

 

Keamanan Pangan

Tak mengherankan ketika belum lama ini terjadi kasus terkait keamanan produk, Dayu dengan cepat menelusurinya. Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, ini bertekad menuntaskannya. Apalagi dia tak sedikit pun berniat menggunakan bahan-bahan berbahaya untuk mendapat keuntungan lebih dari berbisnis sapi. Bujukan  para sebagian pelanggan (pedagang sapi) yang memintanya memanfaatkan bahan kimia supaya karkas sapinya lebih bagus pun tak dihiraukannya.

“Saya ngomong, pertanggungjawaban food itu ke Allah lho. Kalau mau ngejar duit, mau sampai berapa? Saya mau mengatakan, kita di industri ini long term. Kita ini ‘kan korporasi, bukan dagang yang nanti ilang. Kita membawa nama perusahaan yang bertanggung jawab.  Di dunia ini, kita bisa melakukan dari yang kecil, dari diri sendiri, moga-moga nanti kita bisa influence,” cetusnya bijak.

Wanita kelahiran Malang, 22 Januari 1967 ini mengungkap, dirinya tengah mendorong praktik-praktik menuju higienitas. Itulah latar belakang grup perusahaannya berencana masuk ke bisnis daging dengan mendirikan Rumah Potong Hewan (RPH).

Namun, lanjutnya, untuk mencapai skala ekonomi, RPH harus bisa memotong minimal 50 ekor per hari.  “Kami ini sudah siap mau ‘lari’ tapi masalahnya pemerintah tidak memberi kepastian. Kalau saya sudah membangun RPH tapi nggak ada sapinya gimana?” tukasnya terkait izin importasi sapi bakalan dan induk sapi yang acapkali tidak pasti.  

 

Manajemen Populasi

Pemerintah, menurut dia, seharusnya tidak memandang feedlot (perusahaan penggemukan sapi) sebagai tukang impor. Kalkulasi dia, 700 ribu ekor sapi bakalan yang diimpor tahun lalu mendatangkan nilai tambah hampir Rp 2 triliun di dalam negeri. Ini baru hitungan konten lokalnya saja. Penjelasannya, “Dari 300 kg (sapi bakalan) menjadi 450 kg (sapi siap potong setelah digemukkan). Tambahan 150 kg itu sebenarnya meat production di lokal.”

Bisnis penggemukan sapi potong, imbuh Dayu yang sangat memperhitungkan value chain ini, juga memberi nilai tambah dalam bentuk menyerap limbah pertanian, memproduksi pupuk kandang untuk pertanian, membuka lapangan kerja setempat, memberi pendapatan kepada pelaku usaha penghasil bahan baku pakan. Belum lagi masuknya investasi di daerah yang menjadi lokasi perusahaan.  

Terkait bahan baku sapi lokal, Dayu mengkritisi, pemerintah membiarkan terjadinya negative selection  di kalangan peternak rakyat. Artinya, peternak menjual ternaknya yang terbaik dan mempertahankan yang jelek sehingga sekarang kualitas sapi lokal makin tidak baik. Untuk memperbaiki kualitas ternak lokal, mestinya pemerintah memberi insentif kepada pelaku usaha pembibitan, bukan malah mempersulit importasi sapi indukan.

“Kita bikin bagus lagi sapi lokal. Kalau mau produksi daging, ya kita cari breed yang benar-benar untuk pedaging. Misalnya, sapi brahman. Kenapa brahman? Dia tahan panas, ADG (pertambahan bobot badan hariannya) bagus. Kalau petani ingin dapat untung, ya cari yang pertumbuhannya cepet. Skala usahanya ditingkatkan,” usul wanita ramah yang tengah merintis desa ternak sapi ini.

Lebih dari itu, pemerintah dan pelaku usaha juga harus menerapkan manajemen yang baik agar tidak terjadi perkawinan sedarah (inbreeding) dan mengusahakan hitungan yang akurat terhadap populasi sapi dengan Sistem RFID (Radio Frequency Identification). Dengan RFID, sapi bisa dihitung secara akurat tanpa kekuatiran terjadi penghitungan ganda dan dapat ditelusuri keberadaannya. “RFID murah kok. Cari saja yang buatan China, hanya sekitar US$2,5/buah. Daripada sensus terus ‘kan mahal,” tandas pengelola feedlot berkapasitas 100 ribu ekor/tahun ini.

 

Mengakomodasi Idealisme

Dayu masih percaya, Indonesia ini negara besar dan butuh orang-orang muda untuk membangun agribisnisnya. Karena itu, dia merekrut banyak anak muda dari berbagai lulusan terutama di Lampung untuk kelak menjalankan bisnis daging.

“Terus terang saya pilih yang satu visi dengan saya. Tidak hanya semata kerja dan mendapat uang. Kenapa? Saya menggelitik idealisme mereka. Saya mau apa yang menjadi idealisme itu kita wujudkan karena saya pastikan, kalau benar-benar tekun, kalian akan menyelesaikan 10 skripsi dalam dua tahun. Dan skripsi yang bertanggung jawab. Skripsi yang ada hitungannya. Skripsi yang benar-benar dieksekusi. Saya pengin memberi waktu untuk kalian mendapat pelajaran hidup,” urainya menirukan arahan kepada para staf muda di GGL.

Ketika ditanya tentang caranya memenangkan respek dari 400 orang staf, apalagi yang pria, dengan bersahaja Dayu menjawab, “Saya percaya bahwa respek itu tidak bisa dibuat tapi hanya bisa didapatkan, dan semua itu tergantung apa yang kita lakukan. Saya ingin menjadi teman mereka untuk tumbuh. Berbagi mimpi besar dengan mereka tetapi dari langkah sederhana bersama tim. Saya berusaha mengakomodasi agar mereka mengeluarkan their best value untuk mewujudkan mimpi bersama, baik sebagai pribadi maupun komunitas dan bangsa. Insya Allah, saya mulai seirama dalam langkah dan semangat tersebut,” tutup wanita yang kenyang dengan berbagai pelatihan di dalam dan luar negeri ini.  Selamat membangun industri sapi dan generasi muda bermutu, Ibu Dayu!

Peni Sari Palupi





Biodata


Nama lengkap                         : Dayu Ariasintawati


Tempat & tanggal lahir           : Malang, 22 Januari 1967


Pendidikan terakhir                  : S1, Teknologi Pangan, Universitas Brawijaya, Malang


Karir


  1. Februari 2013 – sekarang: Direktur Operasional PT Great Giant Livestock

  2. Juni 2012 – Januari 2013: Direktur Komersial untuk Bisnis Non-Nenas (buah segar, peternakan sapi, tapioka) Gunung Sewu Agri Group

  3. Agustus 2002 – Mei 2012: PT DuPont Agricultural Product Indonesia

  4. Agustus 1993 – Agustus 2002: Staf Produksi sampai Asisten Manajer Pemasaran PT Great Giant Pineapple




 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain