Menyelamatkan generasi muda bisa dimulai sejak dini secara efektif menggunakan kearifan lokal tanaman torbangun.
Pancaran semangat itu seperti menular ketika kita berbincang dengan Prof. Dr. Drh. Muhammad Rizal Martua Damanik, MRepSc. Optimisme Guru Besar Tetap bidang Ilmu Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB itu begitu tinggi guna meningkatkan kecerdasan generasi penerus bangsa melalui kearifan lokal tanaman torbangun.
Istilah torbangun sendiri mungkin cukup asing di pendengaran sebagian besar penduduk Indonesia. Wajar saja, lantaran torbangun merupakan nama yang disematkan warga Batak Simalungun, Sumut untuk tanaman semak bernama ilmiah Coleus amboinicus. Dan warga Batak juga satu-satunya penduduk dunia yang memanfaatkan khasiat torbangun untuk laktasi.
Torbangun Kearifan Lokal
Menurut Rizal, wanita Batak, khususnya ibu yang baru melahirkan memiliki tradisi mengonsumsi daun torbangun yang diolah menjadi sayur selama 30 hari. Tujuannya, memperlancar keluarnya air susu ibu (ASI). “Dimakan jadi sayur, produksi air susunya meningkat. Ini tradisi orang Batak tapi belum ada bukti ilmiahnya,” ungkapnya kala berbincang dengan AGRINA di Bogor, Jabar, Jumat (6/3).
Pria keturunan Batak kelahiran Bogor ini memiliki keinginan meneliti dan membuktikan budaya leluhur yang terus dilakoni hingga kini. Seiring dengan pengajuan proposal penelitian kelanjutan studi program pascasarjana pada 2000, pria kelahiran 31 Juli 1964 ini pun berupaya meyakinkan supervisornya agar menyetujui riset manfaat torbangun untuk laktasi yang sarat kearifan lokal itu. “Ini kesempatan buat saya mempromosikan torbangun,” ujar ayah Nabila Aisyah Ramadhina Damanik ini.
Pasalnya, torbangun yang ada di seluruh dunia ini hanya warga Batak yang memanfaatkannya untuk laktasi. “Vietnam makan ini untuk batuk. India makan ini kalau dipatok ular,” ungkapnya. Riset ilmiah berbasis budaya asli Indonesia dan satu-satunya di dunia itu pun mendapat lampu hijau. Mulailah Rizal meneliti khasiat torbangun untuk laktasi bersanding dengan Fenugreek, kapsul untuk ibu menyusui (busui) di Amerika dan Eropa, serta Moloco+B12TM, tablet yang dikonsumsi busui di Indonesia.
“Pikiran saya, apapun hasilnya meski yang luar negeri menang, torbangun namanya akan terangkat. Jadi dari awal sudah didesain, saya ingin mengangkat harkat derajat tanaman semak,” tandas doktor bidang Human Nutrition, Faculty of Medicine, Monash University, Australia itu.
Menggegerkan Dunia
Lantas Rizal melakukan studi etnobotani dengan mewawancarai warga Batak tentang konsumsi torbangun. Yaitu, kapan mulai makan, adakah efek samping, cara masaknya, seberapa banyak porsi torbangun yang disantap selepas melahirkan. Selanjutnya, penelitian yang melibatkan 69 ibu melahirkan ini dilakukan di Simalungun, tempat tradisi itu berasal dan mengakar kuat.
Untuk mendapatkan hasil dari 69 busui ini Rizal harus melibatkan 125 busui. “Kalau ingat waktu itu seperti kiamat. Kamu pikir gampang mencari 23 ibu menyusui?” kenang putra pasangan H. Alexius Damanik, SH dan Hj. Nur Ahat Sinaga ini.
Setiap hari Rizal berkeliling daerah-daerah di Simalungun mendatangi ibu yang melahirkan untuk diberi torbangun dan mengambil sampel darah dan susu sebanyak 4 kali. Ia pun harus “memelihara” busui itu selama 3 bulan untuk mengetahui khasiat dan efek samping mengonsumsi torbangun. “Menjaga tiga bulan itu nggak gampang. Satu bulan pertama masih baik, sudahnya mulai malas-malas. Kalau nggak mau saya ambil darahnya, data saya selama satu bulan hangus. Saya ‘kan mau lihat bulan kedua-ketiga masih tinggi apa nggak (kandungan ASI),” cerita suami dra. Fitriana Saryanti, Apt. ini.
Setelah berjalan selama tiga bulan dan dilakukan pengecekan laboratorium, penelitian yang Rizal kembangkan memberikan hasil menakjubkan. Busui yang mengonsumsi torbangun selama sebulan sebesar 150 g/hari menghasilkan ASI lebih banyak dengan komposisi lebih baik dan dalam kurun tiga bulan masih tinggi kadarnya. Sedangkan busui yang mengonsumsi Fenugreek dan Moloco+B12TM selama sebulan, kadar ASI-nya menurun pada bulan kedua dan ketiga. Selain itu, imunologi busui pengonsumsi torbangun lebih baik dan angka kesakitan bayinya rendah. Hasil penelitian ini pun dipublikasikan pada Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition pada 2006.
Hasil penelitian torbangun menggegerkan dunia kesehatan. Rizal kerap diundang ke seminar ilmiah untuk menjelaskan torbangun. Penelitian torbangun ini juga masuk dalam tulisan khusus di salah satu bab Handbook of Dietary and Nutrition Aspects of Human Breast Milk yang diterbitkan oleh Wageningen Academi Publisher, The Netherlands pada 2013. Hingga kini, peraih penghargaan Peduli Gizi dari Pergizi Pangan pada 2013 ini juga menggali lebih dalam manfaat torbangun untuk laktasi peternakan dan kesehatan manusia, seperti mengatasi premenstrual syndrome (PMS), kolesterol tinggi, dan antibakteri.
Pengembangan Hilir
Tidak berhenti hanya menyingkap khasiat torbangun, Rizal juga meramu berbagai menu untuk menarik minat masyarakat mengonsumsi torbangun. Sebab, tanaman yang juga disebut bangun-bangun (Batak Toba), daun pladang (Palembang, Sumsel), daun kambing (Madura, Jatim), country borage (Eropa), oregano (Filipina) atau daun ati-ati (Malaysia), berasa agak getir jika dikonsumsi langsung dalam bentuk segar.
Mengikuti selera pasar yang menginginkan serba cepat dan praktis, Dosen Berprestasi Nasional Tahun 2010 ini sudah mengolah torbangun menjadi minuman jus, sayuran dalam kaleng siap seduh, risol, somay, cokelat, hingga sereal torbangun untuk sarapan pagi. “Kalau Indonesia serius, pembangunan SDM (sumber daya manusia) sudah dimulai sejak dalam kandungan dan bayi,” tukasnya. Banyak hubungan penyakit degeneratif, seperti hipertensi, jantung, stroke berkolerasi dengan ASI. “Kalau tidak disusui secara eksklusif, ujung-ujungnya umur 60 tahun sakit degeneratif. Itu data. Studi saya tadi sudah membuktikan, tiga bulan pertama angka kesakitan bayi berkurang,” imbuh perintis peneliti torbangun ini.
Peraih Danone Publication Awards tahun 2008 ini juga berharap pemerintah bergerak cepat menganjurkan penanaman torbangun sebagai tanaman pekarangan karena rendahnya angka asi ekslusif Indonesia. Mengutip data World Breastfeeding Trends Initiative 2012, Indonesia menempati urutan ke 49 dari 51 negara dengan cakupan ASI ekslusif rendah. “Jangan ada keraguan makan ini. Sudah dibuktikan secara ilmiah dan diakui secara internasional,” ungkapnya meyakinkan.
Windi Listianingsih