Pencapaian swasembada gula menghadapi tantangan makin menyempitnya lahan pertanian tebu dan meluasnya lahan kering.
Penyempitan lahan pertanaman tebu terutama disebabkan oleh alih fungsi menjadi kawasan industri dan permukiman. Alih fungsi ini mengakibatkan pergeseran pengembangan budidaya tebu ke lahan kering atau tegalan. Di samping itu, perubahan iklim juga memperluas wilayah yang minim air.
Saat lahan tebu semakin terbatas, peningkatan produktivitas tebu secara kuantitas dan kualitas tetap harus dilakukan karena kebutuhan gula terus meningkat. Jadi, diperlukan varietas tebu menghasilkan panen lebih banyak dan rendemennya pun lebih tinggi. "Kondisi tersebut membuat pengembangan bioteknologi tebu menjadi sebuah solusi,” ungkap Prof. Dr. Bambang Sugiharto.
Ilmuwan biologi molekuler dari Universitas Jember ini bersama timnya bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI dan Ajinomoto berhasil merakit varietas tebu dengan rekayasa genetik. Produk Rekayasa Genetik (PRG) bernama NXI-4T tersebut toleran terhadap kekeringan. Varietas tebu transgenik, begitu biasa orang mengistilahkan, itu sudah mengantongi sertifikasi keamanan lingkungan dan hayati dari Kementerian Lingkungan Hidup dan sertifikasi keamanan pangan oleh European Food Safety Authority (EPSA)). Selain EFSA, sertifikasi aman pangan juga telah didapat dari Badan POM.
Pertama di Dunia
Varietas tebu transgenik ini merupakan penemuan pertama di dunia yang dihasilkan Indonesia. Penelitian panjang Bambang bersama timnya tersebut membuahkan generasi pertama tebu tahan kekeringan. “Jika tidak ada halangan, rencananya tebu PRG toleran kekeringan ini akan dirilis tahun ini,” harapnya.
Tentu, tambah Bambang, rilis produk PRG bisa dilakukan setelah melalui berbagai macam tahapan penelitian, seperti kestabilan ekspresi genetik beberapa generasi, potensi hasil, keamanan hayati, keamanan potensi alergen dan sebagainya. “Beberapa tahapan lagi sudah selesai, semoga lancar dan tidak ada halangan lagi,” ungkapnya.
Tebu PRG ini, menurutnya, adalah tebu yang mempunyai kualitas sangat baik ketimbang tebu biasanya karena dapat bertahan pada cuaca tropis atau di daerah yang bermusim kemarau lebih panjang. Walhasil, penanamannya bisa meningkatkan pendapatan petani sebanyak 20%-30%. “Penemuan tebu transgenik yang toleran terhadap kekeringan ini bisa menjadi kunci pemerintah dalam memenuhi kebutuhan gula dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani,” tandas dosen Fakultas MIPA Universitas Jember, Jatim ini.
Pada lahan yang kurang air atau lahan yang tidak memiliki pengairan bagus, tanaman tebu ini masih bisa bertahan hidup dan mampu mempertahankan produktivitasnya. Dengan demikian, penanamannya dalam skala luas bisa mendongkrak produktivitas tebu nasional yang masih di kisaran 5,25 ton gula/hektar.
Tebu PRG tersebut telah teruji mampu beradaptasi pada tanah yang kekurangan air atau daerah kering. Di samping itu, jumlah gula yang dihasilkannya pun lebih banyak. Inilah yang menarik minat peneliti asing seperti dari perusahaan Jepang dan Brasil. Mereka datang berkunjung untuk melihat hasil di lahan uji coba. “Mereka serius ingin tahu mengenai tebu tersebut dengan mendatangi PTPN XI untuk melihat dari dekat tentang tebu PRG ini,” ungkap Bambang.
Menurut Sarjana Mikrobiologi dari Universitas Jember lulusan 1981 ini, peminat tebu PRG tersebut dari perusahaan pengimpor tebu dan perusahaan yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai tebu PRG yang dikembangkan oleh Centre for Development of Advanced Science and Technology (CDAST) Universitas Jember. “Kita juga melakukan pemantauan. Ini dilakukan untuk memastikan keamanan tebu PRG, apakah sudah sesuai dengan standar pemerintah Jepang,” jelas Ketua CDSAT ini.
Masih Banyak Kontroversi
Bambang memaklumi masih banyak kontroversi dan resistensi masyarakat di Indonesia terhadap PRG. “Kalau kita bicara masalah aman tidak aman dan pengaruhnya pada kehidupan manusia, kita ini sebenarnya sudah mengonsumsi pangan dari hasil transgenik. Kedelai dan jagung yang kita impor tersebut dari tanaman transgenik di Amerika dan Brasil,” jelas penyuka buku-buku bergenre ilmu pengetahuan ini.
Apalagi, menurut profesor bidang biokimia dan bioteknologi tanaman ini, tebu tersebut tidak dikonsumsi secara langsung melainkan diolah lebih dulu menjadi gula. Jadi, pihaknya harus bisa meyakinkan bahwa produk transgenik tidak jelek. "Rekayasa bioteknologi tersebut untuk menemukan produk yang aman bagi kehidupan manusia dan harus dilakukan guna menghadapi kebutuhan dan perkembangan di banyak aspek kehidupan," ungkap Konsultan Biotek PTPN XI ini.
Hasil uji lapangan di beberapa lokasi menunjukkan, tebu PRG tidak hanya tahan kering atau minim air, tapi juga menghasilkan produktivitas dan rendemen tinggi. Hasil uji coba terakhir di daerah Rejosari, Kabupaten Madiun, menghasilkan tebu sebanyak 12,3 ton/ha dengan rendemen 7,54%. “Hasil uji yang lainnya tidak ada dampak tebu PRG toleran kekeringan ini terhadap kesehatan manusia dan lingkungan,” lanjutnya.
Gali Informasi dengan Benar
PRG kerap dituding menciptakan ketidakseimbangan alam karena perubahan gen yang dibuatnya atau membuat individu baru. Bambang menanggapi enteng saja tudingan itu. Semua bentuk teknologi yang diciptakan dan dimanfaatkan manusia pasti menimbulkan dampak. “Teknologi industri kimia, mesin, teknologi nuklir yang dikembangkan juga telah berdampak pada alam,” alasan pemegang gelar master dari Nagoya University, Jepang, pada 1989
Hal itu menurutnya wajar saja karena sesuai prinsip hukum ekologi, suatu hal yang baru bila dimasukkan ke suatu lingkungan ekologi yang sudah stabil, akan membentuk suatu keseimbangan baru. “Saya yakin manusia hanya dikasih sedikit ilmu oleh Allah. Untuk itu, sebagai ilmuwan tidak boleh sombong, bahwa di luar apa yang dipahami masih terdapat berjuta-juta ilmu yang masih belum diketahui,” lanjut bapak ia yang selalu menyematkan kata bijak, tidak ada bidang yang susah asal kita mempunyai kemauan untuk belajar insya Allah akan ada hasilnya.
Bambang menyarankan masyarakat untuk menggali sebanyak-banyaknya tentang informasi bioteknologi khususnya PRG dari sumber yang terpercaya dan bertanggungjawab. “Saya ‘kan peneliti harus bertanggungjawab terhadap dunia sains dan harus memiliki tujuan yang baik karena saya akan berbicara berdasarkan fakta dan data dari penelitian tersebut,” pungkas peraih gelar Ph.D Molecular Plant Physiology dari Nagoya University pada 1992.
Tri Mardi Rasa