Negeri agraris membutuhkan anak-anak muda untuk mengembangkan sektor pertanian.
Melimpahnya sumber daya lokal yang dimiliki Indonesia masih banyak yang belum termanfaatkan maksimal. Begitu pun dengan usaha di sektor pertanian yang harus terus dikembangkan.
Indonesia butuh wirausahawan muda yang piawai mengembangkan bisnis pertanian. “Kita belum mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam yang ada secara baik. Inilah yang menjadi tugas generasi muda untuk menyelesaikannya,” ungkap Direktur IndoBIC, Prof. Dr. Drh Bambang Purwantara M. Sc.
Ironis! Negeri berjuluk agraris masih harus menyumbangkan devisa cukup besar ke negara lain untuk mendatangkan bahan pangan yang sebenarnya bisa dihasilkan sendiri. Apalagi, sebagai negara kaya sumber daya alam dan jumlah penduduk yang besar di Asia Tenggara malah menjadikan Indonesia sebagai konsumen sebagian pangan pokok. “Harusnya tidak hanya menjadi konsumen tapi bisa menjadi produsen produk pangan tropika,” kata Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan ini.
Bambang prihatin akan kurangnya dukungan mendorong anak-anak muda mengembangkan pertanian di Tanah Air. “Saat ini banyak generasi muda yang masih berpikir pertanian tidak keren, tidak mampu memberikan penghasilan layak di masa mendatang, dan menjadi profesi yang kurang bergengsi,” kata Mantan Direktur Seameo Biotrop ini. Dengan sumber daya lokal yang melimpah dan masih belum termanfaatkan, tentu butuh anak muda untuk mengelolanya.
Pria yang akrab disapa Mas Pung ini berharap semangat mengejar swasembada jangan sampai membuat petani justru tidak sejahtera. Sebab, akan makin menjauhkan generasi penerus untuk terjun ke bidang agribisnis.
Menjawab Masa Depan
Menghadapi tantangan pertanian yang makin besar, butuh penyelesaian holistik. Peran teknologi dan inovasi untuk meningkatkan produksi sangat mendesak, apalagi menyangkut kebutuhan pangan yang makin besar. Tentu penerapannya juga harus bisa memberi keuntungan bagi petani.
Satu diantaranya dengan penggunaan benih unggul yang mampu menghasilkan produk melimpah dan bermutu sesuai permintaan pasar. “Teknologi perbenihan faktor penting dalam pertanian,” kata Pria asli Brebes yang menjadi Ketua Umum Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia ini.
Saat ini, tambah Mas Pung, yang sering dibicarakan adalah inovasi teknologi benih hasil rekayasa genetik atau bioteknologi. “Pemerintah harus memiliki sikap tegas pada pengembangan produk pangan yang berbasis bioteknologi. Sebab, di masa mendatang produk bioteknologi bisa menjawab krisis pangan akibat ledakan jumlah penduduk,” jelas pria kelahiran 6 oktober 1959 yang menjadi Anggota Komisi Keamanan Hayari Produk Rekayasa Genetika ini.
Memang, tambah suami Dr. Drh. Anita Esfandiari, MS, tanaman biotek bukan satu-satunya yang bisa menjawab kebutuhan tersebut. Tapi setidaknya bisa menjadi jalan keluar bagi kehilangan produksi akibat cekaman biologis dan lingkungan sehingga produktivitasnya bisa maksimal. “Tanaman biotek bisa jadi pilihan sebab memiliki keunggulan yang bisa beradaptasi sesuai kondisi lahan, serangan hama dan penyakit yang tidak bisa lagi dihadapi dengan cara konvensional,” jelas anak pasangan Soewardi Wirjaatmadja dan Siti Roekajah itu.
Efisien, Efektif dan Tepat
Mas Pung mengatakan, tidak hanya tanaman, ternak Indonesia juga memiliki keunggulan spesifik yang butuh penanganan baik agar bisa mewujudkan tuntutan bangsa dan program pemerintah memenuhi kebutuhan daging, khususnya daging sapi dalam negeri.
Keberadaan sapi lokal pun perlu dilestarikan supaya tidak terkuras karena pemotongan sapi betina produktif dan mengalami penurunan genetik akibat inbreed atau faktor-faktor lain. “Butuh waktu dan biaya besar agar sapi lokal tetap memiliki performa dan keunggulan khusus,” jelas alumni Royal Veterinary an Agricultural University, Kopenhagen, Denmark ini.
Pemerintah, sarannya, bisa membuat regulasi terkait peningkatkan populasi sapi dalam negeri. Yaitu, dengan mewajibkan importir daging dan sapi bakalan untuk mengimpor pula sapi betina produktif. “Sekitar lima belas tahun lalu ketika Dr. Suhadji menjadi Dirjen Peternakan, pernah ada aturan tentang kewajiban importir daging dan sapi jantan bakalan untuk menyertakan 8% sapi betina subur. Hal ini akan menambah populasi sapi betina di Indonesia” urai ayah Ika Prafitiriandini dan Dwidania Widyantari ini.
Tentunya regulasi harus saling menguntungkan, tidak menjadi beban berlebih, dan merugikan importir. Ini bentuk gotong-royong membangun negara untuk mempertahakan dan menambah populasi sapi.
Ia menyoroti program baru pemerintah mengenai sinkronisasi birahi satu juta ekor sapi betina dan inseminasi buatan. Tujuannya bagus, ujar Ahli bidang bioteknologi reproduksi hewan dan Ketua Umum Asosiasi Reproduksi Hewan Indonesia (ARHI) ini, tapi perlu penyesuaian dan revisi sesuai kelayakan teknis di lapang. “Program lama di masa pemerintah Orde Baru yang masih relevan dilaksanakan kembali yaitu Gerakan Pemberantasan Kemajiran” tuturnya.
Program tersebut melibatkan akademisi, peneliti, petugas dinas peternakan dan koperasi, termasuk paramedis dan inseminator lokal untuk menangani sapi kurang subur atau sulit bunting (infertil) menjadi bunting dan beranak. Dengan Gerakan Pemberantasan Kemajiran, sapi betina yang bermasalah bisa ditangani sesuai.
Menurut Mas Pung, program ini juga melibatkan banyak mahasiswa dan lulusan baru dari fakultas kedokteran hewan. “Pada 1985-an, saya keliling dari desa ke desa selama satu bulan di Jawa Timur untuk membantu program pemberantasan kemajiran ini,” cerita Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB ini .
Saat itu mahasiswa, dosen, dan para dokter hewan yang diterjunkan saling bahu-membahu melakukan pemeriksaan sapi yang ada. “Cara ini secara efisien dapat menghemat biaya. Para mahasiswa juga bisa belajar menangani kasus reproduksi di lapang,” katanya.
Progam tersebut terbukti bisa meningkatkan polupasi sapi di Jawa Timur cukup signifikan. “Kita perlu menghidupkan lagi program lama yang terbukti efektif dan efisien,” tegas Mas Pung.
Tri Mardi Rasa