Keseimbangan pasokan dan permintaan bibit unggas ras sangat menentukan kondisi rantai bisnis di belakangnya.
Krusialnya perhitungan pasokan dan permintaan bibit unggas ras, khususnya pedaging (broiler), amat terasa sepanjang tahun lalu. Memang tidak mudah menghitungnya terutama terkait permintaan. Pun bagi Chandra Gunawan, Sekjen Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU). Kalau soal jumlah produksi bibit ayam yang nantinya dipelihara peternak atau biasa disebut Final Stock (FS) masih bisa dihitung dengan mengkalkulasi jumlah bibit nenek (Grand Parent Stock-GPS) yang masuk Indonesia karena pasokannya 100% impor.
Hitungan Produksi Bibit
Hitung-hitungan itu memang tidak mudah dipahami kalangan pebisnis unggas yang tidak paham tentang pembibitan. Apalagi orang awam, termasuk birokrat yang tidak menguasai masalah ini. Karena itu sejak menjabat Sekjen GPPU, Chandra berupaya membumikan ilmu breeding (pembibitan) ke semua asosiasi terkait agar semua tahu konsekuensinya. Seperti ketika mengadakan rapat dengan pemangku kepentingan lain dalam industri ayam unggas, pabrikan pakan, obat-obatan hewan, dan peternak.
“Kesulitan kita adalah menyamakan persepsi parameter. Selama ini dan sampai 2014 teman-teman GPPU menghitung satu seekor GPS menghasilkan 40 ekor Parent Stock (PS) dan dari satu ekor PS didapat 130 ekor FS. Mereka juga memperhitungkan deplesi (kematian) selama pemeliharaan sebanyak 10%,” papar alumnus Fakultas Peternakan, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto ini.
Ia memberi contoh pemasukan GPS 1.000 ekor ke kandang pemeliharaan. Selama pemeliharaan mati 10% berarti tinggal 900 ekor. Jadi, kita menghitung produksi PS-nya adalah 900 ekor x 40 ekor menjadi 36.000 ekor. Untuk mendapatkan produksi FS atau peternak menyebutnya DOC kependekan dari day-old chick alias anak ayam umur sehari, jumlah PS ini dikurangi dulu 10% baru dikalikan 130 ekor. Ketemulah produksi FS sebanyak 4,212 juta ekor. “Ini parameter yang berlaku sampai 2014,” tandas pria yang sehari-hari berkarir di PT Charoen Pokphand Indonesia tersebut.
Hitungan itu, lanjut dia, wajar karena selama ini jumlah bibit yang layak jual (salable chick) dihitung dari produksi hen house sejak unggas berumur 25 minggu. “Wajar dong dari mulai telur sampai umur 25 minggu ada yang mati,” alasannya.
Hitungan selanjutnya sampai ke karkas adalah jumlah FS tadi dikurangi kematian 7% dikalikan lagi 1,6 kg/ekor bobot hidup. Kemudian dikalikan nilai konversi dari unggas hidup ke karkas sebanyak 65%. Nilai karkas dibagi jumlah penduduk, ketemulah angka konsumsi per kapita.
Berubah Parameter
Belakangan ini, orang menganggap parameter tersebut tidak pas lagi. Berkembanglah dua pandangan, yaitu satu GP menghasilkan 40 PS, satu PS menghasilkan 135 PS, tetap dengan deplesi 10%. Yang lainnya, satu GP menghasilkan 40 PS dan satu PS menghasilkan 130 FS tanpa deplesi.
Pandangan terakhir tersebut cukup mengkhawatirkan bagi pria yang berpengalaman sebagai pemasar PS ini. “Kekhawatiran saya begini. Memang kalau kita hitung dengan parameter yang terlalu rendah, maka jumlah GP akan terlalu banyak. Sebaliknya kalau kita menghitung terlalu tinggi, jumlah GP yang dibutuhkan sedikit sehingga pemerintah melakukan pembatasan impor GP. Nah, kalau dilakukan pembatasan dan realisasi produksinya (FS) lebih rendah, ini akan terjadi kekurangan. Itulah yang katakan bahaya,” ulas Ketua Tim Ad Hoc Supply & Demand DOC yang merangkul sejumlah pemangku kepentingan ini.
Situasi setahun belakangan ini, menurut analisis Chandra, terjadi lantaran terlalu banyak suplai GP meskipun sebenarnya penetasan GP dilakukan berdasarkan order. Pengamatan dia, pada 2010 pemerintah membatasi impor GP hanya 400 ribuan ekor dengan asumsi jumlah itu mencukupi kebutuhan pemelihara PS. Saat itu harga unggas hidup cukup baik sehingga permintaan FS juga naik. Walhasil, pelaku minta pemerintah menggelontorkan impor PS untuk memproduksi FS. “Barangkali kalau impor PS tidak dibuka, harga FS bisa sampai Rp10 ribu/ekor,” kenangnya.
Sepanjang 2011 itu harga PS harga luar biasa bagus. Demikian pula pada 2012 harga relatif stabil dibandingkan FS. Tak mengherankan bila pelaku usaha melakukan ekspansi di level GP karena potensi pasarnya ada, dan mereka menganggap suplainya bakal kekurangan. “Jadi, bisa dilihat jumlah GP dari 8 menjadi 15 perusahaan. Itu yang terjadi. Kita mau salahkan siapa? Namanya juga usaha, siapa mau ekspansi, monggo!” cetus Chandra.
Akibat ekspansi itu terasa dua tahun kemudian. Tahun lalu banjir FS mulai terjadi. Ada kelebihan 3 juta – 4 juta ekor per minggu. Pun tahun ini, kalkulasi Chandra, kelebihan dalam jumlah yang sama pada tiga bulan pertama. Kelebihan semakin banyak sampai akhir tahun. Prospek ini cukup riskan baginya sehingga ia masih menginginkan berdialog sekali lagi dengan semua pemangku kepentingan dalam menetapkan parameter yang tepat.
Satu Persepsi
Chandra memilih mengajari orang sampai tahu benar tentang seluk-beluk hitungan produksi bibit. Tujuannya tak lain agar masyarakat perunggasan mengerti betul setiap konsekuensi dari penggunaan parameter yang telah disepakati bersama. “Jangan sampai dosa itu ditanggung satu atau dua orang saja. Semua harus tahu akibatnya dan menyetujui. Jangan sampai kejadian lagi. Angka 400 ribu (impor GP) dianggap angka sakral entah siapa yang memberi masukan dan akhirnya terjadi kekurangan,” tegas bapak yang pernah bekerja di PT Multibreeder Adirama Indonesia ini.
Bila kekurangan terjadi pada telur, cukup sulit telur impor masuk karena harganya kurang bersaing. “Tapi kalau live bird (ayam hidup) kurang, CLQ (paha ayam impor) sudah menunggu, kapan Indonesia terjadi kekurangan. Dari semua persoalan kita, hanya dua yang bisa kita lakukan. Kalau kita hanya mau memikirkan harga live bird saja, batasi level GP dengan parameter FS-nya yang tepat. Risikonya, kalau jumlah suplai dan demand sama, kita dapat harga HPP, atau malah lebih baik. Tapi sebaliknya kalau suplai kurang 5% saja, harga bisa naik jauh di atas 5% karena shortage. Ini terori matematika gampang saja,” cetusnya.
Pada akhir perbincangannya, ia mewanti-wanti agar kita semua berpikir untuk kemajuan perunggasan nasional dan keterjangkauan produk akhir sehingga konsumsi meningkat. Ibu-ibu senang dapat belanja ayam lebih banyak. Pelaku bisnis juga senang dapat margin.
Peni Sari Palupi