Mengadakan perjalanan ke lapangan tak semata menjalankan tugas profesionalnya. Dari sana pula pelajaran hidup bisa didapat.
Indonesia masih sering dipandang sebagai negeri agraris. Namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi petani, terutama pengetahuan tentang pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan pemasaran. Petani sering bingung mengatasi masalah hama dan penyakit yang menyerang tanamannya. Mereka juga acapkali berkutat dengan harga komoditas pertanian yang sangat fluktuatif sehingga bikin mereka merugi.
Bisa jadi karena itulah banyak anak muda yang kurang tertarik pada dunia pertanian. Bahkan sebagian dari anak petani pun tidak mau melanjutkan usaha orang tuanya. “Citra sulitnya menjual hasil panen dan gejolak harga yang sering menyengsarakan petani menyebabkan pemuda enggan jadi petani seperti orangtuanya,” begitu pandangan Gandung Martono, National Business Manager PT Nufarm Indonesia, tentang dunia agribisnis di Indonesia.
Kendati demikian Gandung, begitu ia akrab disapa, boleh berlega hati melihat perkebunan kelapa sawit di negeri sendiri. Dari tahun ke tahun luas arealnya meningkat. Dari segi ekonomi kelapa sawit juga penyumbang devisa negara yang cukup besar. Perkebunan Indonesia terutama perkebunan swasta nasional juga dikelola secara profesional. “Saya pernah berkunjung ke beberapa perkebunan kelapa sawit di Bintulu, Malaysia. Perkebunan sawit milik perusahaan swasta di Indonesia lebih terawat dan lebih,” ungkapnya bangga.
Tidak hanya pekebun skala besar, petani sawit pun dilihatnya relatif lebih sejahtera dibandingkan petani pembudidaya tanaman lain. Kesuksesan perkebunan sawit di Tanah Air juga mendongkrak kesuksesan pemasaran PT Nufarm Indonesia yang produk-produknya banyak digunakan dalam budidaya komoditas utama Indonesia ini.
Bertani
Profesi Gandung membawa dirinya banyak bepergian ke daerah bertemu dengan para distributor, pengecer, pekebun, dan petani. Berbagai kunjungan itu menjadikan pria kelahiran Yogyakarta 22 Juni 1962 ini berwawasan luas sehingga dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi staf lapangannya.
Pada kesempatan itu pula ia melihat kehidupan petani dari dekat. Ia menilai, semestinya bertani itu sangat menyenangkan dan menghasilkan jika ditekuni dengan sungguh-sungguh. Setiap hari mereka bisa berolahraga, fisiknya lebih kuat, umurnya bisa lebih panjang. “Yang paling menarik itu ‘kan pola pikirnya yang sederhana, tanam, rawat, ada hasilnya, jual, dan bisa menghidupinya. Tidak ada pikiran macam-macam,” kesan alumnus Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, 1987 ini.
Bertani memang menyenangkan, maka Gandung ikut bertani di tanah miliknya yang seluas 8.000 m2 di daerah Jonggol, Bogor, Jawa Barat. Berbagai macam buah-buahan ditanam, termasuk durian, buah favoritnya. Ia juga menanam cabai di sela tanaman tersebut. Pertanaman cabainya itu dijadikan lahan uji coba pestisida produksi perusahaan tepatnya bekerja. “Kalau terjadi kerusakan pada tanaman itu menjadi risiko saya, tidak ada masalah,” ucapnya dalam suatu kesempatan ngobrol dengan AGRINA di kantornya pekan lalu.
Aktivitas di kebun tersebut juga dipandangnya untuk melepas rutinitas yang kadang membuatnya bosan. Berkebun dan memelihara ikan di lahan miliknya menjadi kegiatan di waktu senggang bersama keluarga tercintanya. “Pada saat menyalurkan kesenangan ini banyak manfaat, yaitu badan jadi segar dan sehat, lebih tentram,” katanya.
Inspirasi Ayah
Kebahagiaan bagi Gandung adalah kebersamaan yang dilalui dengan istri dan anaknya. “Saya merasa orang yang dibutuhkan anak-anak, terutama oleh anak saya yang disable. Setiap pagi sebelum berangkat kerja saya selalu mengajak berkeliling komplek begitu juga saat pulang, ia selalu menunggu kedatangan saya untuk mengajak bermain dan bercanda,” ulas ayah dari Hans Kawandaru, Rico Aryandaru dan Ivan Driyandaru ini.
Mengaku tidak punya filosofi khusus, suami Titin Kasiyati ini berusaha mengajarkan pada anak-anaknya untuk berbuat lebih baik dan berusaha menjadi yang terbaik. “Semangat almarhum ayah mempengaruhi pandangan hidup saya,” tegasnya.
Almarhum ayahnya memang sangat berperan dalam keberlanjutan pendidikannya. Kala itu, Gandung remaja ingin melanjutkan pendidikannya selepas SMA. Namun semua saudaranya menyarankan untuk mencari kerja saja. Sang ayah menolak keras saran itu. Meski terbilang keluarga kurang mampu, ayahnya tetap ingin menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. “Ayah berkeinginan agar saya bisa meraih kehidupan yang lebih baik,” ceritanya.
Sejak itulah, saudaranya bahu-membahu membantu agar dirinya bisa membiayai kuliah hingga selesai di UGM. “Semangat ayah inilah yang selalu menjadi inspirasi untuk berbuat lebih baik,” kenang pecinta traveling ini.
Seiring perjalanan waktu ternyata pilihan karir jatuh ke bidang agrochemical. Dengan pengetahuan dan pengalamannya di bidang tersebut ia pun sering berbagi pengetahuan dengan petani. Kesuksesan petani adalah kesuksesannya dan perusahaan di tempatnya bekerja. “Jika petani sengsara, maka kami juga menderita, Jika petani pintar dan sejahtera, maka kami juga bahagia karena bisnis kami juga meningkat. Jadi bekerja sambil menyebarkan ilmu yang bermanfaat,” cetusnya.
Bersyukur dengan Pekerjaan yang Dilakoni
Di samping bertani, hobi traveling dilakoninya bersama keluarga. “Dengan traveling kita dapat melihat keindahan alam dan adat istiadat daerah tersebut, merasakan masakan tradisional yang lezat. Hampir seluruh provinsi di Indonesia sudah dikunjungi, dari Pulau Sabang di Aceh sampai Papua. Hanya NTT dan Maluku yang belum saya kunjungi,” beber penyuka masakan bawal dan kerapu kukus ini.
Tempat wisata seperti pantai dan gunung menjadi favoritnya karena sejak muda ia suka mendaki gunung dan berkemah. Dari seluruh tempat yang pernah dikunjungi bersama keluarga, yang paling mengesankan adalah Tembok Besar Tiongkok dan Kota Terlarang juga di Negeri Tirai Bambu. “Ide dan pola pikir rakyat dan Kaisar China sangat mengesankan,” tandasnya.
Selain itu, ada pengalaman yang menyedihkan sekaligus menyedihkan saat pertama kali naik balon udara di Cappadocia, Turki. “Saat balon udara tersebut mengudara, kita terpaku dan terdiam karena melihat secara langsung salah satu balon udara yang dinaiki wisatawan dari Brasil dan Inggris jatuh,” katanya.
Karena itu ia sangat bersyukur kepada Sang Pemberi Hidup. Ia telah mendapat berbagai kesenangan, bisa berkeliling nusantara dan keluar negeri, belajar dari orang lain, bergaul dengan petani.
Tri Mardi Rasa, Untung Jaya