Di beberapa sentra kakao di Indonesia mutu biji kakao hasil perkebunan rakyat masih memprihatinkan dan belum semuanya bisa memenuhi kebutuhan industri.
Upaya perbaikan sudah dilakukan dengan berbagai regulasi kebijakan melalui dukungan berbagai pihak. “Permasalahan mendasar yang masih terus memerlukan pengawalan dan perbaikan pada perkebunan kakao milik rakyat, seperti budidaya, pengelolaan, pemasaran, kelembagaan, dan sumber daya alam,” jelas Bambang, Kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara.
Butuh keseriusan, lanjut Bambang, dalam menghadapi tantangan ke depan untuk peningkatan produksi dan memberikan nilai tambah dari produk perkebunan yang selama ini diusahakan masyarakat. Meski program Gernas Kakao telah berakhir, tapi tidak menyurutkan Bambang untuk terus berupaya meningkatkan hasil produksi kakao di Sultra. “Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan petani kakao kecewa dengan usaha yang telah digelutinya berpuluh tahun dan beralih profesi menjadi petani dengan komoditas lain,” tekadnya.
Bambang melihat, pembudidaya kakao masih tergolong petani tradisional yang nilai produksinya hanya cukup untuk menyambung hidup sehari-hari. Mereka tetap mengusahakan meski terus produksi kebunnya mengalami penurunan akibat serangan hama dan penyakit. “Pembinaan harus dilakukan. Memang belum seluruh petani itu mendapat bimbingan langsung dari petugas penyuluh karena keterbatasan tenaga,” ulas penyuka olah raga jalan kaki dan lari ini.
Bersama pemerintah provinsi, kepala dinas yang baru menjalani Bambang pun membangunan klaster kakao. Upaya pemprov ini untuk mengajak petani kakao agar bisa melakukan peningkatan daya saing melalui program membangun masyarakat sejahterah.
Bambang menambahkan, inilah yang menjadi perhatiannya sebagai aparat pemerintah di daerah yang harus tanggap dan melakukan penyelamatan petani kakao dari tekanan kondisi hidup pas-pasan itu. Apalagi kakao ini kan merupakan kekuatan ekonomi masyarakat di Sultra selama hampir 30 tahun lebih ini. “Tentu, hal itu tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan dari Gubernur dan Bupati,” ungkapnya.Komitmen Petani Rendah
Menurut alumnu Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari ini, profesionalitas dan komitmen petani yang masih rendah juga memberikan sumbangan terhadap keterpurukan usaha mereka tersebut. Produksi dan produksivitas anjlok hingga titik terendah, apalagi umur tanaman yang juga semakin semakin tua.
“Petani risau produksinya menurun, tapi semangatnya tetap membudidayakan dengan segenap upaya meski tidak efektif tetap dijalankan,” cerita pria berkumis tebal ini. Kesadaran dan pemahaman petani Sultra tentang teknik budidaya kakao yang baik dan benar agar berproduksi tinggi memang masih sangat kurang. Bambang mencontohkan, tak sedikit petani melakukan panen sekaligus. “Semua buah dipetik, baik yang matang maupun yang mentah,” katanya.
Tak mengherankan jika biji kakao mereka dibeli murah. “Sebagian kecil saja petani yang melakukan fermentasi. Mereka beranggapan tanpa fermentasi biji kakao juga laku dijual. Harga tidak terpaut banyak dengan yang tidak terfermentasi. Selain itu butuh waktu sekitar 5 hari. Di sisi lain mereka butuh uang cash,” papar ayah tiga anak ini.
Biji kakao tetap dibutuhkan pasar, tetapi citra buruk yang melekat pada mutu biji kakao Sultra harus diubah. Apalagi Sultra juga dikenal sebagai penghasil biji kakao jelek atau biji kakao asalan. “Jadi, kalau kita bisa memberikan yang terbaik bagi industri kenapa tidak, pasti nilai tambah petani juga akan meningkat,” tegas ayah dari Ageng Dermanto, Arrum Imanto, dan Wahyu Amardika ini.
Tingkatkan Kemandirian Desa
Kepala dinas yang selalu menyempatkan diri bertandang ke petani pada waktu senggang Sabtu dan Minggu ini didukung Pemprov Sultra dalam mengembangkan lembaga ekonomi yang berbasis masyarakat desa. Lembaga sederhana ini bertujuan menghimpun potensi desa menjadi satu kekuatan untuk meningkatkan kemandirian, perekonomian, dan kesejahteraan warga.
“Selama ini masyarakat desa memiliki posisi lemah dalam permodalan dan menjalankan proses produksi karena berjalan sendiri-sendiri. Akhirnya membuat petani memiliki kesejahteraan yang minim,” ulas pria kelahiran Blitar Jawa Timur ini. Jika petani terhimpun dalam lembaga yang memadukan prinsip koperasi, bank, dan perusahaan, kepengurusan dan anggotanya adalah masyarakat desa yang sebagian besar petani. Jadi, petani akan memiliki posisi kuat.
Namun, Bambang mengakui, banyak tantangan untuk membuat Lembaga Ekonomi Masyarakat di Desa Andomasinggo, Kec. Besulutu, Kab. Konawe, Sultra, itu. “Banyak yang mengatakan sok membela petani, masyarakat kecil dan lain sebagainya. Namun karena ini merupakan amanah, jadi saya jalan terus,” cerita pria kelahiran 8 November 1965 ini.
Bambang yakin, yang dilakukannya tersebut akan berdampak meskipun kecil. Memang ia harus meyakinkan beberapa teman yang sempat ragu untuk membantu petani. “Satu langkah kita berpikir maju untuk kemajuan petani, kita harus siap karena ada sejuta anak panah yang siap menghancurkan kita,” begitu kalimat yang selalu dia ucapkan pada teman-temannya.
Tak sedikit pihak banyak yang tidak ingin posisi petani kuat, terutama yang selama ini terbiasa mengisap keringat petani atau memanfaatkan petani. Mereka itu, katanya, orang-orang yang tidak ingin petani bisa mengakses bank, sarana produksi, dan teknologi. “Karena di akses tersebut banyak uang yang selama ini menghidupi orang-orang yang tidak suka dengan petani maju,” ungkap pria yang merintis karirnya di pemerintahan sejak 1990 ini. Yang paling penting, tidak akan ada lagi pembeli atau tengkulak membeli komoditas petani dengan harga yang merugikan petani.
Terharu oleh Sambutan Petani
Upaya keras lulusan Manajemen Agribisnis IPB dalam bidang Manajemen Perencanaan Strategi ini berbuah manis. Bahkan ia pernah sampai tidak bisa berbicara saat mendapatkan sambutan begitu antusias dari petani yang telah mendapatkan manfaat dari Lembaga Ekonomi Masyarakat.
Padahal, kata pria yang sebenarnya bernama lengkap Bambang Wahyu Diwantoro ini, sebelumnya melihat banyak anak muda dari desa lain berbondong-bondong dengan sepeda motor pergi ke kota untuk merayakan Tahun Baru. Di sisi lain, sekelompok warga tetap mempertahankan kesederhanaan dan bangga dengan hasil kerjanya menggeliatkan ekonomi keluarga.
“Saya sampai mengeluarkan air mata. Mereka menyambut saya begitu meriah. Mereka mengharapkan kelembagaan ini terus dipertahankan karena sangat membantu mereka,” ungkap suami Utariaty Balaka, S.Sos ini. Luar biasa, kelembagaan yang mereka bangun mampu memberikan solusi di desanya.
Tri Mardi Rasa