Legisan Sugimin Samtafsir
Memanfaatkan Rahmat Tuhan
Dengan memaanfaatkan teknologi tepat guna, minimnya lahan untuk budidaya ikan akan bisa teratasi.
Legisan Sugimin Samtafsir adalah satu di antara pembudidaya lele yang terus berinovasi mencari teknik budidaya paling menguntungkan. Sejak 2010 ia memutar otak untuk memanfaatkan lahan yang sempit tetapi hasil produksi tetap tinggi dan tentu menguntungkan pembudidaya.
Kemudian pada Januari 2013 Legisan bersama temannya sukses merintis inovasi teknologi budidaya lele super intensif sistem bioflok. Teknologi ini pun ternyata mampu menjawab permasalahan tersebut. “Minimnya lahan, mahalnya biaya pembuatan kolam, dan sulitnya pemeliharaan, sudah tidak masalah lagi dengan teknologi super intensif ini,”ungkap pemilik Farm 165 ini.
Banyak Berminat
Sejak dikenalkan ke beberapa orang, teknologi yang dikembangkan Sarjana Filsafat Islam Jurusan Dakwah Komunikasi, IAIN Sumatera Utara ini, bersama temannya tersebut mampu menarik para pembudidaya lele. Ketertarikan mereka lantaran hasil produksi dua kali lipat, modalnya tidak besar, dan menurunkan nilai konversi pakan (FCR, feed conversion ratio) di bawah 1.
“Antusiasme masyarakat begitu tinggi pada teknologi ini. Beberapa pembudidaya lele dari berbagai daerah pun datang untuk belajar seperti dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua,” jelas Legisan. Ia mengakui, masih banyak pelaku seusai belajar tidak bisa langsung menerapkan teknologi anyar itu di daerahnya masing-masing, tapi lebih pada coba-coba pada satu kolam. “Jika dianggap berhasil biasanya mereka mulai meningkatkan kapasitas jumlah kolam seiring kemahiran mereka,” ungkapnya.
Berita baiknya, inovasi itu sangat cocok diadopsi pelaku usaha yang memiliki modal pas-pasan, sebab hanya dengan Rp2,5 juta pelaku pemula dan rumah tangga yang ingin mendapatkan pendapatan sampingan dari usaha ini bisa melakukannya. “Modal itu untuk pembelian kolam terpal, benih, dan biaya produksi selama tiga bulan,” kata suami Rahmayani ini.
Teknologi bioflok membutuhkan kolam terpal berbentuk bulat berdiameter 2,5 m setinggi 1 m yang diisi benih lele mencapai 500 - 1.000 ekor/siklus. Tingkat keberhasilannya cukup tinggi, yaitu 90%. Tambahan lagi, nilai konversi pakannya (Feed Conversion Ratio-FCR) di bawah 1 tentu sangat menguntungkan bagi pelaku usaha karena biaya pakan akan lebih rendah. “Kunci agar FCR rendah adalah dengan mengelola air, memilih pakan dan benih berkualitas,” bebernya.
Kepadatan tebar tinggi tentu menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Untuk itu, Legisan menyarankan pembuatan resapan pembuangan air di sisi kolam dan menanam sayuran di areal resapan tersebut. Limbah buangan ini bisa dimanfaatkan untuk memasok kebutuhan nutrisi tanaman. “Memanfaatkan limbah dengan memadukan usaha perikanan dan tanaman sayuran tentu akan memberikan nilai tambah bagi pembudidaya. Sebab dalam satu siklus produksi, air perlu dibuang 3 - 4 kali sebanyak 20%,” jelas Legisan.
Dari Teknologi Sebelumnya
Berbeda dengan teknologi budidaya lele sebelumnya (tradisional dan intensif), kolam yang digunakan dari terpal berbentuk melingkar, kepadatan tebar benih 2 – 4 kali lipat dari teknologi sebelumnya setara 500 – 2.500 ekor/m2. Selain bisa meningkatkan produksi, teknologi ini juga mampu mengefisienkan tenaga kerja. “Untuk 20 kolam lele bioflok bisa ditangani dengan hanya satu orang tenaga kerja,” ungkapnya.
Menurut ayah tiga orang anak ini, budidaya lele dengan teknologi baru ini tidak sulit, tetapi memang membutuhkan keterampilan pembudidaya. “Bagi pelaku pemula mungkin banyak kendala pada segi teknisnya saja,” katanya.
Legisan menguraikan, biasanya pelaku usaha budidaya lele pemula ini tidak tahu keadaan lapang seperti apa, jadi mereka masih meraba. “Ketika kolam bau, padahal kolam yang sehat tidak akan ada aromanya. Meski sudah banyak yang tahu tapi kenyataan di lapangan banyak yang mengabaikan sehingga perlu ada pendampingan agar kolam tetap sehat dan bisa nyaman buat kehidupan lele,” ulasnya.
Kesempatan Wirausaha
Masalah yang sering terjadi, pelaku dengan mudah bisa membudidayakan dan menerapkan teknologi tetapi ketika memasarkan produksinya tidak bisa. Keberhasilan usaha budidaya dengan sistem ini harus ditunjang dari segi pemasaran. Alasannya, bila hasil panen melimpah tapi pasar tidak mampu menyerap, maka pelaku usaha akan rugi.
Kondisi oversuplai pun, menurut Legisan, masih bisa diatasi dengan menjadikan komoditas lele sebagai bahan baku untuk pangan olahan, seperti bahan untuk membuat bakso, nugget, dan abon. “Orang sudah mulai terpikir untuk menjual olahan, jadi orang tidak hanya terpikir menjual lele gelondongan. Kalau lele lagi murah, akan diolah menjadi penganan olahan,” ujar motivator di pusat pelatihan sumber daya manusia, ESQ 165, Jakarta.
Dengan begitu, tambahnya, tentu saja akan menumbuhkan kewirausahaan lain atau pengembangan usaha, meski juga perlu ada persiapan untuk sarana dan prasarana serta teknologinya. Pria asli Desa Limau Manis, Kec. Tanjung Morawa, kab. Deli Serdang, Sumatera Utara, ini, meyakini pasar ikan sangat besar. Alasannya, sekarang ini suplai protein hewani masih didominasi dari ternak seperti ayam dan telur. Apalagi konsumsi ikan masyarakat masih rendah jika disandingkan konsumsi protein hewani dari daging ayam dan telur.
Masih banyak pasar olahan ikan yang bisa diisi, seperti di sekolah dan pondok pesantren yang juga mengandalkan sumber protein dari daging ayam dan telur. “Kalau kita bisa menyajikan makanan sehat ini lebih lebih murah atau bersaing dengan protein hewani lainnya, maka permintaan ikan ini akan tinggi dan bisa bersaing,” ulas pria kelahiran 19 Juni 1971 ini.
Mengilas-balik ketertarikannya pada budidaya lele, Legisan melihat ikan berkumis ini mengandung nilai spiritual, yaitu sebagai bahan pangan, mampu memberdayakan masyarakat, proteinnya sangat tinggi, dan mudah dibudidayakan. “Lele merupakan bagian dari sektor pangan yang harus tumbuh dan berkembang untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia,” tegasnya.
Untuk menampung hasil produksi dari teknologi temuannya, Legisan juga membuka restoran yang diberi nama Restoran Biofloc 165 dengan aneka menu utama seperti lele goreng krispi, pepes lele, gulai lele, dan sate lele. Inilah bentuk integrasi ala Legisan karena keinginannya memanfaatkan rahmat yang diberikan Tuhan. Tuhan melimpahkan segalanya, namun banyak yang tidak memanfaatkannya sehingga mubazir. Ia mencontohkan cahaya matahari yang melimpah, hujan, tidak banyak yang memanfaatkan, lahan kosong dibiarkan terbengkalai. “Kita ini seperti mati di lumbung makanan, merana di tengah melimpahnya harta. Kita ini tukang buang-buang,” tutupnya.
Tri Mardi Rasa, Windi Listianingsih