Dengan tergabung dalam satu kawasan, usaha peternak sapi perah bisa lebih mandiri dan efisien sehingga harga susu diharapkan meningkat.
Usaha peternakan sapi perah semakin berat pada masa mendatang. Harga jual susu di tingkat peternak tak kunjung sesuai dengan biaya produksi. Ditambah lagi, lahan peternakan pun makin menyempit sehingga ketersediaan pakan hijauan sebagai pendukung produksi susu makin berkurang.
Menurut Taryat Ali Nursidik, jika ini terus dibiarkan, maka akan banyak peternak beralih profesi. Padahal berkurangnya peternak sapi akan berimbas pada semakin sedikit susu segar. “Tak heran jika di kemudian hari impor susu akan semakin meningkat,” tegas Taryat di Kp. Cadas Ngampar, Ds. Kasomalang Wetan, Kec. Kasomalang, Kab. Subang, Jawa Barat.
Keprihatinan pria yang akrab disapa Taryat ini membuahkan ide untuk membuat kandang koloni. Idenya sederhana saja, menggabungkan semua ternak sapi perah dalam satu kawasan yang dikelola bersama. “Dengan cara ini, semoga terjadi peningkatan kesejahteraan peternak dan petani yang bergabung dalam satu usaha,” jelas penggagas Gabungan Kelompok Peternak (Gapoknak) Sugih Mukti Mandiri tersebut.
Berkelompok Lebih Efisien
Pria asli Subang ini berharap bisa memberikan nilai tambah bagi peternak. “Harga susu bisa meningkat, petani bisa memiliki bargaining position (posisi tawar) yang lebih baik. Lebih tersentral dan tentu akan lebih efisien dari sisi perawatan, pengelolaan (ternak), dan pengumpulan susu yang akan dijual,” papar Taryat.
Memang, sambung dia, tidak mudah menyatukan 30 orang lebih peternak sapi perah dalam satu kelompok usaha. Namun dengan semangat kemandirian dan peningkatan kesejahteraan, semua kendala bisa diatasi. “Kebersamaan usaha di satu kawasan akan bisa menjadi penggerak ekonomi dan bisa menghidupkan perekonomian masyarakat dan hasilnya berdaya daya saing terutama untuk produk susunya,” urai bapak kelahiran 9 Februari 1965 ini.
Untuk memotivasi para peternak, pria yang pernah menjadi General Manager Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) 2008-2009 ini butuh waktu lama lantaran ketiadaan modal, lahan yang sempit, dan harga jual susu yang rendah. Tiga hal ini biang keladi para peternak itu enggan berkelompok dan lebih senang sendiri-sendiri. Namun semua itu tak membuat Taryat patah arang. “Saya terus meyakinkan mereka agar bergabung sehingga bisa memiliki kekuatan membangun usaha dan bisa memberikan kesejahteraan bagi mereka,” tandas alumnus Fakultas Kedokteran Hewan IPB 1993 ini.
Upaya Taryat pun berhasil dua tahun kemudian. Pada 2010 Kelompok Peternak Sapi Perah Sugih Mukti Mandiri terbentuk. Sebanyak 34 petani dan peternak bergabung sebagai anggota. Baru pada 2012 idenya benar-benar terwujud. Usaha mereka itu berhasil disatukan dalam sistem kandang koloni agar pengelolaannya bisa lebih efisien dan efektif. Semua anggota kelompok yang kemudian bernaung di Gabungan Kelompok Ternak (Gapoknak) Sugih Mukti Mandiri itu terlibat dalam pengelolaan ternak di kandang. Kandang ini berdiri di atas lahan seluas 7.000 m2. “Lahan milik salah seorang anggota yang juga punya kesamaan ide dalam mengembangkan dan membangun peternakan usaha bersama ini,” imbuhnya.
Usaha tersebut pun makin berkembang terlihat dari bertambahnya jumlah anggota kelompok dan populasi ternaknya. Pada 2014, tercatat 154 orang peternak dan petani yang tergabung dengan populasi ternak mencapai 226 ekor sapi (dara bunting, kering kandang, laktasi, dan pedet).
Gigih Kelola Hasil Produksi
Cita-cita Taryat sederhana saja. Ia hanya ingin memberdayakan peternak yang sudah ada dan memantik gairah mereka beternak sehingga bisnis mereka tetap eksis. Untuk itu, ia tak pernah bosan mengajak mereka mengelola ternak dengan baik. Menurutnya, beternak tidak bisa dilakukan secara sambilan, tetapi harus serius dan jadi usaha pokok. “Kalau mau hidup sebagai peternak sapi perah ya harus serius tidak bisa sampingan saja,” tutur pria yang pernah mengenyam pendidikan di Rakuno Gakuen University, Jepang, ini.
Menurut suami Siti Khoisah S ini, peternak sapi baru bisa dikatakan hidup jika harga susu segar Rp4.200/liter. Itu pun kalau peternak memiliki minimal tiga ekor sapi laktasi dengan rata-rata produktivitas 13 - 15 liter/ekor/hari. “Nah, bagaimana caranya agar yang tiga ekor tersebut makin efisien usahanya, yaitu dengan berkelompok,” ulas Direktur Utama CV Tujuh Mutiara pada 2009-2012.
Ayah enam putra-putri, yaitu Sri Pramesti HPP, Dwi Utami CP, Saifan Fachri Az, Putri Hanifan P, Sabrina Hj, Kinanti Tara Ak, dan Hikaru IR ini menguraikan banyak kemudahan yang bisa diperoleh dengan berkelompok. Misalnya saja, akses ke perbankan, jaminan pinjaman ke bank bisa ditanggung bersama kelompok, lebih mudah mendapat akses teknologi dan mendapatkan bimbingan teknis. Walhasil, produksi susu lebih seragam dan sesuai dengan permintaan atau standar Industri Pengolahan Susu (IPS).
Kegigihan dan ketekunannya tak berhenti sampai di situ. Ia pun mengolah susu segar hasil produksi kelompok menjadi yoghurt dan susu pasteurisasi. Produksi yang sebanyak 3.000 liter susu per hari disisihkan 600 liter untuk diolah jadi yoghurt dan susu pasteurisasi. Sisanya dikirim ke IPS yang bekerjasama dengan Gapoknak.
Tentu sangat berbeda ketika mereka menyetor ke koperasi atau perusahaan, pasrah dengan fluktuasi harga yang ada dan posisi tawar kurang bagus. Bahkan standar dan syarat susu yang diinginkan oleh perusahaan pun tidak semua bisa dipenuhi. Dengan mengolah susu segar menjadi yoghurt dan susu pasteurisasi, peternak tetap mengantongi nilai tambah meskipun harga susu segar.
Kini produk olahan tersebut sudah menembus beberapa pasar di kabupaten dan kota-kota di Jawa Barat. Taryat pun mengajak semua lapisan masyarakat, khususnya yang ada di seputar peternakan, untuk turut mengonsumsi susu. “Selain mampu meningkatkan gizi juga membantu peternak agar tetap eksis. Produk inilah yang harus diminum masyarakat,” kata Ketua Gapoknak Sugih Mukti Mandiri itu.
Tak Ada yang Terbuang
Buah berbisnis sistem koloni itu tak cuma populasi sapi dan jumlah peternak yang gabung bertambah serta meningkatnya harga susu. Mereka pun memproduksi pupuk kandang dan biogas dari kotoran sapi. “Kotoran jadi biogas sebagai upaya kemandirian energi. Sebab nantinya, energi yang akan tersedia secara terus-menerus bisa digunakan untuk memasak dan penerangan bagi warga dan kandang ini juga,” urai Taryat.
Saat ini, hasil pengelolaan kotoran itu sudah diujicobakan di beberapa rumah penduduk yang ada di sekitar kandang. Rencananya, dengan bioreaktor baru mereka bisa menyuplai kebutuhan 99 rumah penduduk. “Cara ini tentu sedikit membantu pemerintah untuk mengurangi subsidi gas. Masyarakat pun akan lebih mandiri dan memanfaatkan sumber daya lokal,” terangnya.
Jumlah kotoran yang dihasilkan sebanyak 6 ton/hari. Pasokan sebanyak ini digunakan untuk kebutuhan bioreaktor dan media budidaya cacing serta dijadikan pupuk organik. Produksi cacing untuk pakan lele, sedangkan bekas medianya bisa dijadikan pupuk organik (kascing).
“Inilah bukti kemandirian dan kekuatan civil society (masyarakat madani),” tegas pria yang rajin membina para kelompok tani ternak di beberapa daerah Jawa Barat ini. Bila melihat sejarah, pembangunan ekonomi berbasis masyarakat ini sebenarnya dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Tinggal kita mengembangkannya di lingkungan sekitar.
Tri Mardi Rasa, Arfi Zulfa HB