Selasa, 24 Juni 2014

Dr. Ir. H. Rachmat Pambudy, MS, Korporasi untuk Kedaulatan Pangan

“Pembangunan pertanian mengalami hambatan sangat berat,” ujar Dr. Ir. H. Rachmat Pambudy, MS, Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Pembangunan pertanian dibenturkan pada sistem pemerintahan desentralisasi, perubahan tatanan globalisasi, dan perubahan iklim dunia yang semakin sulit diduga. Pemerintahan desentralisasi memungkinkan pesan pembangunan pertanian dari pusat tidak sampai dan diterapkan di daerah. Sementara, perdagangan dunia makin bebas di satu sisi dan makin protektif di sisi lain. “Negara yang lemah, perdagangannya bebas dan negara yang kuat makin protektif,” terang Rachmat. Belum lagi, perubahan iklim dunia membutuhkan kemampuan yang semakin tinggi untuk memprediksi.

Jumlah penduduk dunia yang semakin meningkat seiring dengan naiknya pendapatan pun menuntut ketersediaan pangan yang mencukupi dan berkualitas. Akankah ini juga menjadi hambatan atau justru peluang?

Petani Berorganisasi

Mayoritas petani padi di negara ini memiliki lahan yang relatif kecil, berkisar 0,3 hektar per orang. Namun, itu tidak menjadi alasan petani Indonesia gagal maju. “Maka petani kita harus berorganisasi dari hulu sampai hilir,” cetus Rachmat, insinyur peternakan 1983 yang pernah memimpin Pusat Studi Pembangunan IPB ini.

Dengan berorganisasi, para petani akan mendapatkan keuntungan sejak hulu hingga hilir. Di sisi hulu, petani akan mampu menyediakan kebutuhan sarana produksi pertanian (saprotan) sendiri. Mereka juga berupaya meningkatkan produktivitas panennya. Di sisi hilir, sambung doktor penyuluhan pembangunan lulusan IPB itu, petani tidak hanya menghasilkan gabah tetapi juga produk-produk bernilai tambah. ”Penggilingan dia kerjakan sendiri sehingga petani tidak hanya menghasilkan beras biasa tapi gabahnya bisa diolah menghasilkan listrik, pellet, bisa dijual dengan harga yang tinggi, bekatulnya bisa diolah menjadi rice brand oil atau minyak dedak, kemudian pemasarannya juga dilakukan sendiri. Kalau pun nanti ada bulog (Badan Urusan Logistik), Bulognya juga milik petani,” urai pria kelahiran Yogyakarta, 23 Desember 1956 itu. 

Bulog versi baru ini harus menghasilkan pangan bernilai tambah berbasis daerah. Di tanah Papua misalnya, Bulog akan memproduksi mi berbahan baku ubi. Bulog NTT menghasilkan mi dari jagung, di Maluku memproduksi mi dari sagu, di Bogor, Jabar ada mi dari talas, di Gunungkidul, DIY ada mi dari singkong, dan di daerah pesisir ada olahan ikan sebagai penunjang protein. ”Jadi, korporasi untuk kepentingan kedaulatan pangan nasional itulah Bulog di masa depan,” tandas Rachmat yang mengenakan kemeja batik saat ditemui AGRINA, di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Rabu sore itu (11/6).

Sebagai negara kepulauan, setiap daerah di Indonesia harus mandiri secara pangan. “Dengan begitu, otonomi yang tadinya menjadi hambatan, sekarang menjadi peluang karena akan ada Bulog daerah. Jadi Bulog nasional, korporasi untuk menunjang kedaulatan pangan nasional, bekerja sama dengan daerah,” urai pengusaha agribisnis ini. 

Perlakuan Adil 

Menurut Rachmat, para petani di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini juga perlu mendapat perlakuan adil. Pasalnya, mereka berhadapan langsung dengan petani negeri lain yang memasarkan produknya ke Indonesia. Jika produk pertanian negara lain mendapat perlakuan khusus, produk dalam negeri juga harus mendapat perlakukan yang sama. “Petani Indonesia itu ‘kan kuat, kemampuan produksinya tinggi sekali, efisien sekali. Tetapi suku bunga tinggi, jalannya kurang baik, mekanisasinya tidak sehebat negara lain, ya harus disamakan dulu agar kita juga sama-sama bagus,” ungkap pengajar Indonesian Agriculture Economy di Faculty of Economics, Keio University, Jepang itu.

Salah satu perlakuan adil itu bisa didapatkan petani Indonesia melalui pemberian subsidi. “Jadi kalau negara lain mendapat kredit 6%, kemudian kita suku bunganya 16%, ya kredit itulah disubsidi 16%. Kalau petani Jepang bisa mendapatkan bunga kurang dari 3%, petani Vietnam dan petani Malaysia kurang dari 6%, petani Indonedia juga harus mendapatkan suku bunga yang sama. Petani harus diberikan kredit sesuai dengan kebutuhannya, sesuai skim yang mereka inginkan, dan juga sesuai dengan yang didapatkan petani di negara lain, terutama di Asia,” papar Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU) secara gamblang.

Petani, tegas Rachmat, saat ini diperlakukan tidak adil. “Contohnya kalau harga sedang tinggi, pemerintah impor. Kalau harga jatuh, dibiarkan saja. Ah, itu kebijakan perdagangan yang tidak berpihak (pada petani). Petani ingin anaknya sekolah, ingin punya rumah, ingin cukup sandang, cukup pangan juga, itu harus dicukupi,” kritiknya terhadap salah satu kebijakan harga referensi yang ditetapkan pemerintah.

Sebab itu, sambung anggota dewan pengawas Bulog itu, pemerintahan yang baru kelak harus memperhatikan kepentingan petani. “Kepentingan itu untuk berproduksi dan meningkatkan produktivitas, dan kepentingan untuk kehidupan keluarganya. Seluruh petani ndonesia harus diasuransikan. Asuransi untuk keluarganya dan asuransi untuk produksinya,” saran dia.

Sementara menyoal masyarakat ekonomi ASEAN yang akan berlaku mulai 2015 mendatang, Rachmat meminta pemerintah memberikan jaring pengaman perdagangan untuk petani. ”Pertama, bentuknya pembelaan hukum. Kalau ternyata produk yang masuk ke Indonesia tidak layak konsumsi, tidak memenuhi standar nasional Indonesia, ada indikasi dumping, kita harus berani menolak,” tandas dia. Kedua, harus ada kebijakan yang mendorong peningkatan produksi dan produktivitas pertanian. ”Jadi, petani harus selalu dilatih agar dia bisa meningkatkan produksi dan produktivitas nasional. Ini pekerjaan besar,” Rachmat mengingatkan pemerintah saat menutup perbincangan dengan AGRINA.

Windi Listianingsih, Peni Sari Palupi

 

 
 

Biodata

Nama lengkap   : Dr. Ir. H. Rachmat Pambudy, MS

Tempat/Tanggal Lahir: Yogyakarta, 23 Desember 1956

Istri                                          : Ninuk Mardiana Pambudy

Anak                                      : tiga orang

Pendidikan                          : 1. Lulus S3, Program Studi Penyuluhan Pembangunan IPB, 1999

                                                  2. Lulus S2, Program Studi Komunikasi Pembangunan IPB, 1988

                                                  3. Lulus S1, Fakultas Peternakan IPB, 1983

Jabatan & Organisasi      : -     Pengajar di MB – IPB (1989 – sekarang)

  -     Anggota Dewan Pengawas Bulog (2003 – sekarang)

-       Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Keio, Jepang (2002 – sekarang)

-       Staf Ahli Mentan bidang Hubungan Antar Lembaga (2001 – 2004)

-       Direktur Pusat Studi Pembangunan IPB (1995 – 2000)

-       Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (2010 – sekarang)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain