Rasa peduli pada pertanian sudah ada semenjak kecil. Cita-citanya ingin membuat Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan petaninya bisa sejahtera.
Meski disebut negeri agraris, nyatanya kondisi pertanian dan para petani jauh dari harapan yang menggembirakan. Apalagi jika pemerintah tidak segera memperbaiki sistem pertanian negeri ini. Diperkirakan Indonesia akan mengalami defisit produk pangan pada 2030.
“Indonesia akan mengalami penurunan produksi pangan kalau hanya mengandalkan sistem pertanian yang lama. Untuk itu, butuh penerapan bioteknologi. Belum lagi kondisi iklim yang makin tidak menentu sehingga Indonesia butuh tanaman yang bisa beradaptasi dengan kondisi yang lebih menantang di era mendatang,” jelas H. Winarno Tohir, Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA).
Selain itu, bahan baku pangan yang melimpah di Indonesia harus dioptimalkan. “Kita harus memulai, pemerintah harusnya memfasilitasi," cetus Winarno. Dengan mendorong industrialisasi berbahan baku pertanian, tentu akan memperkuat produk penghasil pangan lokal. “Industrialisasi berkembang, aktivitas pertanian akan bergairah, petani pun akan mendapatkan manfaat lebih banyak lagi," lanjutnya. Namun, ia mengingatkan, untuk mendukung semua itu butuh rangsangan modal dan edukasi dari pemerintah kepada petani, pengusaha, dan masyarakat.
Belum Berpihak ke Pertanian
Sulitnya mendapat akses permodalan untuk membesarkan usaha juga dirasakan Pak Win, demikian sapaan akrab bapak yang suka badminton ini. Ia berharap, pemerintahan mendatang bisa mengeluarkan kebijakan yang mendukung sektor pertanian.
Pria yang pernah kursus pertanian di Jepang itu mengutip data Bank Indonesia 2013, penyaluran kredit sektor pertanian masih rendah, sekitar 5,5% senilai Rp149,7 triliun. "Bisa aja ini dari petani yang memang belum benar-benar memanfaatkan kredit atau mungkin juga dari perbankan yang mungkin prosedur bank dianggap terlalu sulit bagi petani," ujar Win.
Sebenarnya kebijakan mendapatkan permodalan antara sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor industri tidak ada bedanya. Hanya karakter ketiga sektor tersebut saja yang berbeda. Seharusnya, menteri keuangan perbankan bisa memikirkan keberadaan bank pertanian yang diidamkan petani. “Pemerintah bisa mendirikan bank untuk sektor properti, yakni BTN, kenapa sektor pertanian tidak bisa,” cetusnya. Padahal, menurut pandangan dia, mendirikan bank pertanian tidak harus dengan bank baru. Bank yang sudah ada bisa diberikan fungsi melayani sektor pertanian.
Tak Perlu Formal
Dilahirkan dari keluarga petani, Win kecil hampir setiap musim tanam melihat banyak hal, seperti panen, gagal panen, juga serangan hama dalam kehidupan petani. “Itulah susahnya menjadi seorang petani. Saya merasa kasihan kepada petani bila mereka mengalami kegagalan jarang ada yang mau mendengarkan keluhan,” cerita Winarno. Padahal, negeri Indonesia mendapat julukan negeri agraris, tidak sepatutnya petani menanggung kesusahan sendiri.
“Petani harusnya diberikan pengetahuan, teknologi, akses permodalan dan lain sebagainya agar bisa menanggulangi segala kendala dalam budidaya,” imbaunya. Memang ada kesulitan untuk menyampaikan informasi kepada petani karena masih banyak petani yang berpendidikan rendah. Itu sebabnya Ketua bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini tidak butuh formalitas saat bertemu petani. “Petani lebih takut dan mungkin tidak akan terbuka menyampaikan keluhan atau masalahnya. Berbeda bila tidak ada formalitas dengan mereka,” kata pria kelahiran 5 Januari 1957 ini.
Kiprahnya membuat ayah tiga anak ini dikenal petani di berbagai daerah. Apalagi, baginya, berjuang untuk pertanian Indonesia tidak saja dilakukan saat menjabat, tapi bisa kapan saja dan di mana saja. Bagi kakek bercucu tiga ini, perjuangannya tiada akhir.
Alumnus Institut Pertanian Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat ini dikenal rajin keliling ke berbagai daerah di Nusantara. “Saya ingin tahu benar secara langsung dari petani apa permasalahan yang mereka hadapi. Kalau tidak begitu, mana kita tahu praktik di lapangan seperti apa, apalagi menyangkut aplikasi kebijakan dari pemerintah,” tutur Win.
Kondisi pertanian dan hak petani saat ini masih jauh dari cita-citanya. “Petani harus makmur, sejahtera dan mendapatkan tingkat ekonomi layak, karena posisi petani sangat vital bagi bangsa dalam penyedian pangan,” tegas bapak asli Indramayu ini. Hal itulah yang memacu Win muda bertekad memajukan petani dan nelayan Indonesia. Tekadnya tersebut mulai diupayaka sejak ia memimpin kelompok tani bernama Sriunggul di Desa Sleman, Kecamatan Sliyeg, Indramayu, Jabar, pada 1982.
Mengabdi untuk Petani
Waktu Win bisa dibilang dihabiskan untuk petani. Ia tidak pernah merasa lelah mengurusi masalah di pertanian. Usahanya makin keras pada 1988 tatkala terpilih jadi salah satu petani yang mengikuti pelatihan bertani padi dan buah-buahan selama 9 bulan dalam Asean Young Farmers Training Program ke Jepang. “Pengalaman itu saya terapkan di kelompok tani, mulai dari budaya bertani hingga kedisiplinan dalam usaha pertanian,” ungkap Anggota Ikatan Keluarga Alumni Magang Jepang ini.
Pada 1991 – 2001, pria yang banyak membimbing anak muda ini pun diangkat menjadi Sekretaris KTNA. Ia pun rela bekerja kendati tidak mendapat honor. “Tuhan akan selalu memberikan jalan karena kita mau mengabdi untuk petani,” ujarnya bijak.
Kerelaan mengabdi tersebut membawa Win melanglang buana dan bertemu tokoh-tokoh penting dunia. “Saya tidak terbayang akan bertemu dengan Presiden Perancis saat itu yaitu Jacques Chiraq di Paris,” kenangnya tentang peristiwa 15 Juni 2003 dalam acara temu pemuda tani sedunia.
Kepintarannya dalam mengembangkan ilmu bertani pun diapresiasi Gambia dan Senegal, dua negara di Afrika. Pada 2004, ia melatih petani di kedua negara tersebut sebagai lanjutan kerja sama antara petani Indonesia dan Afrika melalui Yayasan Masyarakat Petani Indonesia atas permintaan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).
Kegiatan Win semakin bertambah sejak didaulat menjadi Ketua Umum KTNA periode 2010-2015. Walaupun begitu, setiap bulan ia selalu menyisihkan waktu bertandang ke pantai selatan di Gunung Kidul untuk sekadar memancing. “Ini hobi masa kanak-kanak, sebab tidak ada hiburan saat itu di desa kecuali mancing di kali,” tuturnya. Cukup jauh memang dari Indramayu, tapi lokasi mancing yang berupa tebing tersebut sangat indah dan kaya akan ikan sehingga cocok sebagai tempat untuk pelepas penat dan stres akibat rutinitas.
Tri Mardi Rasa