Lahan pertanian yang terpecah-pecah dalam luasan kecil-kecil harus bisa memberikan nilai tambah buat petani.
Kota Payakumbuh menawarkan pemandangan sawah dan perbukitan nan elok. Sungguh menyenangkan bagi pelancong untuk melihat hijaunya lahan pertanian yang terdiri dari 2.700 ha sawah dan 1.700 ha lahan kering. Namun di balik itu, kepemilikan lahan para petani di sana kecil-kecil hanya 0,3 hektar per petani. Inilah yang menjadi pemikiran H. Riza Falepi, sejak masa kampanye hingga kemudian dilantik sebagai Walikota Payakumbuh pada 23 September 2012.
Riza, begitu ia akrab disapa, mengungkap prioritasnya tentang pembangunan pertanian ketika berbincang dengan AGRINA di kediamannya awal Maret lalu. “Ada posisi politis dalam pertanian yang tidak bisa kita hindari yang berdampak pada pertanian, terutama pangan (beras). Beras itu ‘kan harganya dikontrol oleh pemerintah. Misal, dengan operasi pasar. Kalau beras tinggi, itu kacau, instabilitas. Selama ini petani punya nilai tambah, tapi segitu-gitu aja. Istilahnya, rezekinya ditakar. Kalau ditakar tinggi ya nggak papa, ini ditakar tetap rendah. Ya memang terjangkau konsumen tapi dia kasihan ‘kan? Ini persoalan. Di situ politisnya,” ungkap putra daerah kelahiran 17 Juni 1970 ini.
Di sisi lain, sambung dia, subsidi yang diberikan bukan pada harga produk akhir (gabah atau beras), tapi pada inputnya. “Meng-handle logistik subsidi itu kadang nggak bener juga. Pemerintah harusnya sudah nggak berpikir di situ lagi,” usul Riza.
Persoalan lebih lanjut, kata Sarjana Telekomunikasi lulusan ITB tersebut, nilai tambah petani kita rendah. Dibandingkan yang diraup pedagang, nilai tambah jatah petani lebih rendah dengan risiko lebih tinggi. Dengan kondisi seperti ini, dia berpikir bagaimana mengubah kondisi petani ini menjadi lebih maju. “Saya berkesimpulan, tidak ada jalan keluar kecuali ya hilirisasi. Itu menjadi lokomotif bagi yang lain,” tandasnya.
Nilai Tambah Petani Padi
Untuk mendongkrak pendapatan petani padi, Riza mengarahkan mereka beralih ke komoditas hortikultura. Dia lalu mencontohkan pendapatan petani cabai Kopay (varietas khas dari Payakumbuh). “Selesai tanam cabai, dapat (mobil) Fortuner satu. Itu kalau lagi harga di atas Rp30 ribu/kg. Kalau harganya Rp20 ribu ya bisalah beli Avanza satu. Itu beneran,” beber pemegang gelar Master Tekno-Ekonomi ITB ini, seraya tertawa.
Dia menegaskan serius menggarap soal alih komoditas tersebut. “Kita serius ini, bukan imbau-imbauan saja. Orang Padang ngomongnya lebih pedas. Kita mau bikin terminal agribisnis, mau beli chiller. Kalau berkembangnya cepat, kita anggarkan lagi. Nggak masalah. Asalkan untuk rakyat, dipakai. Bukan duit saya, mendingan kasih ke masyarakat. Kalau kelihatan nganggur duitnya sama PNS ntar buat jalan-jalan. Nggak mau saya,” urai suami Dr. Henny Yusnita itu.
Selama ini subterminal agribisnis sudah beroperasi, misalnya STA Baliak Mayang di Padang Alai, Payakumbuh Timur. Pihaknya menjanjikan tidak akan mengutip duit dari para petani yang bertransaksi karena memang seharusnya mereka dibantu dan disubsidi.
Alternatif lain, dengan mengarahkan mereka memproduksi padi organik berkualitas premium. “Karena lahannya nggak besar ya kita arahkan ke organik. Saya sedang kerjasama dengan dosen IPB untuk padi kita bisa diproses secara organik sehingga mempunyai nilai tambah lebih dan bisa diekspor. Sertifikasinya diajukan ke Sucofindo,” sambung ayah tiga anak yang sebelumnya pengusaha di Jakarta.
Industri Kakao dan Sapi
Di samping padi, komoditas sasarannya adalah kakao (cokelat). Di Payakumbuh banyak tanaman ini tetapi petani menjual hasil panen dalam bentuk biji belum difermentasi sehingga harganya rendah. “Masyarakat kita ini nggak sadar kalau dia itu bisa besar tapi nggak yakin bisa besar. Saya mulai coba. Saya test case pabrik cokelat. Saya suruh bikin koperasi yang trading cokelat sampai 1.000 ton per bulan. Kalau sudah dapat, saya minta bikin pabrik. Kalau nggak ada duitnya, biar saya yang carikan. Saya banyak kawan yang punya duit kok,” tutur lelaki yang jabatan terakhirnya DPD RI Provinsi Sumatera Barat ini.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menantang masyarakatnya untuk masuk ke hilirisasi kakao, minimal memproduksi cokelat bubuk atau lemak cokelat. Produksi kakao Payakumbuh memang hanya 300-400 ton sebulan, tetapi target pemenuhan bahan bakunya nanti dari wilayah Sumatera Barat, seperti Lima Puluh Kota, Pariaman, Tanah Datar, dan Pasaman. “Kalau sanggup lebih besar, saya punya banyak relasi. Di Turki, cokelat kita bagus dibanding Afrika. Mereka bilang, bisa nggak kirim satu kontainer per hari rata-rata, jadi 30 ton per bulan. I can do it someday, saya bilang,” kata Riza bersemangat.
Ketika ditanya tentang anggaran, dengan tangkas dia merespon, “Kita nggak nyiapin. Jangan pemerintah lagi. Saya ajak koperasi. Koperasi punya Rp2 miliar-Rp3 miliar, saya tambahin Rp1 miliar. Dari mana, ya nanti. Orang Swiss saja nggak punya pohon, jadi penghasil cokelat kok. Kita banyak, tapi masih impor.”
Masih ada lagi komoditas yang menjadi perhatiannya, yaitu sapi. Lagi-lagi soal nilai tambah. Riza menggandeng PT Berdikari, perusahaan peternakan pelat merah untuk melakukan penggemukan bersama peternak. Pihaknya sudah menyiapkan lahan untuk dibuat kavling-kavling seluas 15 ha. “Nanti kita bikin penggemukan 500-600 ekor sapi. Penggemukan ini untuk menyuplai rumah potong hewan yang berkapasitas 100 ekor sehari. ‘Kan produk hilirnya banyak bisa bakso, sosis, bisa rendang kalau mau. Kalau mau bikin industri rendang besar-besaran boleh saja di sini. Ada yang minta rendang satu kontainer sehari kok,” imbuhnya. Namun sayang yang terakhir ini belum bisa terealisasi lantaran proses ambil alih RPH dengan sumber dana bantuan dari Spanyol belum beres.
Pada akhir perbincangan selama sekitar satu jam itu, Riza mengungkap keinginannya membangun dasar yang baik bagi Payakumbuh dengan pertumbuhan yang berkelanjutan. Kalau bisa di atas rata-rata nasional. Tentang pemerataan hasil pembangunan, dia menegaskan perlunya membangun koperasi yang sudah dimulainya dengan mengajak pegawai negeri sipil berhimpun. Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) yang sudah ada di Payakumbuh juga dimintanya bersatu. “Saya coba ilmu pengusaha saya dikombinasikan bisa nggak. Kita berbagilah. Kaya sendiri juga ndak enak. Kita kaya rame-rame. Jalan-jalan ke Singapura rame-rame, haji rame-rame ‘kan enak,” tutupnya sembari tersenyum.
Peni Sari Palupi, Fitri Nursanti