Bahan melimpah dan tumbuh subur di halaman kita untuk energi baru dan terbarukan (EBT). Sepatutnya dimanfaatkan untuk ketahanan energi bangsa.
Ungkapan itu disampaikan ekonom energi dan lingkungan, Darmawan Prasodjo, saat ditemui di selasar hotel ternama di kawasan Kuta, Bali. Ia menceritakan kondisi kebutuhan energi nasional yang terus meningkat, namun produksi domestik terus menurun.
“Yang tadinya ngonthel (sepeda) menjadi naik motor, dan yang naik motor menjadi naik mobil, konsumsi energi kita pun meningkat. Bukan hal buruk, karena ini merupakan bagian dari pembangunan yang berhasil,” papar Mas Darmo, begitu sapaan akrabnya.
Produksi minyak Indonesia terus menurun, sementara konsumsinya naik sehingga tidak ada keseimbangan. “Cilaka ini. Apalagi jika tidak bisa memanfaatkan potensi negeri ini untuk mencari alternative energy,” serunya.
Gudang Bahan Baku EBT
Indonesia merupakan gudang untuk EBT. Seperti, matahari, angin, air dan dari tanaman, singkong jadi etanol, termasuk minyak sawit -Crude Palm Oil (CPO) yang bisa dimanfaatkan untuk biosolar. “Piye iki, semua bagus, tidak ada masalah dengan emisi gas. Inilah energi yang ramah lingkungan,” kata Kepala Program Studi Green Economy, Universitas Surya, di Tangerang, Banten, ini, diselingi kata-kata berbahasa Jawa.
Mas Darmo menambahkan, kita punya CPO yang produksinya antara 25 juta - 26 juta ton, hanya sekitar 7 juta - 8 juta ton yang dikonsumsi dalam negeri, sisanya diekspor. “Sawit ini berlimpah, tumbuh di halaman kita sendiri, di Republik ini, yang bisa digunakan,” tegas Presiden Komisaris Ametis Energi Nusantara dan Penasihat Energi Gubernur Jawa Tengah.
Ia menguraikan, CPO bisa menjadi biodiesel sebagai energi alternatif berbasis sumberdaya domestik dan akan meningkatkan ketahanan energi. Apalagi, CPO diproduksi masyarakat sehingga mereka juga bisa menikmatinya. Penasihat Kebijakan Fiskal Migas di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, ini, menuturkan dengan bersemangat, ada multiplier effect, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, domestic growth, dan yang paling penting adalah EBT ini dijadikan sebagai strategi nasional.
“Strategi nasional ini harus jadi panglimanya,” tegas Pengajar Global Executive Program Pertamina tersebut. Jika Indonesia bergantung impor, ditambah lagi harus disubsidi, “Lalu bagaimana dengan energy security Indonesia sendiri saat ini,” tanya politisi PDI-P yang lulus ke Senayan hasil Pemilu Legislatif, 9 April lalu ini.
Sedekah Bagi Penghasil Minyak
Sangat berbahaya jika bergantung kepada asing untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Lebih jauh Darmo memaparkan, konsumsi solar Indonesia sekitar 15 juta kilo liter. Impor solar dengan harga Rp11 ribu/liter dan dijual Rp5.500/liter. Jadi, pemerintah mensubsidi sebesar Rp5.500/liter. “Selisih inilah sedekah rakyat Indonesia kepada negara-negara penghasil minyak. Kita memang murah hati memberikan sedekah ke negara-negara itu,” sergahnya.
Itu sebabnya, tambah lulusan Texas A & M University, Amerika Serikat, ini, perlu ada tata kelola yang sangat kondusif dan kebijakan yang benar-benar strategis. “Investasi asing di industri ini boleh saja, tapi hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa ke depan. Bukan malah terus menerus jadi bangsa yang gemar membuang uang pada negara penghasil minyak,” katanya pedas.
Menurut dia, ada ajaran Bung Karno yang sangat relevan dengan kondisi energi yang dihadapi Indonesia saat ini, yaitu Trilogi Berdikari atau tiga konsep berdikari. Satu di antaranya berdikari ekonomi. Yang dimaksud dengan ekonomi dalam ajaran tersebut sebagai kemandirian pengelolaan energi.
Pertumbuhan ekonomi sebuah negara selalu membutuhkan energi. “Tidak ada bangsa yang mandiri secara ekonomi jika tidak memiliki kedaulatan energi, pasti ekonominya akan sulit untuk tumbuh,” ujar Mas Darmo. Ia mencontohkan, apa yang dilakukan Brasil, China, dan Amerika Serikat yang terus mencari energi termurah untuk mendukung industri dalam negerinya agar menghasilkan produk-produk yang lebih kompetitif. “Biaya produksi suatu barang, 23%-nya itu untuk energi. Jika bisa mendapatkan energi murah, maka perekonomian negara dipastikan akan berkembang,” tandasnya.
Bagimu Negeri
Sudah 20 tahun, suami Diny Sandra Dewi tinggal di Negeri Paman Sam. Berbagai ilmu seperti Software Engineering, Natural Resource Economics, Analysis Algorithm, Database Management System, Artificial Intelligence, dikuasainya. Kontribusi dan karirnya cemerlang dan diperhitungkan di negeri tersebut.
Pria kelahiran Magelang ini, mengaku, tidak sedikit pula teori, ilmu dan berbagai idenya di bidang ekonomi dan energi telah diserap dan diterapkan Amerika Serikat. Sukses di negeri orang tak membuat anak pasangan almarhum Brigjen TNI (Purn) Sadja Moeljoredjo dan Sudarti Sadja lupa akan tanah leluhurnya.
Pada 2012 lalu, ia bersama istri dan tiga anak tercintanya memutuskan kembali ke kampung halaman untuk membangun negeri tercinta. Keinginannya hanya satu untuk menyumbangkan seluruh buah pikiran dan tenaga bagi bumi pertiwi. “Perjuangan hakiki bukan untuk kebesaran diri, tetapi untuk kemaslahatan masyarakat,” tegasnya menirukan pesan almarhum ayahnya.
Memang, kecemerlangan ayah dari Dylan, Dykstra, dan Dyandra ini sudah terlihat sejak di bangku SMA. Pada 1989, ia menjadi salah satu siswa yang terpilih dalam Program Habibie untuk menimba ilmu di Amerika Serikat. Ia pun berhasil meraih gelar Sarjana dan Magister Ilmu Komputer dengan minor Teknik Industri dari Texas A&M University.
Pada 2011, Mas Darmo menyelesaikan Program Doktoral bidang Ekonomi Sumberdaya Alam (Natural Resource Economics). Model yang dikembangkan dalam disertasinya pun diadopsi oleh sebuah perusahaan energi terkemuka di AS sebagai strategi untuk menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) secara nasional.
Pria kelahiran Magelang, 19 Oktober 1970 ini menyadari buah pemikirannya tersebut sangat dibutuhkan untuk mengembangkan energi nasional yang kuat berbasis kepentingan nasional dan rakyat Indonesia. “Ide ini tidak hanya sekadar lips service, perlu perumusan dalam suatu strategi dan kebijakan dan diimplementasikan,” tuturnya bersemangat.
Karena itu, dengan segenap kepakarannya, ia memutuskan turun ke dunia politik agar bisa mewujudkan cita-citanya. Satu di antaranya memperjuangkan kebijakan energi di Tanah Air melalui kursi di DPR. “Kalau bukan dari kita-kita, siapa lagi yang akan membuat negara ini menjadi negara besar seperti keinginan para pendiri dulu,” imbuhnya.
Kini berdoa, perjuangan panjang ini harus dijalankan dan didasari oleh keikhlasan, kejujuran, dan integritas bagi bangsanya akan dimudahkan oleh Sang Khalik. Selamat berjuang untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia di Senayan, Mas Darmo!
Tri Mardi Rasa