Kepiawaiannya tak hanya mencermati aliran dana mencurigakan. Pun bertutur mengenai pertanian terpadu tanpa limbah ia tak kalah baik.
Di sela waktu senggangnya, Wakil Ketua Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK) ini beternak, bertani, dan kegiatan sosial di di Desa Pandansari, Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Hari libur merupakan hari menyenangkan baginya untuk sejenak melepas diri dari rutinitas.
Itulah sebabnya Agus enggan berkomentar masalah korupsi di Tanah Air. “Lebih baik diskusi tentang penggemukan kambing, susu kambing, pertanian, daripada diskusi masalah korupsi saat libur,” tutur dia saat mengobrol dengan AGRINA di rumah peristirahatannya di Gadog, Ciawi, Bogor.
Tak mengherankan bila Agus betah bergiat di sawah. Di sana ia juga bisa menikmati semilirnya angin yang berhembus di antara pohon bambu dan gemercik suara air Sungai Ciliwung. Sambil pula ia berdiskusi dengan anak-anak muda untuk mencari solusi pemberdayaan komunitas. “Obat penghilang stres setelah menghadapi pekerjaan berat,” tegas pria berkumis tebal ini.
Sekali sepekan ia ditemani sang istri ke sawah untuk mencangkul dan merawat kambing perah. “Untuk kambing peliharaan sengaja tidak diikat agar tidak ada jarak dengan pemilik atau perawatnya,” cetus Agus.
Prihatin Petani Panen Batu
Aktivitas bertani Agus berawal dari keprihatinannya melihat warga yang bekerja keras mengambil batu-batu besar di sawah pinggiran Sungai Ciliwung pada 2004. Sawah tersebut menjadi rusak dan tak bisa lagi ditanami padi. Kalaupun bisa, hasilnya tak sebanding dengan biaya produksi. “Pemilik lahan akhirnya menjual ke saya. Bahkan lahan yang sudah saya beli pun masih ada yang membongkar untuk diambil batunya,” cerita pria kelahiran Purwokerto, Jateng, 9 Agustus 1960 ini.
Karena itu, Agus berusaha memperbaiki kondisi lahannya agar bisa digunakan untuk pertanian lagi. “Tidak gampang, harus ditingkatkan lagi unsur hara di dalam tanah,” cerita anak pertama dari empat bersaudara pasangan Drs. Soetantio Hadiwarsito dan DR. Retnowulan Soetantio, SH.
Tak berselang lama, sebuah pabrik tahu yang berdekatan dengan sawahnya, bangkrut akibat krismon 2006. Sang pemilik menjual padanya agar bisa tetap bisa berjalan. “Istilahnya alih kepemilikan saja,” ujar ayah Gita Anissa ini.
Agus kemudian membeli 10 ekor kambing untuk dikembangkan karena terlintas dalam benaknya ingin menerapkan integrated farming zero waste dengan memanfaatkan keberadaan sawah, pabrik tahu, dan ternak. “Semuanya terpadu sehingga satu lahan ada beragam hasil, seperti padi, cabai, susu kambing, dan tahu,” terang suami Hj. Juli Widiastuti, SH. Ia kemudian menerapkan konsep sociopreneur melalui sistem pertanian terpadu tanpa limbah. Maksudnya, pemberdayaan masyarakat setempat dengan memanfaatkan lahan subur mereka secara maksimal untuk kegiatan pertanian.
Beragam Produk dari Sehektar Lahan
Kini, hasilnya beragam produk telah dihasilkan dari lahan seluas satu hektar milik Agus. Padi, tahu, kambing pedaging, kambing perah, susu, dan ikan. Setiap hari tidak kurang dari 100 kg kedelai diolah untuk menghasilkan 2.500 potong tahu dengan harga jual Rp500 sepotong. Kambing perahnya berkembang dari 10 ekor menjadi sekitar 120 ekor. Dari total kambing yang laktasi dihasilkan 30 liter susu sehari. Susu kambing ini dijual dengan harga Rp30 ribu seliter.
Sayangnya, waktu itu sawah sedang tidak ditanami padi karena serangan hama beberapa waktu lalu. Biasanya sawah seluas 6.000 m2 itu menghasilkan 5 ton gabah kering panen. Setelah menjadi beras kemasan isi 5 kg dibandrolnya Rp15 ribu/kg. “Semua keuntungan dikembalikan lagi ke usaha ini untuk pengembangan sekaligus mensubsidi usaha lainnya,” jelas Ketua Umum Ikatan Pegawai Bank Indonesia tersebut.
Bahkan sisa limbah termanfaatkan semua, ampas tahu untuk tambahan pakan ternak dan ikan, kotoran kambing dibuat pupuk, arang sisa pembakaran di pabrik tahu menjadi media tanaman hias. “Semua bernilai ekonomi,” tandas Agus.
Konsep sociopreneurship melalui pertanian dan terpadu tanpa limbah yang diusung alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, ini memberi dampak signifikan bagi masyarakat setempat. “Konsep ini bisa menghidupi banyak orang, dari tukang gorengan, pembuat tahu, peternak dan juga petani padi, mereka semua mendapat likuiditas setiap hari,” lanjut penggenggam gelar S2 dari Faculteit der Reschtswetenschap, Rijks Universiteit Leiden, Belanda, ini.
Optimalisasi lahan yang dilakukannya menarik perhatian beberapa pemerintah daerah. Agus pun mendapat Penghargaan Pemberdayaan Masyarakat di Aceh dalam Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Kepala BNN pada 2011.
Semua itu, menurutnya, didapat dari belajar di tengah masyarakat sekitar dan buku-buku. Meski lahan tidak luas, tapi kalau bisa disatukan akan memberikan dampak luar biasa. “Yang penting bisa dikerjakan setiap orang, kita mau belajar, bekerja keras dan pantang menyerah,” ulas Agus.
Persiapan Jelang Pensiun
Tatkala tidak ada tugas negara, Agus menghabiskan waktunya untuk berkegiatan sosial dan usaha kecil yang dipersiapkannya menjelang pensiun. “Kalau tidak sekarang kapan lagi karena ini kesempatan baik. Tidak perlu tunggu pensiun baru cari usaha, bisa-bisa buntung,“ cetusnya.
Mumpung masih kuat, bangun tautan yang baik dengan pasar untuk mendukung usaha nantinya. Memang, sambungnya, sekarang ini dibantu istri dan beberapa warga yang ada di sekitar Gadog. “Saya ingin jadi petani kembali ke alam, dan bermanfaat bagi sekitar. Hidup begini ‘kan enak, saat pensiun pikiran tenang,” katanya sembari tertawa.
Untuk membangun jaringan pasar, Agus pun tak segan-segan mengantar pesanan beras, susu kambing, dan ikan segar ke konsumen. Awalnya, memang banyak yang menertawakan, tapi setelah melihat apa yang dilakukannya mereka berbalik salut. “Sambil berangkat kerja atau pulang kerja bawa pesenan ke pelanggan,” tutup mantan Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia itu.
Tri Mardi Rasa