Salah satu dari sedikit pelaku usaha benih hortikultura dari dalam negeri ini berupaya mengajari petani agar mereka lebih sejahtera.
Berbincang dengan Abdul Hamid pastilah Anda tak akan merasa waktu berlalu begitu cepat. Bagaimana tidak bila sepanjang obrolan, bapak yang berlatar belakang ilmu perbenihan ini menyelipkan cukup banyak humor. Namun jangan salah, begitu menyangkut hajat hidup petani, khususnya pembudidaya komoditas hortikultura, Hamid serius membahasnya.
Promosi Hibrida
Bicara tentang cabai merah misalnya, ayah dua anak ini merentang kenangan kembali ke periode 1995-1996 saat cabai keriting hampir 95% hanya beredar di Sumatera. Berkat kontribusi penyuluh-penyuluh perusahaan benih dan petani cabai yang melihat peluang cerah pengembangannya, cabai keriting menyebar ke seantero Pulau Jawa.
“Apa pertimbangan mereka? Dulu harga cabai keriting itu Rp17 ribu, sementara harga cabai besar itu paling Rp10 ribu sekilo. Bedanya jauh sekali. Sekarang sudah bisa ditemui di Pasuruan. Sebegitu besarnya ekspansi cabai keriting dari hanya ada di Sumatera sampai ke Pasuruan,” tutur pria asal Tanjungkarang, Lampung, ini.
Lebih jauh, Hamid memperluas pemahaman petani terhadap cabai hibrida. Menurutnya, kesejahteraan petani akan semakin terangkat dengan penggunaan benih hibrida, bukan lagi benih bersari terbuka (open pollination-OP). Alasannya jelas, pupuk sama, olah lahan sama, penyemprotan sama, tapi hasil panen berbeda.
Dia mencontohkan, “Kalau cabai nonhibrida, paling per tanaman itu dapat 0,4 kg. Kalau yang hibrida, paling rendah itu sekitar 0,8 kg, dua kali lipat. Kalau dihitung populasi per hektar itu 15 ribu batang, maka yang nonhibrida tadi cuma dapat 6 ton, sementara hibrida bisa 12 ton. Kalau harganya Rp10 ribu saja, yang 6 ton cuma dapat Rp6 juta, yang 12 ton dapat Rp12 juta. Nilainya sudah besar. Itu yang harus kita edukasikan ke petani,” papar alumnus Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 1987 ini.
Satu lagi keunggulan benih hibrida yang dipromosikannya, umur simpan hasil panennya lebih lama. Cabai hibrida yang dikirim dari Solok, Sumbar, ke Lampung, misalnya bisa bertahan setidaknya selama 5 hari. Karena, menurutnya, kadar air cabai hibrida lebih rendah dari cabai OP. “Tapi kalau cabai OP, baru sampai Palembang sudah busuk,” tambahnya membandingkan.
Perbaiki Budidaya
Peluang besar hibrida yang sudah diperkenalkannya pada petani memang mendapat sambutan baik. Menurutnya, saat ini sekitar 40% cabai yang dibudidayakan masih cabai nonhibrida. Namun, pendekatan suami Ir. Dian Handayani M.Si. ini, kepada petani tidak berhenti. Masalah budidaya contohnya.
“Umumnya dari aspek budidaya. Kalau musim hujan apa yang harus disiapkan, kalau musim kering apa yang harus diperhatikan,” bebernya. Biaya produksi yang murah, dengan produksi yang tinggi, menjadi target ayah dua putra ini. Namun tetap dengan komitmen yang kuat untuk menjaga kualitas. “Jangan sampai dia mampu hanya menangani 0,5 ha, tapi dia tanamnya 2 ha. Ya pasti gagal, dia,” tegasnya.
Kuncinya sederhana, apa tujuan dari setiap tindakan yang dilakukan. Apa tujuan pemupukan tepat dosis dan tepat waktu, apa tujuan penyemprotan, kapan saja aplikasi pestisida boleh dilakukan, dan hal-hal teknis lainnya. “Sebenarnya sederhana, tapi kadang petani cabai itu kemaruknya tetap ada. Tugas kita untuk memperbaiki basic knowledge budidaya itu,” terang bapak kelahiran 19 September 1963 ini.
Bina Petani Industri
Melihat kebutuhan industri cabai semakin tinggi, Hamid berpendapat, yang terbaik adalah menetapkan sistem kontrak. Apalagi, kebutuhan cabai bagi industri sebenarnya tidak terlalu besar, hanya membutuhkan kontinuitas jumlah dan kualitas.
“Kontrak harus diperbanyak. ‘Kan nggak bisa kita ngomong gini, hei industri, saat harga cabai di pasar murah, gue bisa masuk ke lo, tapi saat harga di pasar mahal, gue nggak bisa. Lho, bagaimana bisnis mau jalan? Mereka nggak ada jaminan pasokan. Ini yang paling aman, bagi petani dan bagi industri itu sendiri,” urainya.
Komitmennya dalam membina petani menghasilkan cabai berkualitas diwujudkannya dengan membina petani cabai untuk memasok ke industri pengolahan. Namun, pria rendah hati ini tidak mau mengklaim dirinyalah pencetak petani-petani industri. “Saya hanya menciptakan orang-orangnya. Saya bantu petaninya, saya buat kelompoknya. Kalau memang bagus, nanti saya hubungkan ke perbankan. Silakan industri berhubungan dengan dia, bisnis saya di benih,” kilahnya.
Peluang-peluang pasar bagi petani yang tidak mampu masuk ke industri pengolahan juga dibuka lebar oleh Humas Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura Indonesia (Hortindo) ini. Tidak hanya satu pasar, peluang pun terbuka di pasar komoditas nasional (paskomnas).
“Itu komitmennya bagus. Kalau dengan industri ‘kan bayarnya dalam waktu tiga minggu sampai satu bulan. Kalau Paskomnas, petani dapat uang hari ini dikirim, besok atau lusa dia dapat 50%, satu minggu kemudian selesai,” tukas pria yang mulai berbisnis benih sejak 2002 ini.
Bagi Presiden Direktur PT Mulia Bintang Utama, perusahaan benih hortikultura bermerek Surya Mentari ini, bisnisnya dalam penjualan benih tidak berhenti sampai dijual beli saja. “Kita tidak hanya jual benihnya, tapi juga kita bina sampai panen. Karena risiko petani itu ‘kan besar sekali, jadi dia harus enak. Nanti, kalau sudah panen, dia bebas memilih mau jual ke mana, kita hanya ajarin, hanya membuka peluang-peluang,” pungkasnya.
Renda Diennazola, Windi Listianingsih