Lama berkecimpung di bidang hubungan internasional membuatnya gemas mengapa agribisnis Indonesia belum juga bersinar.
Posisinya sebagai Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP), Kementerian Pertanian, sejak 16 Desember 2013 menjadi meja baru bagi Yusni Emilia Harahap. Diakuinya, saat ini dia terbilang anak baru di direktorat jendral yang dipimpinnya. “Jadi saat ini saya masih terus mendalami,” ujar Emi, sapaan akrabnya, memulai perbincangan santai dengan AGRINA di kantornya, Kamis (16/1) sore.
Namun, jangan sepelekan jam terbangnya. Titian karirnya di Kementerian Pertanian yang dimulai dari Biro Kerjasama Luar Negeri sejak 1983 membuatnya sangat erat berhubungan dengan perdagangan internasional yang menjadi salah satu tanggung jawabnya saat ini. Di bagian inilah, menurutnya, Indonesia seharusnya bisa merajai agribisnis dunia.
Daya Saing
Menyoroti impor produk pertanian, Emi menegaskan, “Tidak ada yang salah dengan impor.” Apalagi untuk produk yang memang tidak bisa diproduksi di dalam negeri. Namun, apa jadinya jika pilihan produk impor di pasaran lebih banyak dan lebih murah jika dibandingkan produk lokal sejenis? Di sinilah daya saing dan nilai tambah produk pertanian menjadi penting.
“Yang perlu diperhatikan adalah untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk, dibutuhkan perlakuan yang baik sejak budidaya. Tidak loncat langsung ke pasar ‘kan,” ungkap insinyur peternakan IPB angkatan 16 ini.
Kerjasama di lingkungan Kementerian Pertanian dengan berbagai direktorat jendral seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan dalam melakukan pembinaan dan pendampingan budidaya bagi petani mungkin terdengar klise. Tapi itulah komitmen penting yang harus dilakukannya secara kontinu. Dengan demikian, petani bisa lebih sejahtera karena nilai produk bertambah. Namun, Master Manajemen dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jakarta ini menggarisbawahi, menyiapkan petani untuk mandiri dan tetap melakukan budidaya sesuai standar yang diberikan, itu lebih penting lagi.
Itu baru dalam rangka meningkatkan kualitas produk domestik untuk bersaing dengan produk impor di pasar lokal. Peluang produk lokal untuk bersaing di pasar dunia yang semakin terbuka lebar juga perlu diperhitungkan. “Yang paling dekat pasar bebas ASEAN. Sudah tahun depan, lho. Apa yang sudah kita siapkan? Kita salah satu negara yang mendorong itu supaya cepat, ‘kan nggak lucu kalau kita juga yang belum siap,” tukas wanita asli Medan ini penuh semangat.
Dukung Kementan
Bukan rahasia lagi, keragaman sumberdaya alam Indonesia sangat tinggi dan tersebar di seluruh penjuru negeri. Justru itu yang, menurut Emi, membuat pengembangannya menjadi tidak terfokus. Karena itu peran daerah menjadi penting.
“Pemerintah daerah harus berkomitmen besar mendukung agribisnis, harus benar-benar mengenal potensi daerahnya, dan konsisten dalam mengembangkannya. Bukan hanya menunggu dari pusat. Kalau ini betul-betul serius ditangani, kita ini luar biasa. Di ASEAN saja, siapa yang melawan Indonesia dalam hal keragaman?” urai mantan Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan, Kementan ini.
Dia mencontohkan, salah satu keterlibatan daerah dalam mendukung pasar adalah dengan adanya Otoritas Kompetensi Keamanan Pangan Daerah (OKKPD). Saat ini, sudah ada 22 OKKPD yang beroperasi mengaplikasikan standar-standar untuk menghasilkan produk berkualitas dan berdaya saing. Tidak main-main, standar yang ditetapkan mengacu pada standar internasional yang tentunya disesuaikan dengan kesiapan masing-masing daerah.
Pengembangan daerah menjadi percuma jika tidak didukung infrastruktur yang memadai. Karena itulah wanita berjilbab kelahiran 22 Maret 1959 ini giat menagih janji Kementerian Pekerjaan Umum untuk membenahi jalan-jalan pedesaan guna mempermudah akses sentra produksi ke pasar. “Kembali lagi ke daya saing. Akses yang sulit, sama dengan biaya tinggi. Harga yang diterima konsumen akan lebih tinggi,” tegasnya.
Satu lagi yang menjadi perhatian Emi adalah dukungan teknologi. Baginya, pengembangan teknologi pascapanen sama pentingnya dengan penerapan standar budidaya yang baik. Prinsipnya, jika produk sudah dibudidayakan sesuai standar mutu, dan ditunjang dengan perlakuan pascapanen yang memperpanjang umur simpan produk, nilai jual produk juga pasti akan naik. “Kuncinya tripel K. Kualitas, kuantitas, kontunuitas,” jelas ibu satu putri ini.
Gemas Picu Semangat
Tidak hanya geregetan dengan potensi agribisnis Indonesia, Emi pun gemas melihat kecaman terus menerus terhadap impor. “Tidak imbang. Kita baru impor sesuatu, beritanya selalu jadi besar. Padahal kita ‘kan juga ekspor. Sawit, manggis, mangga gedong gincu, salak, nanas, dan pisang kita sudah lama menjadi unggulan ekspor. Belum lagi yang terbaru, pala dari sentra-sentra pala di Indonesia sudah diterima dengan baik di pasar Eropa. Kita tahu standarnya tinggi sekali untuk tembus ke sana. Tapi informasinya masih kalah dengan pemberitaan impor,” ungkapnya gemas.
Namun, kegemasan Emi justru menjadi pemicu semangat utama dalam menjalankan tanggung jawabnya di meja kerja yang baru. Baginya, tanggung jawab baru berarti semangat baru. Contohnya, celetukan khasnya selalu keluar saat menghadiri suatu acara yang tidak menyajikan pangan lokal, “Lain kali, pakai buah lokal dong. Kalau bukan kita, siapa lagi?” kenangnya.
Wanita yang rutin melakukan jogging di sela kesibukannya ini pun mengaku tidak pernah merasa bosan mengurusi pertanian Indonesia. “Tapi mungkin karena saya dari dulu mengurusi hal-hal makro ya, jadi sangat menarik, bervariasi, dan nggak terlalu teknis. Mungkin kalau di lab, saya nggak yakin juga bisa betah,” tutup Emi sambil tertawa lepas.
Renda Diennazola, Selo Sumarsono